09/10/13 - Perjuangan Massa
Headlines News :

May Day

Written By Unknown on Selasa, 10 September 2013 | 05.32

Selamat Hari Buruh Sedunia, 
Bagi Kaum Buruh dan Seluruh Rakyat Tertindas di Dunia!
Hentikan Perampasan Upah, Tanah, Kerja 
dan, Pemberangusan Serikat Buruh,
Hapus Sistem kerja Kontrak dan Outsourcing,
Cabut Kepmen 231/2003 dan RUU BPJS-SJSN
Tolak Kenaikan Harga BBM
Hentikan Liberalisasi dan Bubarkan WTO!.

Salam Demokrasi!

Peringatan hari buruh sedunia (May Day) yang sejak ratusan tahun silam telah diperingati setiap tahun, secara esensi mempunyai makna yang begitu mendalam, memberikan pelajaran dan semangat perjuangan yang begitu berharga bagi seluruh rakyat dunia. Secara Historis, May Day adalah tonggak kemenangan bagi kaum buruh dalam perjuangan menuntut pengurangan jam kerja dari 12-16 jam per hari menjadi 8 jam perhari, yang diraih melalui perjuangan panjang (Tahun 1886-1890an) yang begitu hebat dengan pengorbanan yang tidak akan pernah ternilai untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan dan penghisapan Imperialisme (Kapitalisme Monopoli) yang berlipat-lipat.

Sistem kapitalisme dimana industri menjadi salah satu penopang utamanya berlaku sebuah hubungan produksi yang timpang antara buruh dengan pemilik modal. Bagi para pemilik modal, buruh dianggap sama seperti bahan baku atau bahan mentah, upah bagi kaum buruh tidak ditetapkan berdasarkan pembagian keuntungan dari hasil produksi. Padahal, tanpa keberadaan buruh disebuah pabrik, mesin-mesin termasuk bahan baku yang ada dipabrik tidak akan berubah menjadi barang baru dan, tidak pernah akan ada keuntungan disana. Sistem yang demikian mensyaratkan pencurian nilai lebih terhadap kaum buruh.

Inilah makna yang sesungguhnya dari perjuangan kaum buruh lebih dari seratus tahun yang silam, yang didasarkan pada kesadaran bahwa bekerja dengan waktu yang panjang hanya akan memberikan keuntungan yang berlipat bagi para pemilik modal. Jam kerja yang panjang selain hanya akan memberikan super profit bagi kapitalisme juga akan menghancurkan pengetahuan dan kebudayaan kaum buruh, karena kaum buruh tidak memiliki waktu lagi untuk belajar dan meningkatkan pengetahuannya, kaum buruh tidak mempunyai waktu lagi untuk mengurus kehidupan keluarganya serta tidak memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat lainnya.

Makna peringatan May Day 
bagi kaum buruh Indonesia 
dan seluruh rakyat tertindas lainnya

Di Indonesia sendiri, peringatan hari buruh sedunia (May Day) baru mulai dilaksanakan sejak disahkannya UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kerja Tahun 1948, yang mana dalam pasal 15 ayat 2 menyebutkan, “Pada tanggal 1 Mei, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”. Namun, karena alasan politik, rezim Orde Baru kemudian melakukan larangan terhadap peringatan Hari Buruh Internasional. Sejak saat itupula, peringatan May Day tidak pernah diakui oleh pemerintah Indonesia. Barulah pasca runtuhnya Orde Baru, melalui perjuangan massa rakyat yang tersebar diseluruh daerah, may day kembali marak diperingati.

Dalam perjuangannya saat ini, secara konsisten kaum buruh telah menjadikan isu tentang upah sebagai tuntutannya yang terus dirampas oleh pengusaha melalui berbagai skema yang secara lansung mendapatkan legitimasi dari pemerintah. Pada tahun 2013, kaum buruh terbukti berhasil memenangkan tuntutannya atas upah, dimana kenaikan rata-rata UMP secara nasional mencapai 18,32 persen, dengan pencapaian UMP terhadap Komponen Hidup Layak (KHL) mencapai 89,78 persen. Dibeberapa kota seperti Jakarta, Tangerang, ataupun Bekasi angka kenaikan UMP tahun 2013 mencapai 40 persen. Inilah yang membuat semua pengusaha bereaksi negatif dan mengancam akan melakukan PHK besar-besaran atau relokasi perusahaan.

Dibalik berbagai reaksi sinis dari pengusaha tersebut, angka kenaikan UMP yang cukup tinggi ini sesungguhnya belum menjawab kebutuhan riil kaum buruh di Indonesia, karena kenaikan UMP adalah konsekuensi dari terus meningkatnya harga kebutuhan pokok. Perampasan upah terhadap kaum buruh juga dilakukan oleh rejim SBY-Budiono melalui berbagai pencabutan atau pengurangan subsidi sosial yang berakibat pada naiknya harga kebutuhan. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), Konversi minyak tanah menjadi gas elpiji adalah beberapa contoh kebijakan rejim yang mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan kaum buruh. Kebijakan perampasan upah terhadap buruh yang lebih riil adalah UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Persoalan perampasan upah buruh yang terjadi secara sistematis di Indonesia, sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan perburuhan seperti, Kepmen no. 231 tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Upah. Dengan adanya peraturan ini, perusahaan-perusahaan yang keberatan menjalankan Pelaksanaan UMP dapat mengajukan penangguhan upah dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Kepmen 231/2003. Artinya, keberhasilan perjuangan kaum buruh dalam menuntut kenaikan upah akan selalu terbantahkan ketika aturan hukum ini masih diberlakukan di Indonesia. Akibat peraturan tersebut, hingga 10 Januari 2013, tercatat sebanyak 1,312 perusahaan yang mengajukan permohonan penangguhan pelaksanaan UMP 2013, yang tersebar di; Jawa Barat (384 perusahaan), DKI Jakarta (378 perusahaan), Kepulauan Riau (258 perusahaan), Banten (199 perusahaan), Jawa Timur (42 perusahaan), Jawa Tengah (24 perusahaan), Bali (6 perusahaan), Papua Barat dan Jogjakarta (4 perusahaan). Dari keseluruhan perusahaan yang mengajukan permohonan penangguhan upah, sebanyak 257 perusahaan yang mempekerjakan 152,948 orang buruh di Jawa Barat mendapatkan ijin penangguhan upah.

Problem lain yang dihadapi oleh kaum buruh di Indonesia adalah masih eksisnya sistem kerja outsourcing dan kontrak jangka pendek yang tidak memberikan jaminan kepastian kerja terhadap kaum buruh. Dengan diberlakukannya sistem ini, pengusaha dapat dengan mudah melakukan PHK terhadap buruh yang dianggap tidak lagi produktif, tanpa harus memberikan secara penuh apa yang menjadi hak buruh. Selain itu, berbagai tindakan anti demokrasi dan uapaya-upaya, pemberangusan serikat dan PHK massal terhadap buruh yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasarnya semakin meningkat. Contoh kasusnya ialah, seperti kasus PHK massal yang dialami oleh seluruh pimpinan dan 1,300 anggota serikat buruh yang berafilial pada GSBI terjadi di PT. Panarub Dwikarya (perusahaan pembuat sepatu Adidas dan Mizuno)  karena mereka berjuang menuntut uang rapelan dan perbaikan kondisi kerja.

Dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta 2012, jumlah kasus perburuhan yang ditangani LBH Jakarta sebanyak 141 pengaduan dengan 8,232 jumlah orang pencari keadilan. Klasifikasi kasus perburuhan tertinggi yang diterima, yakni pelanggaran hak atas hubungan kerja (skorsing, mutasi, PHK sepihak) mencapai 74 pengaduan dengan 4,680 pencari keadilan. Kasus perburuhan tertinggi kedua ialah klasifikasi pelanggaran hak normative dengan 43 pengaduan dan 439 jumlah pencari keadilan. Pemberangusan serikat pekerja/buruh (SP/SB) berjumlah 3 kasus dengan 2.835 orang pencari keadilan. Catatan-catatan kasus tersebut, adalah sebagian dari sekian banyak kasus yang sama menimpa buruh yang berjuang menuntutnya di berbagai daerah di Indonesia.

Selain dari persoalan yang dihadapi oleh buruh tersebut, serta berbagai persoalan rakyat lainnya, peringatan May Day tahun ini semakin istimewa karena diperingati ditengah gelombang krisis imperialisme yang kian menajam, ditambah lagi dengan ancaman “kenaikan harga BBM” dan, yang paling istimewa yakni dengan ditetapkannya Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan tiga pertemuan global yang secara lansung dibawah kontrol Imperialisme, yakni UN HLP on Post 2015 Development Agenda (Maret), APEC CEO Summit (Oktober) dan WTO’s 2013 Ministerial Conference (Desember). Seluruh agenda global tersebut, secara esensi tidak berguna sama sekali bagi buruh dan rakyat Indonesia. MDG’s, APEC dan WTO hanyalah bagian instrumen dari kapitalisme monopoli untuk mengeruk lebih banyak sumber daya alam Indonesia, mengambil keuntungan yang lebih besar dari tenaga buruh dengan upah murah dengan dalih pengentasan kemiskinan, kesehatan, kerjasama ekonomi dan perdagangan internasional.

Berdasarkan pada uraian diatas, maka Front Perjuangan Rakyat (FPR) Menyatakan Sikap: “Hentikan Perampasan Upah, Tanah, Kerja dan Pemberangusan Serikat Buruh”, dan menuntut:

  1. Hentikannya perampasan Upah, tanah dan kerja-laksanakan reforma Agraria sejati
  2. Cabut Kepmen 231 tahun 2003 dan Naikkan Upah Buruh;
  3. Hentikan segala bentuk kekerasan, kriminalisasi dan pemberangusan serikat buruh, (Union Busting);
  4. Tolak Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (KAMNAS) dan Rancangan Undang-Undang Oraganisasi Kemasyarakatan (ORMAS);
  5. Bebaskan tanpa syarat kaum tani dan rakyat lainnya yang ditahandiberbagai daerah
  6. Jadikan 1 Mei sebagai hari buruh dan libur nasional
  7. Tolak UU SJSN dan BPJS-Kembalikan jaminan sosial sebagai tanggungjawab penuh Pemerintah
  8. Hapuskan Sistem Kerja Kontrak Jangka Pendek (PKWT) dan Outsourcing
  9. Menolak Privatisasi asset-aset Negara terutama BUMN;
  10. Wujudkan Perlindungan Sejati bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) dan Keluarganya-Cabut UU PPTKILN No. 39/2004;
  11. Sediakan lapangan pekerjaan dengan upah layak bagi seluruh rakyat Indonesia;
  12. Hentikan Liberalisasi pendidikan-Cabut Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU DIKTI) no 12, Th. 2012
  13. Realisasikan Sekolah dan Kesehatan gratis, Kuliah murah bagi seluruh rakyat;
  14. Hentikan penggusuran terhadap pedagang kaki lima
  15. Hentikan diskriminasi dan eksploitasi serta kekerasan terhadap perempuan termasuk praktek-praktek perdagangan anak dan perempuan;
  16. Hentikan Liberalisasi Perdagangan – Bubarkan WTO.
  17. Usut tuntas kasus  korupsi, yang melibatkan birokrasi, aparat penegak hukum maupun politisi;

Hidup Kum Buruh Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah Perjuangan Rakyat!
Jayalah Solidaritas Perjuangan Internasional!

Jakarta, 1 Mei 2013
Front Perjuangan Rakyat (FPR)


Rudi HB. Daman
Koordinator

FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR)
Contact Persons: Rudi HB. Daman: +6281213172878, Irhas Ahmady: +6281572222066

Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Asosiasi Tenagakerja Indonesia (ATKI),SP-IKAFEMI EDS, Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gerakan Rakyat Indonesia(GRI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM),  Liga Pemuda Bekasi (LPB),  Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)KRKP, Arus Pelangi (AP), INDIES,Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)


HARDIKNAS

FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR)
Stop Privatisasi, Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan
Cabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT)
Bubarkan-WTO!
“Wujudkan Pendidikan Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat”

IMG-20130502-00385

Salam Demokrasi!

Espektasi akan terbangunnya bangsa yang cerdas “seperti amanat UUD 1945 dalam pembukaannya, Alenia keempat” dengan tatanan masyarakat yang maju secara ekonomi, politik dan kebudayaan dan tercermin dalam penghidupan yang adil, sejahtera dan berdaulat, sampai saat ini masih sangat jauh dari harapan. Pendidikan yang tidak terlepas dari Intervensi kapitalisme yang sangat berkepentingan atas seluruh aspek penghidupan rakyat, baik kepentingan secara Ekonomi, Politik, Kebudayaan.

Untuk menjamin terpenuhinya kepentingan imperialisme tersebut, pemerintah telah membentuk berbagai produk hukum yang menjadi legitimasi terjadinya Liberalisasi, Privatisasi dan Komersialisasi pendidikan di Indonesia, seperti: PT BHMN Th. 1999 dengan berbagai varian peraturan sebagai manifestasi kesepakatan GATS-WTO, Th. 1995, lahirnya UU sisdiknas no. 20 tahun 2003, yang secara terbuka juga mengatur sistem penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan yang meletakkan dasar terjadinya liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Selanjutnya, UU tentang Guru dan Dosen, tahun 2005 dan, lahirnya UU BHP Th. 2009 dan, yang terbaru yakni Undag-undang pendidikan tinggi (UU PT) no 12 tahun 2012, serta berbagai kebijakan lainnya, seperti pemberlakukan uang kuliah tunggal (UKT) sebagai salah satu sistem pembayaran pendidikan (khusus dalam pendidikan Tinggi), perubahan kurikulum pendidikan, 2013, RUU pendidikan Kedokteran, dll.

Hingga 68 (enam puluh delapan) tahun diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, terdapat berbagai persoalan sebagai kenyataan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi saat ini dibawah kebijakan-kebijakan anti rakyat dan kesesatan orientasi penyelenggaraan pendidikan tersebut, yakni:

1). Semakin melambungnya Biaya Pendidikan: 
Pemerintah (Kemendikbud maupun Presiden) mengklaim bahwa pendidikan dasar gratis melalui program “Wajib Belajar Sembilan Tahun”, telah tercapai sejak tahun 2009. Kenyataannya, dalam pembiayaan pendidikan dasar dan menengah, secara umum terdapat tiga komponen biaya, satu diantaranya masih dibebankan kepada peserta didik, seperti biaya seragam, buku, biaya ekstra kurikuler serta biaya bimbingan khusus lainnya. Sementara Anggaran pendidikan 20% dari APBN yang juga diklaim telah terpenuhi, kenyataannya masih memasukkan anggaran untuk gaji tenaga pendidik. Bahkan celakanya, secara nominal angka tersebut selalu tampak lebih besar, karena didalamnya juga termasuk anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

IMG-20130502-00373

Selanjutnya, untuk pendidikan tinggi, persoalan mahalnya biaya telah semakin menajam, terutama akibat pemberlakukan berbagai kebijakan yang melegitimasi praktek liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan, seperti UU pendidikan tinggi (UU PT). Dibawah UU tersebut, pemerintah hanya mengalokasikan 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan untuk dana operasional bagi PTN dan PTS. Secara umum, biaya pendidikan tinggi diseluruh Indonesia saat ini mulai dari Rp. 700.000 hingga Rp. 200 juta. Biaya yang relatif lebih tinggi, terutama didasarkan pada program study atau jurusan-jurusan khusus (Ex. Kedokteran atau jurusan kesehatan lainnya, Vocasi, dll).

2). Pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar:
Pemerintah terus memformulasikan pendidikan agar dapat melahirkan tenaga kerja yang siap dibayar murah degan skill yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Demikian sesungguhnya hakikat diubahnya kurikulum pendidikan nasional yang di beri nama “kurikulum 2013”. Pengembangan kurikulum yang dibutuhkan oleh dunia usaha, juga dilakukan dengan memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan, (SMK, SMEA, STM). Rasio perbandingan SMA dengan SMK tahun 2012 mencapai 51:49, dan pada tahun 2015 mendatang, KEMENDIKBUD menargetkan jumlah SMK mencapai 55% dari sekolah menengah atas yang saat ini berjumlah 22.000, dan 60% SMK pada tahun 2020.

UU PT bahkan kembali menjadikan tenaga pendidik (Dosen) dan tenaga kependidikan (Staff, karyawan) sebagai komoditas pasar tenaga kerja. Terang bahwa dengan skema tersebut akan menempatkan dosen dan tenaga kependidikan dalam jurang sistem kerja kontrak dan outsourcing. Skema ini adalah skema yang dilahirkan oleh IMF dan Bank Dunia tanpa jaminan atas masa depan yang jelas, dimana kontrak kerja dapat diputus secara sepihak, minimnya jaminan sosial dan hubungan industrial yang selalu merugikan pegawai non PNS. Dengan demikian, nasib tenaga kependidikan akan mengikuti UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.

3). Kesenjangan dan Diskriminasi antar  Institusi pendidikan: 
Karena sesatnya Orientasi pendidikan di Indonesia telah meletakkan pendidikan kian sarat dengan berbagai bentuk diskriminasi yang semakin mempertajam kesenjangan antar Sekolah maupun diperguruan tinggi. Diskriminasi dan kesenjangan pendidikan didalam pendidikan tinggi semakin tampak, yakni kesenjangan antara Pendidikan Tinggi Negeri (PTN) dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan tinggi berbadan Hukum (PT BH) serta Perguruan Tinggi Asing (PTA). Dalam UU PT, hal tersebut adalah konsekwensi lansung yang “utamanya” akan dialami oleh PTS.

4). Semakin sempitnya akses rakyat atas pendidikan: 
Berdasarkan data BPS Maret 2011, jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa, dengan pendapatan perkapita sebesar Rp.233.740 perbulan. Jika dibandingkan dengan angka kemiskinan di Indonesia, maka akibat rendahnya anggaran serta mahal dan terus meningkatnya biaya pendidikan, menyebabkan semakin sempit dan tidak terjangkaunya pendidikan bagi rakyat. Berdasarkan data yang dirilis UNESCO-PBB tahun 2011, tercatat sebesar 527.850 orang siswa SD atau samadengan 1,7% dari 31,05 juta siswa SD putus sekolah setiap tahun. Untuk pendidikan tinggi, dari total jumlah penduduk Indonesia dengan hitungan usia kuliah (18-25 Tahun) sebesar 25 juta jiwa, yang terserap dalam PT hanya mencapai 4,8 juta jiwa.

5). Semakin hilangnya demokratisasi dalam kehidupan kampus: 
Untuk menjamin kepentingan ekonomi, politik dan kebudayaan bagi Imperialisme, tuan tanah besar dan borjuasi besar komprador di Indonesia, pemerintah terus menghambat bangkitnya kesadaran politik mahasiswa dengan berbagai cara. Perampasan hak demokratis mahasiswa maupun civitas akademik lainnya semakin nyata, dimana semakin hilangnya kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, kebebasan akademik ataupun untuk menjalankan aktfitas politik dan kebudayaan lainnya didalam kampus. Pemerintah terus mempropagandakan “Normalisasi gerakan mahasiswa”, pemberlakuan jam malam, ancaman (Skorsing, DO, pengurangan nilai, dll) dan intimidasi bagi mahasiswa yang kritis dan melakukan aktifitas politik didalam kampus. Situasi tersebut akan semakin parah, dengan adanya ancaman pengesahan RUU Kamnas dan Ormas yang akan semakin menyulitkan ruang gerak bagi organisasi rakyat maupun organisasi mahsiswa.

6). Rendahnya Kualitas Pendidikan: 
Terus meningkatnya angka pengangguran dan meluasnya kemiskinan adalah potret nyata kualitas pendidikan di Indonesia. Jikapun mengikuti standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah, kualitas pendidikan Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Dikancah Internasional (Pe-Rankingan Internasional), pendidikan Indonesia hanya berada pada posisi/urutan ke 124 dari 127 Negara. Bahkan perguruan tinggi-perguruan tinggi unggulan di Indonesia, tidak satupun masuk dalam kualifikasi 200 PT Unggulan klas dunia (The Top of 200 world class University),Universitas Indonesia saja sebagai PT ternama di Indonesia hanya berada pada peringkat 201.

Sedangkan index pertumbuhan manusia (IPM) Indonesia dalam pe-ranking-an Internasional, Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 Negara. Dari tahun 2006-2011 Indonesia hanya pernah naik peringkat sebanyak dua kali, yakni tahun 2010-2011 dari 126 Naik ke Peringkat 125 dan, Tahun 2011 naik ke Peringkat 124. Dengan Pertumbuhan rata-rata pertahun: Th. 1980-2011: 1.23%. Th. 1990-2011: 1.19% dan, Tahun 2000-2011: 1.17%. Sedangkan Trend Index Pertumbuhan Manusia (IPM) Indonesia, tahun1980-2011 dengan nilai IPM rata-rata: Th.1980: 0,423. Th. 1990: 0, 481. Th. 2000: 0,543. Th. 2005: 0, 572. 2009: 0,607. Th. 2010: 0, 613. Th. 2011: 0, 617.

Kenyataan pendidikan saat ini, dengan berbagai kebijakan tersebut tidak terlepas dari intervensi Imperialisme melalui berbagai skema dan instrumennya, seperti kerjasama multilateral (Global dan regional) dan bilateral, utamanya kerjasama bilateral Indonesia-Amerika Serikat (US-Indo Comprehensive Partnership). Kerjasama-kerjasama tersebut yang paling universal, yakni seperti Millennium Developments Goals (MDGs) dibawah Payung PBB yang telah menjadi blue print program seluruh Negara Anggotanya, dengan mengatas namakan Pembagunan. Selanjutnya, organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization-WTO) yang menfokuskan kesepakatannya pada liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan pendidikan melalui kesepakatannya tentang perdagangan jasa, yakni General Agreement on Trade and Service (GATS).

Berdasarkan Uraian diatas, maka dalam momentum hari pendidikan nasional (Hardiknas) 2013 ini, Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyatakan sikap: Stop Privatisasi, Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan-Cabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT), Bubarkan-WTO dan Wujudkan Pendidikan Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat. Melalui Momentum ini pula, FPR Menuntut:

  1. Hentikan Liberalisasi, Privatisasi dan komersialisasi pendidikan!
  2.  Cabut Undang-undang pendidikan tinggi (UU DIKTI) No. 12, Thn. 2012.
  3. Tolak pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
  4. Tolak Kurikulum baru Thn 2013
  5. Hentikan Kriminalisasi dan Tindakan anti demokrasi di lingkungan pendidikan-Wujudkan kebebasan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat dimuka umum
  6. Hentikan Diskriminasi dan Wujudkan kebebasan mimbar akademik dilingkungan pendidikan
  7. Tingkat kesejahteraan tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan
  8. Usut korupsi di dunia pendidikan
  9. Tolak RUU KAMNAS dan RUU ORMAS
  10. Tolak kenaikan harga BBM.
  11. Hentikan Liberalisasi perdagangan dan Bubarkan WTO.

Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah Peruangan Rakyat!
Jakarta, 2 Mei 2013
Front Perjuangan Rakyat (FPR)


Rudi HB. Daman
Koordinator


12 Next Page

Selasa, 10 September 2013

May Day

Selamat Hari Buruh Sedunia, 
Bagi Kaum Buruh dan Seluruh Rakyat Tertindas di Dunia!
Hentikan Perampasan Upah, Tanah, Kerja 
dan, Pemberangusan Serikat Buruh,
Hapus Sistem kerja Kontrak dan Outsourcing,
Cabut Kepmen 231/2003 dan RUU BPJS-SJSN
Tolak Kenaikan Harga BBM
Hentikan Liberalisasi dan Bubarkan WTO!.

Salam Demokrasi!

Peringatan hari buruh sedunia (May Day) yang sejak ratusan tahun silam telah diperingati setiap tahun, secara esensi mempunyai makna yang begitu mendalam, memberikan pelajaran dan semangat perjuangan yang begitu berharga bagi seluruh rakyat dunia. Secara Historis, May Day adalah tonggak kemenangan bagi kaum buruh dalam perjuangan menuntut pengurangan jam kerja dari 12-16 jam per hari menjadi 8 jam perhari, yang diraih melalui perjuangan panjang (Tahun 1886-1890an) yang begitu hebat dengan pengorbanan yang tidak akan pernah ternilai untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan dan penghisapan Imperialisme (Kapitalisme Monopoli) yang berlipat-lipat.

Sistem kapitalisme dimana industri menjadi salah satu penopang utamanya berlaku sebuah hubungan produksi yang timpang antara buruh dengan pemilik modal. Bagi para pemilik modal, buruh dianggap sama seperti bahan baku atau bahan mentah, upah bagi kaum buruh tidak ditetapkan berdasarkan pembagian keuntungan dari hasil produksi. Padahal, tanpa keberadaan buruh disebuah pabrik, mesin-mesin termasuk bahan baku yang ada dipabrik tidak akan berubah menjadi barang baru dan, tidak pernah akan ada keuntungan disana. Sistem yang demikian mensyaratkan pencurian nilai lebih terhadap kaum buruh.

Inilah makna yang sesungguhnya dari perjuangan kaum buruh lebih dari seratus tahun yang silam, yang didasarkan pada kesadaran bahwa bekerja dengan waktu yang panjang hanya akan memberikan keuntungan yang berlipat bagi para pemilik modal. Jam kerja yang panjang selain hanya akan memberikan super profit bagi kapitalisme juga akan menghancurkan pengetahuan dan kebudayaan kaum buruh, karena kaum buruh tidak memiliki waktu lagi untuk belajar dan meningkatkan pengetahuannya, kaum buruh tidak mempunyai waktu lagi untuk mengurus kehidupan keluarganya serta tidak memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat lainnya.

Makna peringatan May Day 
bagi kaum buruh Indonesia 
dan seluruh rakyat tertindas lainnya

Di Indonesia sendiri, peringatan hari buruh sedunia (May Day) baru mulai dilaksanakan sejak disahkannya UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kerja Tahun 1948, yang mana dalam pasal 15 ayat 2 menyebutkan, “Pada tanggal 1 Mei, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”. Namun, karena alasan politik, rezim Orde Baru kemudian melakukan larangan terhadap peringatan Hari Buruh Internasional. Sejak saat itupula, peringatan May Day tidak pernah diakui oleh pemerintah Indonesia. Barulah pasca runtuhnya Orde Baru, melalui perjuangan massa rakyat yang tersebar diseluruh daerah, may day kembali marak diperingati.

Dalam perjuangannya saat ini, secara konsisten kaum buruh telah menjadikan isu tentang upah sebagai tuntutannya yang terus dirampas oleh pengusaha melalui berbagai skema yang secara lansung mendapatkan legitimasi dari pemerintah. Pada tahun 2013, kaum buruh terbukti berhasil memenangkan tuntutannya atas upah, dimana kenaikan rata-rata UMP secara nasional mencapai 18,32 persen, dengan pencapaian UMP terhadap Komponen Hidup Layak (KHL) mencapai 89,78 persen. Dibeberapa kota seperti Jakarta, Tangerang, ataupun Bekasi angka kenaikan UMP tahun 2013 mencapai 40 persen. Inilah yang membuat semua pengusaha bereaksi negatif dan mengancam akan melakukan PHK besar-besaran atau relokasi perusahaan.

Dibalik berbagai reaksi sinis dari pengusaha tersebut, angka kenaikan UMP yang cukup tinggi ini sesungguhnya belum menjawab kebutuhan riil kaum buruh di Indonesia, karena kenaikan UMP adalah konsekuensi dari terus meningkatnya harga kebutuhan pokok. Perampasan upah terhadap kaum buruh juga dilakukan oleh rejim SBY-Budiono melalui berbagai pencabutan atau pengurangan subsidi sosial yang berakibat pada naiknya harga kebutuhan. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), Konversi minyak tanah menjadi gas elpiji adalah beberapa contoh kebijakan rejim yang mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan kaum buruh. Kebijakan perampasan upah terhadap buruh yang lebih riil adalah UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Persoalan perampasan upah buruh yang terjadi secara sistematis di Indonesia, sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan perburuhan seperti, Kepmen no. 231 tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Upah. Dengan adanya peraturan ini, perusahaan-perusahaan yang keberatan menjalankan Pelaksanaan UMP dapat mengajukan penangguhan upah dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Kepmen 231/2003. Artinya, keberhasilan perjuangan kaum buruh dalam menuntut kenaikan upah akan selalu terbantahkan ketika aturan hukum ini masih diberlakukan di Indonesia. Akibat peraturan tersebut, hingga 10 Januari 2013, tercatat sebanyak 1,312 perusahaan yang mengajukan permohonan penangguhan pelaksanaan UMP 2013, yang tersebar di; Jawa Barat (384 perusahaan), DKI Jakarta (378 perusahaan), Kepulauan Riau (258 perusahaan), Banten (199 perusahaan), Jawa Timur (42 perusahaan), Jawa Tengah (24 perusahaan), Bali (6 perusahaan), Papua Barat dan Jogjakarta (4 perusahaan). Dari keseluruhan perusahaan yang mengajukan permohonan penangguhan upah, sebanyak 257 perusahaan yang mempekerjakan 152,948 orang buruh di Jawa Barat mendapatkan ijin penangguhan upah.

Problem lain yang dihadapi oleh kaum buruh di Indonesia adalah masih eksisnya sistem kerja outsourcing dan kontrak jangka pendek yang tidak memberikan jaminan kepastian kerja terhadap kaum buruh. Dengan diberlakukannya sistem ini, pengusaha dapat dengan mudah melakukan PHK terhadap buruh yang dianggap tidak lagi produktif, tanpa harus memberikan secara penuh apa yang menjadi hak buruh. Selain itu, berbagai tindakan anti demokrasi dan uapaya-upaya, pemberangusan serikat dan PHK massal terhadap buruh yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasarnya semakin meningkat. Contoh kasusnya ialah, seperti kasus PHK massal yang dialami oleh seluruh pimpinan dan 1,300 anggota serikat buruh yang berafilial pada GSBI terjadi di PT. Panarub Dwikarya (perusahaan pembuat sepatu Adidas dan Mizuno)  karena mereka berjuang menuntut uang rapelan dan perbaikan kondisi kerja.

Dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta 2012, jumlah kasus perburuhan yang ditangani LBH Jakarta sebanyak 141 pengaduan dengan 8,232 jumlah orang pencari keadilan. Klasifikasi kasus perburuhan tertinggi yang diterima, yakni pelanggaran hak atas hubungan kerja (skorsing, mutasi, PHK sepihak) mencapai 74 pengaduan dengan 4,680 pencari keadilan. Kasus perburuhan tertinggi kedua ialah klasifikasi pelanggaran hak normative dengan 43 pengaduan dan 439 jumlah pencari keadilan. Pemberangusan serikat pekerja/buruh (SP/SB) berjumlah 3 kasus dengan 2.835 orang pencari keadilan. Catatan-catatan kasus tersebut, adalah sebagian dari sekian banyak kasus yang sama menimpa buruh yang berjuang menuntutnya di berbagai daerah di Indonesia.

Selain dari persoalan yang dihadapi oleh buruh tersebut, serta berbagai persoalan rakyat lainnya, peringatan May Day tahun ini semakin istimewa karena diperingati ditengah gelombang krisis imperialisme yang kian menajam, ditambah lagi dengan ancaman “kenaikan harga BBM” dan, yang paling istimewa yakni dengan ditetapkannya Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan tiga pertemuan global yang secara lansung dibawah kontrol Imperialisme, yakni UN HLP on Post 2015 Development Agenda (Maret), APEC CEO Summit (Oktober) dan WTO’s 2013 Ministerial Conference (Desember). Seluruh agenda global tersebut, secara esensi tidak berguna sama sekali bagi buruh dan rakyat Indonesia. MDG’s, APEC dan WTO hanyalah bagian instrumen dari kapitalisme monopoli untuk mengeruk lebih banyak sumber daya alam Indonesia, mengambil keuntungan yang lebih besar dari tenaga buruh dengan upah murah dengan dalih pengentasan kemiskinan, kesehatan, kerjasama ekonomi dan perdagangan internasional.

Berdasarkan pada uraian diatas, maka Front Perjuangan Rakyat (FPR) Menyatakan Sikap: “Hentikan Perampasan Upah, Tanah, Kerja dan Pemberangusan Serikat Buruh”, dan menuntut:

  1. Hentikannya perampasan Upah, tanah dan kerja-laksanakan reforma Agraria sejati
  2. Cabut Kepmen 231 tahun 2003 dan Naikkan Upah Buruh;
  3. Hentikan segala bentuk kekerasan, kriminalisasi dan pemberangusan serikat buruh, (Union Busting);
  4. Tolak Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (KAMNAS) dan Rancangan Undang-Undang Oraganisasi Kemasyarakatan (ORMAS);
  5. Bebaskan tanpa syarat kaum tani dan rakyat lainnya yang ditahandiberbagai daerah
  6. Jadikan 1 Mei sebagai hari buruh dan libur nasional
  7. Tolak UU SJSN dan BPJS-Kembalikan jaminan sosial sebagai tanggungjawab penuh Pemerintah
  8. Hapuskan Sistem Kerja Kontrak Jangka Pendek (PKWT) dan Outsourcing
  9. Menolak Privatisasi asset-aset Negara terutama BUMN;
  10. Wujudkan Perlindungan Sejati bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) dan Keluarganya-Cabut UU PPTKILN No. 39/2004;
  11. Sediakan lapangan pekerjaan dengan upah layak bagi seluruh rakyat Indonesia;
  12. Hentikan Liberalisasi pendidikan-Cabut Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU DIKTI) no 12, Th. 2012
  13. Realisasikan Sekolah dan Kesehatan gratis, Kuliah murah bagi seluruh rakyat;
  14. Hentikan penggusuran terhadap pedagang kaki lima
  15. Hentikan diskriminasi dan eksploitasi serta kekerasan terhadap perempuan termasuk praktek-praktek perdagangan anak dan perempuan;
  16. Hentikan Liberalisasi Perdagangan – Bubarkan WTO.
  17. Usut tuntas kasus  korupsi, yang melibatkan birokrasi, aparat penegak hukum maupun politisi;

Hidup Kum Buruh Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah Perjuangan Rakyat!
Jayalah Solidaritas Perjuangan Internasional!

Jakarta, 1 Mei 2013
Front Perjuangan Rakyat (FPR)


Rudi HB. Daman
Koordinator

FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR)
Contact Persons: Rudi HB. Daman: +6281213172878, Irhas Ahmady: +6281572222066

Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Asosiasi Tenagakerja Indonesia (ATKI),SP-IKAFEMI EDS, Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gerakan Rakyat Indonesia(GRI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM),  Liga Pemuda Bekasi (LPB),  Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)KRKP, Arus Pelangi (AP), INDIES,Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)


HARDIKNAS

FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR)
Stop Privatisasi, Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan
Cabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT)
Bubarkan-WTO!
“Wujudkan Pendidikan Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat”

IMG-20130502-00385

Salam Demokrasi!

Espektasi akan terbangunnya bangsa yang cerdas “seperti amanat UUD 1945 dalam pembukaannya, Alenia keempat” dengan tatanan masyarakat yang maju secara ekonomi, politik dan kebudayaan dan tercermin dalam penghidupan yang adil, sejahtera dan berdaulat, sampai saat ini masih sangat jauh dari harapan. Pendidikan yang tidak terlepas dari Intervensi kapitalisme yang sangat berkepentingan atas seluruh aspek penghidupan rakyat, baik kepentingan secara Ekonomi, Politik, Kebudayaan.

Untuk menjamin terpenuhinya kepentingan imperialisme tersebut, pemerintah telah membentuk berbagai produk hukum yang menjadi legitimasi terjadinya Liberalisasi, Privatisasi dan Komersialisasi pendidikan di Indonesia, seperti: PT BHMN Th. 1999 dengan berbagai varian peraturan sebagai manifestasi kesepakatan GATS-WTO, Th. 1995, lahirnya UU sisdiknas no. 20 tahun 2003, yang secara terbuka juga mengatur sistem penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan yang meletakkan dasar terjadinya liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Selanjutnya, UU tentang Guru dan Dosen, tahun 2005 dan, lahirnya UU BHP Th. 2009 dan, yang terbaru yakni Undag-undang pendidikan tinggi (UU PT) no 12 tahun 2012, serta berbagai kebijakan lainnya, seperti pemberlakukan uang kuliah tunggal (UKT) sebagai salah satu sistem pembayaran pendidikan (khusus dalam pendidikan Tinggi), perubahan kurikulum pendidikan, 2013, RUU pendidikan Kedokteran, dll.

Hingga 68 (enam puluh delapan) tahun diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, terdapat berbagai persoalan sebagai kenyataan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi saat ini dibawah kebijakan-kebijakan anti rakyat dan kesesatan orientasi penyelenggaraan pendidikan tersebut, yakni:

1). Semakin melambungnya Biaya Pendidikan: 
Pemerintah (Kemendikbud maupun Presiden) mengklaim bahwa pendidikan dasar gratis melalui program “Wajib Belajar Sembilan Tahun”, telah tercapai sejak tahun 2009. Kenyataannya, dalam pembiayaan pendidikan dasar dan menengah, secara umum terdapat tiga komponen biaya, satu diantaranya masih dibebankan kepada peserta didik, seperti biaya seragam, buku, biaya ekstra kurikuler serta biaya bimbingan khusus lainnya. Sementara Anggaran pendidikan 20% dari APBN yang juga diklaim telah terpenuhi, kenyataannya masih memasukkan anggaran untuk gaji tenaga pendidik. Bahkan celakanya, secara nominal angka tersebut selalu tampak lebih besar, karena didalamnya juga termasuk anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

IMG-20130502-00373

Selanjutnya, untuk pendidikan tinggi, persoalan mahalnya biaya telah semakin menajam, terutama akibat pemberlakukan berbagai kebijakan yang melegitimasi praktek liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan, seperti UU pendidikan tinggi (UU PT). Dibawah UU tersebut, pemerintah hanya mengalokasikan 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan untuk dana operasional bagi PTN dan PTS. Secara umum, biaya pendidikan tinggi diseluruh Indonesia saat ini mulai dari Rp. 700.000 hingga Rp. 200 juta. Biaya yang relatif lebih tinggi, terutama didasarkan pada program study atau jurusan-jurusan khusus (Ex. Kedokteran atau jurusan kesehatan lainnya, Vocasi, dll).

2). Pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar:
Pemerintah terus memformulasikan pendidikan agar dapat melahirkan tenaga kerja yang siap dibayar murah degan skill yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Demikian sesungguhnya hakikat diubahnya kurikulum pendidikan nasional yang di beri nama “kurikulum 2013”. Pengembangan kurikulum yang dibutuhkan oleh dunia usaha, juga dilakukan dengan memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan, (SMK, SMEA, STM). Rasio perbandingan SMA dengan SMK tahun 2012 mencapai 51:49, dan pada tahun 2015 mendatang, KEMENDIKBUD menargetkan jumlah SMK mencapai 55% dari sekolah menengah atas yang saat ini berjumlah 22.000, dan 60% SMK pada tahun 2020.

UU PT bahkan kembali menjadikan tenaga pendidik (Dosen) dan tenaga kependidikan (Staff, karyawan) sebagai komoditas pasar tenaga kerja. Terang bahwa dengan skema tersebut akan menempatkan dosen dan tenaga kependidikan dalam jurang sistem kerja kontrak dan outsourcing. Skema ini adalah skema yang dilahirkan oleh IMF dan Bank Dunia tanpa jaminan atas masa depan yang jelas, dimana kontrak kerja dapat diputus secara sepihak, minimnya jaminan sosial dan hubungan industrial yang selalu merugikan pegawai non PNS. Dengan demikian, nasib tenaga kependidikan akan mengikuti UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.

3). Kesenjangan dan Diskriminasi antar  Institusi pendidikan: 
Karena sesatnya Orientasi pendidikan di Indonesia telah meletakkan pendidikan kian sarat dengan berbagai bentuk diskriminasi yang semakin mempertajam kesenjangan antar Sekolah maupun diperguruan tinggi. Diskriminasi dan kesenjangan pendidikan didalam pendidikan tinggi semakin tampak, yakni kesenjangan antara Pendidikan Tinggi Negeri (PTN) dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan tinggi berbadan Hukum (PT BH) serta Perguruan Tinggi Asing (PTA). Dalam UU PT, hal tersebut adalah konsekwensi lansung yang “utamanya” akan dialami oleh PTS.

4). Semakin sempitnya akses rakyat atas pendidikan: 
Berdasarkan data BPS Maret 2011, jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa, dengan pendapatan perkapita sebesar Rp.233.740 perbulan. Jika dibandingkan dengan angka kemiskinan di Indonesia, maka akibat rendahnya anggaran serta mahal dan terus meningkatnya biaya pendidikan, menyebabkan semakin sempit dan tidak terjangkaunya pendidikan bagi rakyat. Berdasarkan data yang dirilis UNESCO-PBB tahun 2011, tercatat sebesar 527.850 orang siswa SD atau samadengan 1,7% dari 31,05 juta siswa SD putus sekolah setiap tahun. Untuk pendidikan tinggi, dari total jumlah penduduk Indonesia dengan hitungan usia kuliah (18-25 Tahun) sebesar 25 juta jiwa, yang terserap dalam PT hanya mencapai 4,8 juta jiwa.

5). Semakin hilangnya demokratisasi dalam kehidupan kampus: 
Untuk menjamin kepentingan ekonomi, politik dan kebudayaan bagi Imperialisme, tuan tanah besar dan borjuasi besar komprador di Indonesia, pemerintah terus menghambat bangkitnya kesadaran politik mahasiswa dengan berbagai cara. Perampasan hak demokratis mahasiswa maupun civitas akademik lainnya semakin nyata, dimana semakin hilangnya kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, kebebasan akademik ataupun untuk menjalankan aktfitas politik dan kebudayaan lainnya didalam kampus. Pemerintah terus mempropagandakan “Normalisasi gerakan mahasiswa”, pemberlakuan jam malam, ancaman (Skorsing, DO, pengurangan nilai, dll) dan intimidasi bagi mahasiswa yang kritis dan melakukan aktifitas politik didalam kampus. Situasi tersebut akan semakin parah, dengan adanya ancaman pengesahan RUU Kamnas dan Ormas yang akan semakin menyulitkan ruang gerak bagi organisasi rakyat maupun organisasi mahsiswa.

6). Rendahnya Kualitas Pendidikan: 
Terus meningkatnya angka pengangguran dan meluasnya kemiskinan adalah potret nyata kualitas pendidikan di Indonesia. Jikapun mengikuti standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah, kualitas pendidikan Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Dikancah Internasional (Pe-Rankingan Internasional), pendidikan Indonesia hanya berada pada posisi/urutan ke 124 dari 127 Negara. Bahkan perguruan tinggi-perguruan tinggi unggulan di Indonesia, tidak satupun masuk dalam kualifikasi 200 PT Unggulan klas dunia (The Top of 200 world class University),Universitas Indonesia saja sebagai PT ternama di Indonesia hanya berada pada peringkat 201.

Sedangkan index pertumbuhan manusia (IPM) Indonesia dalam pe-ranking-an Internasional, Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 Negara. Dari tahun 2006-2011 Indonesia hanya pernah naik peringkat sebanyak dua kali, yakni tahun 2010-2011 dari 126 Naik ke Peringkat 125 dan, Tahun 2011 naik ke Peringkat 124. Dengan Pertumbuhan rata-rata pertahun: Th. 1980-2011: 1.23%. Th. 1990-2011: 1.19% dan, Tahun 2000-2011: 1.17%. Sedangkan Trend Index Pertumbuhan Manusia (IPM) Indonesia, tahun1980-2011 dengan nilai IPM rata-rata: Th.1980: 0,423. Th. 1990: 0, 481. Th. 2000: 0,543. Th. 2005: 0, 572. 2009: 0,607. Th. 2010: 0, 613. Th. 2011: 0, 617.

Kenyataan pendidikan saat ini, dengan berbagai kebijakan tersebut tidak terlepas dari intervensi Imperialisme melalui berbagai skema dan instrumennya, seperti kerjasama multilateral (Global dan regional) dan bilateral, utamanya kerjasama bilateral Indonesia-Amerika Serikat (US-Indo Comprehensive Partnership). Kerjasama-kerjasama tersebut yang paling universal, yakni seperti Millennium Developments Goals (MDGs) dibawah Payung PBB yang telah menjadi blue print program seluruh Negara Anggotanya, dengan mengatas namakan Pembagunan. Selanjutnya, organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization-WTO) yang menfokuskan kesepakatannya pada liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan pendidikan melalui kesepakatannya tentang perdagangan jasa, yakni General Agreement on Trade and Service (GATS).

Berdasarkan Uraian diatas, maka dalam momentum hari pendidikan nasional (Hardiknas) 2013 ini, Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyatakan sikap: Stop Privatisasi, Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan-Cabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT), Bubarkan-WTO dan Wujudkan Pendidikan Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat. Melalui Momentum ini pula, FPR Menuntut:

  1. Hentikan Liberalisasi, Privatisasi dan komersialisasi pendidikan!
  2.  Cabut Undang-undang pendidikan tinggi (UU DIKTI) No. 12, Thn. 2012.
  3. Tolak pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
  4. Tolak Kurikulum baru Thn 2013
  5. Hentikan Kriminalisasi dan Tindakan anti demokrasi di lingkungan pendidikan-Wujudkan kebebasan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat dimuka umum
  6. Hentikan Diskriminasi dan Wujudkan kebebasan mimbar akademik dilingkungan pendidikan
  7. Tingkat kesejahteraan tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan
  8. Usut korupsi di dunia pendidikan
  9. Tolak RUU KAMNAS dan RUU ORMAS
  10. Tolak kenaikan harga BBM.
  11. Hentikan Liberalisasi perdagangan dan Bubarkan WTO.

Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah Peruangan Rakyat!
Jakarta, 2 Mei 2013
Front Perjuangan Rakyat (FPR)


Rudi HB. Daman
Koordinator


Diberdayakan oleh Blogger.

Label 1

Label 2

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Perjuangan Massa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger