Front Mahasiswa
Nasional (FMN)
Pemuda Mahasiswa
Berjuang Bersama rakyat
Lawan Perampasan
dan Monopoli Tanah-Wujudkan Kedaulatan Pangan
Wujudkan
Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industri Nasional!
Lawan
Liberalisasi-Bubarkan WTO!
Sejarah Hari
Tani Nasional (HTN)
Hari tai
nasional (HTN) yang selama ini diperingati setiap tahun oleh seluruh Rakyat
Indonesia khususnya oleh kaum tani, sejatinya adalah salah satu momentum
bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia. Momentum tersebut, sejalan dengan
lahirnya undang-undang pokok agraria (UU PA) No. 5, tanggal 24 September Tahun
1960, sebagai salah satu capaian politik kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia
dalam perjuangannya mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan
berdaulat.
Lahirnya
momentum tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang perjuangan kaum tani dan
seluruh Rakyat Indonesia untuk melanjutkan revolusi 1945 dan usaha-usaha untuk
mempertahankan kemerdekaan RI. Dalam setiap jengkal perjuangan tersebut, sejak
pra kemerdekaan hingga paska proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak terlepas
dari perjuangan kaum tani melawan perampasan dan monpoli atas tanah dalam skala
luas yang saat itu sebagian besar dikuasai oleh tuan tanah lokal dan bangsa
Asing, terutama oleh kolonial Belanda maupun oleh perusahaan swasta Asing
lainnya melalui konsesi yang diberikan oleh pemerintah kerajaan Belanda.
Penguasaan tanah
secara besar-besaran oleh colonial beserta perusahaan swasta asing ketika itu (Pra
kemerdekaan 1945) tentu saja telah membawa penderitaan dan
kesengsaraan yang dalam bagi kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia. Massifnya
perampasan dan monopoli tanah skala luas saat itu, ialah akibat dari pelayanan
tuan-tuan feudal yang juga telah lama menguasai tanah-tanah rakyat. Penguasaan
tanah oleh tuan tanah lokal dan asing saat itu telah dilakukan dengan berbagai
bentuk pemaksaan, bahkan dengan cara-cara yang sangat brutal.
Namun demikian,
kaum tani tidak pernah gentar sedikitpun untuk menggencarkan perlawanannya, baik
dalam mempertahankan maupun merebut kembali haknya atas tanah. Dengan usaha
keras tersebut, telah terbukti Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan
colonial hingga dideklarasikannya kemerdekaan Ri sebagai capaian perjuangannya
yang paling gemilang.
Saat ini,
meskipun telah 68 tahun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, namun
rakyat Indonesia masih belum terbebaskan dari persoalan perampasan dan mopoli
tanah, monopoli atas sarana produksi pertanian dan monopoli atas sumber-sumber
agraria lainnya. Hal tersebut ialah akibat dari cengkaraman system masyarakat
setengah jajahan dan setengah feudal yang dipimpin oleh rezim komprador dan
tuan tanah yang hakekatnya sebagai kaki tangan Imperialisme. Kenyataannya,
paska revolusi 1945, Rakyat terus berjuang keras untuk menuntaskan revolusi dan
mempertahankan kemerdekaan dengan menghancurkan cengkraman tuan tanah dan
imperialisme di Indonesia. Namun tuntutan rakyat agar bebas
sepenuhnya dari kekuasaan tuan tanah dan imperialis berlawanan dengan politik pemerintahan
reaksi yang diwakili khususnya oleh Hatta dan Syahrir (Demokrasi
liberal 1945-1950).
Secara politik,
sekalipun pemerintahan Hatta dan Syharir nampak di permukaan liberaldan
menerapkan sistem palementer, akan tetapi sistem kekuasaan negara lama yaitu
feodalisme masih bercokol dalam kekuasaan negara, bahkan telah kembali kian
tegak di bawah dominasi dan Intervensi imperialisme. Sehingga pemerintahan yang
dibenci oleh rakyat di era jajahan dapat kembali menjalankan penghisapan feodal
seperti sedia kala berdasarkan kedudukannya yang istimewa atas tanah. Negara
baru ini jelas bukan milik rakyat, akan tetapi menjadi milik segelintir
borjuasi komprador dan tuan tanah secara bersama-sama yang diabdikan kepada
imperialis AS yang mendominasi dunia sejak Pasca Perang Dunia ke-2.
Negara Indonesia
resmi menjadi negara setengah jajahan dan setengah feudal semenjak
penandatanganan Konferensi Meja Bundar (KMB. Tahun 1949) dengan seluruh isinya
yang sangat melukai hati dan merugikan rakyat Indonesia, khususnya kaum tani.
Salah satunya yakni: Indonesia tidak boleh melakukan Nasionalisasi atas
asset-aset Asing (selain milik Jepang dan Jerman) yang telah beroperasi di
Indonesia. Artinya bahwa tanah-tanah yang sudah di nasionalisasi oleh
rakyat harus dikembalikan kepada pihak musuh yakni Belanda, AS dan Inggris.
Perjanjian anti rakyat tersebut, tentu saja telah mengundang resisten dan kian
mendorong perlawanan rakyat khususnya kaum tani. Sejak itu pula, ketika
pemerintah mulai menggunakan tentara dan polisi untuk megusir kaum tani, tidak
terhidarkan terjadinya perlawanan yang berdarah-darah. Beberapa perlawanan
keras yang dilakukan oleh Kaum tani, diantaranya terjadi di Tanjung
Morawa-Sumatra Utara, peristiwa berdarah di Jengkol (karesiden Kediri, Jawa
timur), peristiwa berdarah Ketahun (Boyolali, Jawa Tengah), peristiwa berdarah
Bandar Betsy (Aceh) dan diberbagai daerah lainnya.
Dengan berbagai
perdebatan konsep negara di jajaran pemerintah saat itu, dengan kenyataan
berbagai bentuk pemberontakan rakyat yang berkecamuk tiada henti, Soekarno
kemudian mengambil kekuasaan yang mencampakkan demokrasi liberal menjadi sistem
Presidensil utuh. Sikap tegas Soekarno ketika itu, tentu saja karena desakan
rakyar Indonesia untuk segera menuntaskan revolusi agustus yang hakekatya
adalah revolusi Agraria untuk menjalankan reforma agraria sejati, melalui
Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 yang selanjutnya telah menjadai salah satu dasar
untuk membentuk UUPA No. 5 Tahun 1960 di Indonesia.
Selanjutnya,
pemerintah diawah kuasa rezim Nasionalis Soekarno, terus didesak oleh Rakyat
untuk merumuskan suatu undang-undang yang megatur tentang kepemilikan dan
tatakelola Agraria, sebagai antithesis untuk menghapuskan segala hukum agraria
milik Belanda yang berlaku saat itu yang tersusun berdasarkan tujuan dan
kepentingan pemerintah jajahan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat dan
negara.
Setelah melalui
berbagai proses, perdebatan dan berbagai pertentangan, tepat pada tanggal 24
September 1960 kemudian ditetapkan sebuah UU yang yang secara khusus mengatur
tentang kepemilikan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber Agraria, yakni
undang-udang pokok Agraria (UU PA No. 5). Dalam UU tersebut, pada intinya
menjelaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum tani dan masyarakat
adat berhak untuk menguasai dan mengelola tanah untuk kesejahteraan rakyat.
Artinya bahwa, roh sesungguhnya dari UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah Landreform(Tanah
Untuk Rakyat).
Disahkannya UUPA
No. 5 Tahun 1960 di Indonesia, sebenarnya merupakan bagian kemenangan perjuangan
kaum tani Indonesia sejak abad 17 sampai 20 untuk menolak hukum
agraria kolonial yang melanggengkan penghisapan atas buruh tani, tani miskin,
masyarakat adat oleh kolonial dan tuan tanah lokal. Dengan berlakunya UUPA No.5
Tahun 1960, maka telah dihapuskan pula hukum agraria kolonial yang telah
menindas rakyat, seperti[1]:
1."Agrarische
Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), termuat dalam pasal 51
"Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad
1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal
tersebut;
2. a). "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118); b). "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875. No. 119A; c). "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; d). "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; e). "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;
2. a). "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118); b). "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875. No. 119A; c). "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; d). "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; e). "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;
3. Koninklijk
Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No.117) dan
peraturan pelaksanaannya;
4. Buku
ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
Keempat
peraturan yang dihapuskan tersebut diatas merupakan asas Undang-undang agraria
colonial atau Agrarische wet de Waal. Secara historis UU
tersebut dilahirkan pada tahun 1870 sebagai upaya mengejar
ketertinggalan Belanda dari negeri-negeri kapitalis lainnya yang dalam transisi
mencapai puncaknya (Imperialisme). Dengan demikian, Belanda harus lebih terbuka
dalam iklim investasi dan finans terhadap dunia. Salah satu isi UU tersebut
ialah aturan yang memberikan peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah
di Bumi Nusantara, seperti dari Inggris, Belgia,Amerika
Serikat, Jepang untuk membuka pabrik, perkebunan dan
pertanian dalam skala yang besar.
Dalam perkembangannya,
UU tersebut pula yang telah mendorong lahirnya kelas baru dalam
Masyarakat Indonesia, yakni klas buru (Proletar). Agrarische wet de
Waalmulai dijalankan sejak tahun 1870 dengan azas Domeinverklaring yang
isi pokoknya: “Semua tanah yang tidak terbukti dimiliki dengan hak eigendom
adalah kepunyaan Negara (Saat itu adalah kerajaan Hindia Belanda)”.
Azaz UU tersebut
mengatur tentang pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom)
dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum[2]. Asas Domeinverklaring inilah yang
memberikan legitimasi untuk merampas tanah rakyat oleh negara dan pihak swasta
atas nama Investasi (Investasi asing). Inilah yang menjadi dasar mengapa
keempat pasal di atas dihapus untuk membangun azas agraria yang mengutamakan
tanah untuk rakyat.
Dengan
ditetapkannya UUPA No. 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September sebagai salah
satu capaian politik dalam perjuanga rakyat Indonesia, Pemerintah sekaligus
menetapkannnya sebagai Hari Tani Nasional sebagai bentuk Apresiasi atas
perjuangan kaum tani dan seluruh Rakyat yang begitu gigih mempertahankan dan
merebut haknya atas tanah. Bagi kaum tani dan seluruh Rakyat, penetapan
momentum tersebut untuk diperingati setiap tahun, tiada lain ialah untuk tetap
mengenang sejarah perjuangan keras kaum tani sepanjang masa dan mengambil
inspirasi atas setiap bentuk perjuangan tersebut sebagai tempaan terus-menerus
dalam perjuangan melawan perampasan dan monopoli tanah untuk mewujudkan reforma
agraria sejati.
Dalam peringatan
momentum HTN, 24 September mendatang yang bertepatan dengan 53 Tahun UU PA,
maka kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia, harus dapat megambil semangat dan
inspirasi perjuangan kaum tani dalam sejarahnya yang selalu gigih dan tidak
pernah gentar menggencarkan perjuangannya. Secara khusus bagi rakyat disektor
lainnya, melalui momentum HTN 2013 kali ini juga harus dapat mengambil
pelajaran bahwa, perjuangan pembebasan Nasional di Indonesia tidak pernah
terlepas dari perjuangan kaum tani.
Demikian pula
kenyataannya sekarang ini, dibawah cengkrama system setengah jajahan dan
setengah feudal (SJSF) dengan massifnya monopoli tanah sebagai problem pokok
Rakyatnya, maka dalam usaha untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan kemerdekaan
yang sejati, seluruh Rakyat Indonesia harus dapat menyadari bahwa hal tersebut
tidak akan pernah terwujud tanpa adanya reforma agraria sejati (Genuine Land
Reform). Artinya bahwa dengan dasar tersebut, maka seluruh Rakyat harus
memastika diri untuk bisa ambil bagian dan terintegrasi lansung dalam berbagai
bentuk perjuangan melawan perampasan dan monopoli tanah untuk mewujudkan
Reforma Agraria sejati.
Risalah Kaum
Tani Atas Perampasan dan Monopoli Tanah di Bawah Kuasa SBY
Pertanian di
Indonesia seharusnya dikuasai oleh rakyat khususnya kaum tani sebagai syarat
utama menjalankan cita-cita revolusi agustus ’45 yakni kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil perjuangan rakyat
yang pada hakekatnya membebaskan dari musuh-musuh rakyat yakni tuan tanah dan
kolonial. UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai bagian kemenangan kaum tani yang
ternyata bertolak belakang dari praktek penyerahan tanah pada kaum tani. Akan
tetapi, tanah yang seharusnya menjadi basis pertanian, kini lebih didominasi
oleh perkebunan besar milik negara dan swasta yang kedua-duanya berhubungan
langsung dengan imperialisme. Praktek tersebut telah melahirkan berbagai bentuk
penghisapan seperti, perampasan tanah, sewa tanah tinggi (utamanya sistem bagi
hasil), peribaan, serta sarana dan hasil produksi yang dikontrol penuh oleh
komprador dan tuan tanah besar. Di sisi lain masifnya perampasan dan monopoli
tanah, sebagian besar dilakukan dengan cara kekerasan dan kriminalisasi
terhadap kaum tani.
Saat ini perkebunan besar paling dominan dengan komoditas dan luas lahan masng-masing adalah perkebunan
besar kelapa sawit (9.074.621 Ha),
perkebunan besarkaret (3.484.073 Ha),
perkebunan besar kelapa (3.787.724 Ha),
Perkebunan besar Kakao (1.732.954 Ha),
Perkebunan Kopi (1.233.982 Ha) atau
pangan lainnya[3], Semuanya berorientasi
ekspor dan mengabdi pada kepentingan industri imperialismekhususnya AS. Penguasaan tanah untuk perkebunan, bahkan tambang besar dan taman nasional yang sangat
luas tersebut, kenyatannya telah menghilangkan
sandaran hidup bagi kaum tani, mempersempit lapangan kerja bagi sebagian besar
rakyat Indonesia.
Monopoli tanah
skala besar tersebut yang digadang-gadang sebagai salah satu skema untuk
menekan agnka pengangguran, kenyataannya daya serap (perekrutan) tenaga kerja
didalam perkebunan maupun pertambangan besar, berbanding terbalik dengan
jumlah tenaga kerja (penganggguran) yang terus menumpuk. Setiap perkebunan besar hanya mampu menampung rata-rata 200 orang
pekerja per 10.000 hektar tanah konsesinya yang berasal dari tani miskin dan
buruh tani yang terampas tanahnya. Dalam hitungan
200 Orang per 10.000 hk tersebut bahkan termasuk tani plasma yang
“terpaksa” tunduk pada tuan tanah karena ketergantungannya pada kapital untuk
mengolah lahan dan akses atas pasar. Di sisi lain, upah tenaga kerja(buruh tani) yang dibeli atau bagi hasil yang
diterima oleh para petani “plasma”sangatlah rendah.
Pekerja-perkeja tersebut hidup dengan
upah harian yang sangat rendah, bergantug pada
sistem kerja musiman, keadaan kerja yang sangat
buruk, serta dengan sistem bagi hasil yang
sangat timpang bagi petani plasma. Kampanye
perkebunan, pertambangan dalam skala besar untuk membuka lapangan pekerjaan
hanyalah ilusi dan bohong semata rezim SBY. Berdasarkan data BPS Per Februari
2012 tentang Ketenagakerjaan, angka pengangguran mencapai 43,16 Juta jiwa
dari 120,41 juta angkatan kerja di Indonesia[4]. tentu hal ini akibat dari
perampasan dan monopoli negara dalam skala luas baik negara dan swasta.
Contohnya; Negara sebagai Tuan Tanah (Tipe Tuan Tanah Keempat) yakni dalam
bentuk Taman nasional seluruh Indonesia yang berjumlah
50, menguasai sekitar 16.209.393 Ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia[5].
Melalui PTPN,
Negara juga melakukan monopoli tanah seluas ± 1,5 Juta Ha yang tersebar
diseluruh Indonesia, mulai PTPN I-XIV. Sedangkan Inhutani (Negara) I-V
melakukan monopoli tanah seluas ± 899.898[6] dan, masih banyak lagi bentuk-bentuk
negara sebagai tuan tanah. Sementara borjuasi besar- tuan tanah besar swasta
atau disebut sebagai tuan tanah tipe 3, Pertama di duduki PT.
Salim Group (penguasaan areal kelapa sawit saja belum produksi lain),
sekitar 1.155.745 Ha. Kedua Sinar Mas Group sekitar 320.463 Ha. Sedangkan urutan ketiga ditempati oleh Wilmar
International Group, sekitar 210.000 Ha. Ketiga borjuasi besar dan tuan tanah
besar swasta ini, juga bergerak di bidang perbankan dan jasa.[7]
Sementara itu
komposisi mayoritas
dari kaum tani Indonesia adalah tani miskin yang menguasai
tanah sangat terbatas, bahkan buruh
tani yang tidak menguasai tanah sama sekali, dan tani sedang, serta
segelintir tani kaya yang selalu terancam kebangkrutan karena monopoli input
dan out-put pertanian oleh imperialis dan tuan tanah besar. Kaum tani inilah
yang berjuang memenuhi pangan nasional secara mandiri, utamanya makanan pokok
seperti beras, sayur-mayur dan aneka protein tanpa dukungan berarti dari pemerintahan SBY.
Kebijakan dan
regulasi pemerintahan
SBY hanya mengabdi pada kepentingan imperialis dan
para tuan tanah besarnya, termasuk kebijakan dan regulasi tanah dan kapital
serta perdagangan input dan output pertanian. Karena itu, kepemilikan atastanah masih menjadi akar persoalan pokok kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia,serta biaya yang tinggi dalam mengolah tanah pertaniannya.
Sekalipun Indonesia memiliki potensi lahan pertanian yang sangat luas, kaum
tani dan rakyat secara keseluruhan selalu kekurangan makanan pokok untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini sangat
berbanding terbalik dengan corak produksi Indonesia sebagai Negara agraris.
Pada saat krisis pangan di dunia
mengemuka seperti saat ini sebagai bagian yang
integral dalam krisis umum imperialisme AS, pemerintah SBY malah dengan sigap menjanjikan tanah dengan berbagai kemudahan bagi para investor asing agar
“bersedia” mengembangkan tanaman pangan di Indonesia dengan kedok “keamanan
pangan dunia.” Padahal hampir setiap hari di seluruh pelosok negeri, kaum tani
menuntut lahan pertanian yang cukup dengan
bantuan kapital untuk dapat berproduksi. Akan tetapi tuntutan-tuntutan tersebut tak ubahnya bagai angin lalu bagi pemerintah lalim SBY-Boediono, tanah dan
kapital yang tersedia justru terus dirampas dan diberikan pada perkebunan skala besar.
Di tahun 2013 ini pula,
kerjasama-kerjasama Multilateral yang telah dibentuknya, baik ditingkat dunia
secara umum maupun ditingkat regional dengan berbagai perjanjian yang mengikat
bagi Negara-negara anggotanya melalui Pertemuan APEC
dan WTO, tentu tujuannya untuk melahirkan skema liberalisasi baik di sektor
perdagangan dan jasa. Namun juga yang tak luput menjadi salah-satu agenda besar
WTO adalah liberalisasi di sektor pertanian.
Melalui Forum
APEC dan khususnya WTO Desember 2013 nanti, akan mengikat negara-negara anggota (terutama
bagi Negara-negara berkembang) seperti Indonesia untuk mencabut
subsidi pertanian. Sementara di satu sisi, Imperialisme AS tidak konsisten
menjalankannya. Sebab, di negara-negara maju justru subsidi di pertanian masih
dijalankan. Kita dapat menilai bagaimana Negara Maju melalui ingin
memperlemah posisi petani di negara berkembang dan mengubah tanah petani
menjadi perkebunan skala besar yang berorientasi terhadap kepentingan pasar.
Dalam aspek
monopoli sarana dan hasil produksi akan menjadi bagian kebijakan dari
liberalisasi perdagangan WTO untuk meraup keuntungan besar bagi Imperialisme
AS. Kerjasama dibidang pertanian akan menjadi salah satu dari 3 Agenda
pembahasan dalalm pertemuan APEC dan WTO (1). Tentang Kerjasama
Agricultur, 2). Tentang Fasilitasi perdagangan/ Trade
Facilitation (termasuk didalamya Memaksimalkan kerjasama dibidang Jasa) dan,
3). Isu negara-negara miskin (LDC Issues: Least Development Countries). Dalalm
hal tersebut, Pemerintah RI akan mengajukan 4 komoditas utama produk pertanian
Indonesia untuk dimasukkan kedalam produk khusus di dalam WTO.
Dari ketiga
agenda utama tersebut, fokus utama pembahasan akan diletakkan paling utama akan
diletakkan pada pembahasan tentang jasa dan fasilitas perdagangan (Trade
Facillitation), termasuk jasa dalam perdagangan produk pertanian. Dalam hal
ini, Imperialis berusaha untuk menghindari pembahasan yang dalam dan serius
terkait dengan isu Agraria, hal tersebut ialah upaya untuk mengabaikan dan
menghindari program-program kerjasama perdagangan pertanian yang diajukan oleh
Negara-negara Global South (Negara-negara G-33), karena ajuan-ajuan tersebut
menyangkut soal kelansungan dominasi produk dan pasar pertanian yang sudah
dikuasai oleh Imperialis selama ini.
Dalam konteks
pertanian, Imperialisme justru akan lebih banyak menekankan tentang fasilitas
perdagangan, termasuk penghapusan bea eksport-Import dengan “ilusi perdagangan
bebas dan persaingan global”, sehingga Imperialisme dapat semakin
leluasa mendominasi pasar Internasional. Dampaknya, Kaum tani akan semakin
kehilangan kemampuan bersaing atas produk pertanian yang diproduksi seperti
Buah, Sayur-mayur dan kebutuhan pangan lainnya.
Sementara itu,
kebijakan-kebijakan yang reaksioner oleh rezim komprador Imperialisme AS, SBY
masih secara konsisten mengeluarkan berbagai paket kebijakan yang tujuannya
menyediakan tanah dalam skala luas untuk ekspansi perkebunan dan pertambangan
besar-besaran, baik ditujukan kepada borjuasi besar komprador, tuan tanah besar
atau Imperialisme AS dalam bentuk investasi asing. UU Pengadaan Tanah untuk
kepentingan umum merupakan legitimasi bagi perkebunan besar baik negara ataupun
swasta dalam melanggengkan praktek monopoli atas tanah.
Selain itu
pemerintahan SBY melakukan Praktek perampasan dan monopoli tanah dengan
berbagai dalih untuk meningkatkan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan
pekerjaan seperti penerbitan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Atas Tanah, Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Pakai yang diatur yang diatur secara eksplisit dalam UU
Penanaman Modal No.25 Tahun 2007[8]. Bayangkan saja, HGU dapat diterbitkan
untuk menguasai SDA khususnya tanah, tambang oleh perusahaan besar baik negara
atau swasta dengan kurun waktu 95 tahun. Sedangkan Hak Guna Bangunan (HGB)
sampai 80 tahun dan Hak Pakai mencapai usia lamanya 70 Tahun, sungguh
ironi.
Sementara itu,
Kaum tani juga semakin terancam akibat kebijakan taman nasional dan perkebunan
kayu yang disebut Hutan Tanaman Industri (HTI). Seperti suku minoritas di
Kalimantan dan Sumatera utara (di kawasan taman nasional gunung leuser) yang
tergusur akan kebijakan tersebut. Kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus No. 39 Tahun
2009, juga tak kala merampas segala hak demokratis kaum tani atas penguasaan
atas tanah. Pada pasal 2 yang berbunyi “KEK dikembangkan melalui penyiapan
kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk
menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional[9].
Artinya atas
nama zona ekonomi di suatu wilayah yang mempunyai batas tertentu, maka
pemerintahan SBY berhak mengambil tanah rakyat dengan dalih KEK untuk diberikan
pengelolahannya pada BUMN, BUMD dan pihak swasta. Manifestasi KEK yang
mempunyai hubungan dengan kebijakan MP3EI, ini bisa kita lihat dari megaproyek
tahun 2013 KEK Sei Mangke Sumut (Perkebunan, Industri, infrastuktur), KEK
Koridor 3 Bali, Nusa tenggara (Pariwisata, Peternakan, Infrastuktur), Dalam
proyek KEK pangan di Merauke, rencana investasinya diperkirakan akan mencapai
hingga US$ 43 juta per 5 (lima) ribu hektar dari 1 juta Ha yang dikuasai
dan masih banyak lagi di wilayah-wilayah Indonesia yang akan dijalankan dari
megaproyek KEK.
Atas
kenyataan-kenyatann tersebut dan perkembangan situasi umum Masyarakat Indonesia
sekarag ini, maka yang menjadi perjuangan pokok dari
kaum tani Indonesia adalah mewujudkan
reforma agraria sejati (landreform) atau
pembaruan tanah. Di Negeri setengah jajahan dan setengah feudal seperti
Indonesia, perjuangan mewujudkan reforma agraria sejati tidak hanya menjadi
kepentingan kaum tani semata, melainkan kepentingan bagi seluruh rakyat
Indonesia, sebab setiap persoalan rakyat yang mengemuka hari ini adalah akibat
dari sistem terbelakang (setengah feudal) yang dipertahankan oleh pemerintah
SBY atas dukungan tuannya Imperialisme AS.
Korelasi
Perampasan Tanah dengan Pendidikan di Indonesia
Dalam
mempertahankan sistem usang yang terbelakang, Imperialisme AS melalui
kompradornya di dalam negeri, sangat berkepentingan untuk terus mempertahankan
hegemoninya melalui berbagai aspek kebudayaan, terutama melalui lapangan
pendidikan, dengan merawat pikiran-pikiran yang jauh dari keilmiahan ilmu
pengetahuan dan penuh Ilusi yang ditambah dengan pikiran yang sesat dan mistis.Kenyataannya dilapangan
pendidikan, berbicara rendahnya kemampuan rakyat dalam mengakses pendidikan
disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan serta rendahnya anggaran yang
disediakan oleh pemerintah.
Kenyataan-kenyataan
tersebut, berbanding lurus dengan kondisi rakyat Indonesia yang sebagian besar
berada di pedesaan yang tumpuan ekonomi atas akses penguasaan tanah kecil.
Sekitar 65 % rakyat Indonesia berada di desa, 50 % nya tani miskin dan buruh
tani yang berpendapatan per hari RP. 20.000-30.000,-. Tentu hal ini akan
berdampak sistemik rendahnya akses masyarakat di desa mendapatkan pendidikan. Dari
total 237 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, diantaranya terdapat 46,28 juta
jiwa usia sekolah tingkat dasar (6-14 tahun), 12,6 juta jiwa sekolah
tingkat menengah (15-17 tahun) dan 62 Juta jiwa tingkat pendidikan tinggi
(18-30 tahun).
Dengan demikian penyelengaraan
pendidikan haruslah dijamin oleh negara agar rakyat
dapat mengakses dan menikmati setiap jenjang pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, Pendidikan tinggi dari 62 juta hanya
mampu menampung 5,2 juta peserta didik/mahasiswa (Data
BPS; 2012). Sementara,
angka Pengangguran dan angka buta huruf pun terus meningkat berbanding lurus
dengan angka kemiskinan di Indonesia yang mencapai 37.168.300 jiwa
(16,58 dengan persebaran 13.559.000 jiwa (12,52%) diperkotaan dan 23.609.000
jiwa (20,37%) di pedesaan. Tentu
angka-angka ini masih kecil jika dibandingkan dengan kenyataan rakyat
Indonesia, apalagi ukuran kemiskinan Indonesia dengan standar pendapatan di
bawah US$ 1 Dollar per hari. Maka dapat dipastikan sangat kecil anak petani dan
pemuda desa yang bisa mengakses pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan
tinggi.
Sementara itu, Pendidikan
dikembangkan sama sekali tidak mencerminkan aspirasi dan kepentingan Rakyat.
Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kebijakan dari sistem penyelenggaraan
pendidikan yang tidak pernah jauh dari penyelamatan krisis imperialisme AS.
Orientasi pendidikan semacam ini, tercermin dalam berbagai regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah disektor pendidikan, seperti penerapan Perguruan
Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), Undang-undang sistem pendidikan
nasional (UU
Sisdiknas) tahun 2003 dan, Undang-undang
badan hukum pendidikan (UU BHP) yang ditetapkan pada tahun 2009 sebagai undang-undang yang
memperkuat kedudukan dari PT BHMN yang mengatur secara khusus tentang
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan tinggi.
Selanjutnya,
tepatnya 13 Juni 2012, Pemerintah kembali menetapkan regulasi baru untuk
pendidikan tinggi, yakni Undang-undang pendidikan tinggi (UU PT) sebagai
pengganti dari UU BHP yang telah dicabut oleh Mahkamah konstitusi (MK) pada
akhir Maret 2010. Pencabutan UU BHP oleh MK tentu saja setelah
mengalami penolakan keras dalam berbagai bentuk protes dari berbagai kalangan,
Undang tersebut (UU BHP) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mampu meningkatkan mutu dan kualitas
pendidikan di Indonesia.Akan tetapi, UU PT merupakan baju baru dari UU BHP.
Sebab roh UU PT secara esensi masih sama dengan UU BHP yakni liberalisasi di
dunia pendidikan tinggi.
Hal ini tentu
akan menghilangkan semangat untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi seluruh
rakyat Indonesia khususnya kaum tani yang semakin terjerat atas perampasan dan
monopoli atas tanah. Secara politik, pendidikan Indonesia
mempunyai orientasi yang mempertahankan dominasi Imperialisme AS dan tuan tanah.
Artinya kurikulum pendidikan Indonesia mempunyai muatan untuk menerima
keunggulan Imperialisme AS yang patut dijadikan “Panutan” oleh seluruh rakyat.
Dengan demikian ajaran-ajaran Imperialisme AS tentang Liberalisasi (perdagangan
bebas), globalisasi, kerjasama dengan Negara maju, menjadi kemasan utama setiap
pelajaran di Indonesia khususnya di Perguruan Tinggi.
Sementara
pendidikan Indonesia yang mengabdi pada tuan tanah besar, dapat dilihat dari
kurikulum yang dikemas menggambarkan keunggulan Negara berkembang (Indonesia)
berasaskan perkebunan, pertambangan, pertanian skala besar yang dikelola negara
dan swasta. Tentu ini menjadi legitimasi untuk menguatkan keberadaan borjuasi
besar -tuan tanah besar di Indonesia. Tak ayal, pendidikan
Indonesia hanya menjadi corong propaganda dari Imperialisme AS dan borjuasi
besar-tuan tanah besar. Oleh karena itu, jika kita ingin
mengubah wajah Pendidikan Indonesia, maka menjadi keharusan untuk mengubah
orientasi pendidikan. yakniPendidikan yang Ilmiah, artinya
pendidikan yang berdasarkan kondisi objektif untuk memecahkan masalah rakyat.
Kemudian pendidikan yang demokratis, artinya pendidikan yang
memberikan kebebasan pada rakyat untuk mendapatkan pendidikan dan ruang
berekspresi di sektor kebudayaan. Dan terakhir pendidikan yang
mengabdipada rakyat, artinya pendidikan yang orientasi untuk kemajuan dan
kemakmuran rakyat Indonesia.
Semangat HTN
ke-53, Menyatukan Pemuda Mahasiswa Dengan Kaum Tani
Perjuangan kaum
tani melawan perampasan dan monopoli atas tanah oleh negara dan swasta, juga
menjadi bagian rakyat seluruh Indonesia khususnya pemuda mahasiswa yang fokus
memperjuangkan pendidikan dan memajukan peradaban kebudayaan rakyat Indonesia.
Disisi lain, Pemuda Mahasiswa harus mampu terlibat aktif dalam mendukung
pengorganisiran kaum tani di desa-desa untuk menghancurkan hubungan produksi
lama yang usang yakni setengah feudal. Itulah syarat-syarat agar rakyat bebas
dari belenggu Imperialisme AS serta Feodal. Dengan jalan itu kita mampu
membangun Indonesia yang berdaulat dan mandiri, yang mempunyai identitas
nasional untuk membangun sektor pertanian dan industri nasional yang maju.
Selamat Hari
Tani Nasional (HTN) 2013. Pemuda Mahasiswa bersama kaum tani dan seluruh Rakyat
Indonesia Menuntut:
- Hentikan Perampasan dan Monopoli atas tanah!
- Jalankan Reforma Agraria sejati dan Bangun Industri Nasional!
- Hentikan seluruh skema perdagangan tenaga kerja!
- Hentikan kenaikan harga kebutuhan Pokok!
- Wujudkan Kedaultan Pangan Indonesia!
- Realisasikan Pendidikan dan Kesehatan Gratis bagi rakyat!
- Hentikan Liberalisasi dan wujudkan pembangunan yang mengabdi pada Rakyat!
- Bubarkan WTO!
Hidup
Kaum Tani Indonesia!
Jayalah
Perjuangan Rakyat!
[1] Presiden RI. UUPA No.5 Tahun 1960. Tentang: Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria. LN 1960/104; TLN NO. 2043. Jakarta 1960
[2] Sejarah perkembangan Masyarakat Indonesia dan problem pokok kaum
tani. FMN, 2003
[3] Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2012
[4] Badan Pusat Statistik. Perkembangan beberapa Indikator Utama
Sosial-Ekonomi Indonesia. Katalog BPS: 3101015, Jakarta 2012
[5] http://alamendah.org/2010/04/11/daftar-taman-nasional-di-indonesia/,
diunduh pada tanggal 15-09-2013, pukul 17.54 WIB
[6]www.inhutani1.co.id/, www.bumn.go.id/inhutani2/en/, www.inhutani3.com/, www.inhutani4.co.id/,www.inhutani5.co.id/,
diunduh pada tanggal 15-09-2013, pukul 19.00-20.00 WIB
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perusahaan_kelapa_sawit_Indonesia,
diunduh pada tanggal 15-09-2013, pukul 20.34 WIB
[8] Presiden RI. UU RI No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal. Jakarta, 2007
[9] Presiden RI. UU RI No.39 Tahun Tentang Kawasan Ekonomi
Khusus.Jakarta, 2009
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !