SJSF - Perjuangan Massa
Headlines News :
Home » » SJSF

SJSF

Written By Unknown on Sabtu, 21 September 2013 | 05.16

Masyarakat Indonesia ;
Setengah Jajahan dan Setengah Feodal
I. Pendahuluan
Materi ini akan mengupas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia yang lahir dari gerak perkembangan masyarakat Indonesia. Dan untuk memahami sejarah perkembangan masyarakat tidak hanya sebatas berbicara tentang temuan-temuan purbakala, peristiwa-peristiwa penting, tokoh-tokoh sejarah atau literatur-literatur sastra. Lebih dari itu, sejarah perkembangan masyarakat sesungguhnya ditujukan untuk membongkar lebih jauh apa yang telah mendorong masyarakat untuk bergerak, apa yang melahirkan terjadinya perubahan dalam sejarah perkembangan masyarakat dan upaya-upaya apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam tiap perkembangannya untuk melahirkan perubahan.

Apa yang perlu saja diungkap dalam membongkar sejarah masyarakat ini, dikenal juga dengan Praktek Sosial yang meliputi praktek produksi, perjuangan klas dan percobaan atau eksperimentasi ilmiah. Selain itu, untuk benar-benar memahami arti sejarah perkembangan masyarakat, perlu juga mengetahui tentang dasar-dasar dalam memahami bergerak dan berkembangnya masyarakat hingga melahirkan perubahan-perubahan sosial dalam tiap perkembangannya. Untuk itu, penting mengetahui hukum tentang Kesadaran Sosial ditentukan Keadaaan Sosial, Hukum Umum Perkembangan Masyarakat, basis struktur dan bangunan atas, negara dan perubahan sosial serta peran pimpinan dan massa dalam perubahan.

Mempelajari hal-hal di atas akan memberikan pemaham yang objektif dan komperehensif bagi kita akan sejarah perkembangan masyarakat. Dengan memahami sejarah perkembangan masyarakat secara objektif dan komperhensif, akan sangat membantu kita dalam mengenali keadaan konkret yang kini di alami, memahami akar yang melahirkan persoalan-persoalan rakyat. Dengan demikian dapat menjadi landasan bagi kita untuk melakukan perjuangan untuk perubahan sosial dan bagaimana cara-cara yang harus ditempuh dalam merubah keadaan lama yang usang menjadi keadaan baru dengan masa depan yang gilang gemilang.

Perlu juga ditekankan disini, mempelajari sejarah perkembangan masyarakat bukan untuk menambah kekayaan intelektual ala borjuasi kecil umum lainnya yang seirng dijumpai di bangku-bangku kuliah atau kajian diskusi. Mempelajari hal ini, berarti untuk mengetahui segala sesuatu yang telah melahirkan perkembangan masyarakat hingga dewasa ini, menarik pelajaran-pelajaran penting dari itu semua, dan langkah apa yang harus kita lakukan setelah memahami itu semua.

Ada ungkapan sejarah masyarakat tidak pernah terlepas dari perjuangan klas[i] dan perubahan sosial adalah karya berjuta-juta massa rakyat di seluruh penjuru negeri. Ungkapan ini jelas memberikan penegasan, kenapa kita perlu mengungkap dengan terang seterang-terangnya, bahwa sejarah tidak pernah terlepas dari pertentangan klas di dalam masyarakat. Itu menegaskan, sejarah umum yang sering dipelajari di bangku-bangku kuliah atau sekolah, juga tidak terlepas dari kepentingan klas yang kini mendominasi dalam masyarakat.

Itulah sedikit pengantar singkat untuk memulai pembahasan tentang sejarah perkembangan masyarakat. Hal ini setidaknya memberikan kerangka berpikir (frame work) kita dalam memandang sejarah dan perkembangan masyarakat. Semoga materi yang akan disajikan ini, turut membantu kita semua untuk lebih bisa meningkatkan pemahaman dan mendorong kita lebih maju dalam praktek perjuangan massa.

II. Keadaan Umum Indonesia.
A. Keadaan Alam dan Masyarakat Indonesia.
  • Keadaan Alam
Indonesia merupakan negeri kepulauan yang sangat besar dan istimewa dalam kedudukan strategis percaturan ekonomi, politik, dan budaya dunia. Terdapat puluhan ribu (17.508) pulau dengan lima buah pulau besar: Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Kepulauan Indonesia didominasi oleh perairan dengan garis pantai termasuk terpanjang di dunia. Terletak pada 6 Lintang Utara 11 Lintang Selatan dan 95 Bujur Timur, 145 Bujur Timur, menjadikan Indonesia memiliki dua musim, kemarau dan penghujan. Demikian pula, Indonesia diapit oleh dua buah samudera besar yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang sangat menguntungkan dan strategis untuk jalur perdagangan dunia karena menghubungkan dua buah benua secara langsung, Asia dan Australia. Kontur daratan umumnya terdiri dari pegunungan dan gunung berapi sebagai sumber vulkanis yang subur, lembah-lembah dan puluhan sungai besar dengan ribuan anak sungainya, serta areal persawahan yang luas. Kesemuanya sangat cocok untuk pertanian, perkebunan dan sumber kekayaan hutan tropis yang tiada duanya. Di beberapa kawasan di Indonesia bagian Timur kita masih bisa menjumpai sabana-sabana yang luas yang sangat ideal untuk peternakan dan kegiatan pertanian yang lain. Hutan tropis di Indonesia menjadi paru-paru dunia dengan keanekaragaman hayati dan plasmanutfah terlengkap di dunia. Keadaan ini sangat penting peranannya dalam mempertahankan iklim global dan keseimbangan ekosistem. Demikian juga baik di daratan maupun perairan dan lepas pantai Indonesia terkandung jutaan metrik ton bahan mineral, batu bara, gas alam, tembaga, emas, minyak bumi, biji nikel, timah, biji besi dan gas alam yang menjadi sumber energi utama industri modern yang menggerakkan peradaban umat manusia di dunia ini.
  • Keadaan Masyarakat
Dewasa ini jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 224.784.210 orang, pertumbuhan penduduk 1,63% per tahun. Dengan kepadatan terbesar ada di Jawa, yaitu: 106 orang/km2, di Sumatera 80 orang/km2, dan Kalimantan 26 orang/km2, berdasarkan sensus penduduk 2001. Dengan komposisi penduduk laki-laki sebesar 112.235.364 jiwa sedangkan perempuannya sebesar 112.548.846 jiwa (Update kembali). Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa, yang memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri.

Dari sekian sukubangsa tersebut, Jawa adalah sukubangsa yang dominan dan penyebarannya sangat luas di berbagai pulau yaitu mencapai sekitar 45%, terutama secara historis sebagai dampak politik kolonialisme dan imperialisme pada Abad Ke-19 sampai awal Abad Ke-20. Pada hakekatnya semua sukubangsa tersebut memiliki bahasa mereka sendiri dalam pergaulan sehari-hari.

Dalam skala nasional mereka menggunakan bahasa Indonesia secara luas, kecuali di beberapa daerah pedalaman, sebagai kata pengantar dalam pergaulan antar sukubangsa. Demikian pula dalam dunia pendidikan dan acara-acara resmi nasional bahasa Indonesia telah diterima sebagai bahasa pengantar. Populasi penduduk dan sumber daya agraria yang melimpah, sudah seharusnya dijadikan modal untuk kesejahteraan massa rakyat.

Dari keadaan alam yang kaya akan berbagai sumber daya alam tersebut serta populasi penduduk yang sangat besar, seharusnya menjadi syarat pokok kemajuan bangsa yang menempatkan kehidupan rakyat Indonesia dalam kesejahteraan. Akan tetapi kondisi ini berbeda dengan kenyataan sebenarnya, rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Lalu, apakah yang menyebabkan rakyat Indonesia hidup dalam penindasan dan penghisapan? Hal inilah yang akan kita kupas dalam materi ini.

B. Tentang Hukum Umum Perkembagan Masyarakat.
Hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia adalah bagaimana mempertahankan hidupnya. Dalam mempertahankan hidupnya, manusia membutuhkan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk bekerja atau berproduksi. Dalam bekerja atau berproduksi, manusia memerlukan alat kerja dan sasaran kerja serta tenaga kerja itu sendiri. Pacul, mesin, komputer dan sebagainya, termasuk dalam alat kerja. Sementara yang termasuk dalam sasaran kerja, misalnya; tanah, bahan mentah dan sebagainya. Alat dan sasaran kerja inilah yang disebut dengan alat produksi. Tenaga kerja di sini adalah tenaga manusia itu sendiri. Hubungan antara tenaga kerja dengan alat produksi, akan melahirkan tenaga produktif (force of production), tenaga yang mampu memproduksi dan mampu melakukan perubahan sosial.

Dalam berproduksi, manusia juga memerlukan hubungan dengan yang lain guna kelancaran produksi. Hubungan ini yang disebut dengan hubungan produksi (relationship of production). Pertautan antara tenaga produktif dan hubungan produksi inilah yang disebut dengan corak produksi. Corak produksi inilah yang menentukan sistem ekonomi masyarakat yang menjadi basis atau dasar kehidupan masyarakat.

Suatu corak produksi dikatakan sebagai corak produksi kolektif atau penghisapan, dinilai dari;kepemilikan atas alat produksi, orientasi dalam berproduksi, partispasi dalam produksi danpembagian hasil dari produksi. Dari ketiga hal tersebut, kepemilikan atas alat produksi lah yang memiliki kedudukan menentukan. Watak seseorang ditentukan dari hubungan dia dengan alat produksi. Misalnya seorang tuan tanah yang karena memiliki tanah luas, ia tidak terlibat dalam produksi dan mengambil keuntungan besar atas penguasaannya terhadap tanah dan kehidupan sosial ekonominya bergantung pada penguasaan tanah dan serta hasil dari tanah yang dikuasinya. Seorang majikan pabrik atau perusahaan yang karena memiliki modal, tidak terlibat dalam produksi dan mengambil keuntungan lebih karena kepemilikannya atas modal. Dengan demikian, mereka memiliki watak sebagai penindas dan penghisap. Sementara buruh yang tidak memiliki apa-apa, sebatas menggadaikan tenaganya, terlibat aktif dalam kerja produksi dan berhubungan dengan alat produksi yang hanya mampu di kerjakan secara kolektif, maka akan melahirkan wataknya yang kolektif, disiplin, dan solidaritas yang tinggi. Demikian halnya dengan skill seseorang ditentukan dari hubungan dengan alat produksi. Misalnya buruh yang berhubungan dengan alat produksi dengan teknologi yang canggih, lebih memiliki skill yang tinggi dari pada kaum tani yang berhubungan dengan alat produksi yang masih sederhana.

Lalu, bagaimana corak produksi dapat menentukan gerak dari perkembangan masyarakat. Dalam hubungan produksi, kedudukan alat produksi dengan tenaga kerja atau manusia, bersifat menentukan. Kemajuan dari tenaga kerja akan mendorong kemajuan dari tenaga produktif, dan tenaga kerja akan memimpin perkembangan alat produksi. Ketika suatu corak produksi tidak sesuai dengan perkembangan tenaga produktifnya, maka corak produksi tersebut akan digantikan dengan corak produksi yang baru. Perubahan corak produksi yang lama menuju corak produksi yang baru akan menentukan perubahan sistem sosial dalam masyarakat.

Dalam hukum umum perkembangan masyarakat ini, akan dibahas 4 (empat) corak produksi yang pernah ada dalam sejarah perkembangan masyarakat di dunia. Tentu sejarah perkembangan masyarakat dalam pembahasan kali ini, bukan merupakan sejarah perkembangan masyarakat di Indonesia, melainkan sebatas hukum umum perkembangan masyarakat yang akan menjadi landasan teori kita untuk mengupas seperti apa sejarah perkembangan masyarakat di Indonesia. Mari kita bahas satu per satu.

[i] perjuangan kelas adalah perjuangan yang dilakukan oleh kelas-kelas sosial yang terbentuk dari hubungan produksi dengan wujud penguasaan alat produksi, partisipasi produksi dan pembagian serta pengaruh dari hasil produksi yang tidak seimbang. tujuan perjuangan kelas didasarkan atas penciptaan keadilan bagi kepentingan dan penghapusan penindasan akibat dari perbedaan dan ketimpangan dalam hubungan produksi.Antonina Yermakova dan Valentine Ratnikov. 2002. Kelas dan Perjuangan Kelas. Sumbu Yogyakarta:Yogyakarta.

Bagan I
Proses Kehidupan Masyarakat
Masa Komune Primitif
Dalam pelajaran-pelajaran sejarah, dijelaskan bahwa fase kehidupan manusia diawali dengan lahirnya zaman batu yang lahir ratusan juta tahun yang lalu. Fase ini ditandai dengan ciri-ciri kehidupan manusia secara berkelompok yang berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan mendiami gua-gua, serta pemenuhan kebutuhan hidup yang dilakukan dengan cara berburu dan meramu makanan, pada saat itu manusia sangat tergantung pada alam. Fase inilah yang dikenal sebagai fase komune primitif.

Dikatakan sebagai fase komune primitif karena pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan dan dinikmati secara bersama-sama oleh anggota komune dengan alat produksi yang sangat primitif, yakni penggunaan batu dan tulang sebagai alat kerja dan alam tempat berburu sebagai sasaran kerjanya. Lalu bagaimana fase komune primitif ini bisa lahir?

Fase komune primitif lahir dari perkembangan alat produksi yang masih sangat primitif. Penggunaan batu dan tulang sebagai alat produksi, yang hanya memungkinkan manusia untuk berburu dan meramu makanan (food gathering) dan hanya dapat dikerjakan secara kolektif. Hal ini melahirkan cara pandang masyarakat komune yang sangat bergantung terhadap alam, bagaimana alam mampu menyediakan kebutuhan hidup bagi suatu komune. Itu sebabnya, ketika alam sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup suatu komune, maka komune tersebut akan pindah untuk mencari tempat lain yang masih cukup memenuhi kebutuhan hidup komune tersebut. Menghadapi alam yang ganas, yang masih dipenuhi dengan hewan-hewan buas, mengharuskan mereka untuk hidup secara berkelompok dan mendiami gua-gua. Sehingga sering kita mendapatkan dalam temuan-temuan arkeolog, sisa-sisa peninggalan sejarah dari kehidupan masa lampau.

Pekerjaan berburu biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki, sementara kaum perempuan bertugas untuk meramu makanan dan selanjutnya dibagikan untuk dinikmati secara bersama-sama oleh anggota komune. Selain itu, kaum perempuan lah yang pertama kali menemukan dan mengembangkan system bertani atau bercocok tanam. Inilah sebabnya, dalam pelajaran-pelajaran sejarah dijelaskan bahwa garis matrilineal atau garis ibu lah yang lahir pertama kali. Hal ini menjelaskan bahwa kaum perempuan pernah menempati kedudukan penting dalam hubungan produksi.

Pada awalnya sistem bercocok tanam hanya sebatas pelengkap untuk menutupi kekurangan terhadap kebutuhan komune yang didapatkan melalui kerja berburu. Akan tetapi seiring dengan perkembangan kebutuhan komune yang terus meningkat, sementara alam semakin terbatas dalam memenuhi kebutuhan komune, serta sistem bercocok tanam yang terus berkembang pesat dan mulai mencukupi pemenuhan kebutuhan hidup komune, maka sistem berburu mulai ditinggalkan dan diganti dengan sistem bercocok tanam. Saat itulah kaum pria mulai mengambil alih sistem bercocok tanam dan mendominasi dalam hubungan produksi. Hal inilah yang kemudian melahirkan garis patrialkal dalam masyarakat yang kemudian menempatkan kaum perempuan pada urusan-urusan domestik, seperti mengurusi anak dan sebagainya.

Berkembangnya cocok tanam merubah praktek produksi masyarakat. Masing-masing komune memiliki jenis cocok tanam atau usaha produksi sendiri. Di pedalaman, bersandar pada hasil cocok tanam daratan, sementara di pesisir pada hasil-hasil laut dan pernak-pernik seperti kerang. Terus meningkatkan populasi komune mengakibatkan peningkatan kebutuhan komune. Hal ini kemudian mendorong lahirnya hubungan barter atau pertukaran barang antara komune yang satu dengan komune yang lain.

Untuk melaksanakan hubungan barter tersebut, masing-masing komune menunjuk orang yang bertugas untuk melakukan hubungan barter antara komune yang satu dengan komune yang lain. Orang yang melakukan barter tersebut, tidak terlibat secara langsung dalam kerja produksi, melainkan hidup dari pengumpulan hasil produksi komune dan hasil barter. Inilah yang kemudian melahirkan praktek penumpukan atau akumulasi pada segelintir orang. Penumpukkan atau akumulasi yang dilakukan tersebut melahirkan syarat bagi petugas barter untuk mengangkat pengikut yang kemudian menjadi pengawal dan sebagai kekuatan militernya untuk terus melakukan praktek akumulasi. Dengan demikian juga memiliki syarat untuk memimpin suatu komune. Inilah yang kemudian dikenal sebagai kepala suku.

Berkembangnya temuan seperti api dan logam di masa komune primitif, telah mengembangkan kemampuan masyarakat ketika itu untuk melahirkan tombak dan sejenisnya serta juga uang. Peran kepala suku kemudian beralih menjadi penumpuk kekayaan dan memaksa anggota komune untuk menyerahkan miliknya kepada kepala suku. Jika tidak kepala suku akan menindas melalui aparat bersenjatanya, sementara di lain sisi persaingan antar kelompok/komune terus terjadi yang kemudian melahirkan peperangan.

Kebutuhan akan produksi yang meninggi, juga memaksa terjadinya persaingan antar komune yang satu dengan lainnya yang kemudian menyebabkan perang penaklukan serta perebutan wilayah kekuasaan antar komune. Komune atau suku yang kalah perang kemudian ditawan dan dipaksa menjadi budak untuk menghasilkan produksi bagi suku yang menang. Daerah komune yang kalah kemudian dikuasai oleh komune yang menang. Dengan demikian hubungan corak produksi komune primitif hancur dan digantikan oleh corak produksi baru yaitu sebuah kehidupan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan penindasan klas yang satu terhadap klas yang lain, dalam hal ini antara pemilik budak dan tuan budak. Ini disebut dengan masa kepemilikan budak.

Masa Kepemilikan Budak
Masyarakat kepemilikan budak adalah tingkat perkembangan dari masa komune primitif. Syarat-syarat kelahiran masyarakat perbudakan telah ada dalam perkembangan masyarakat komune primitif. Dalam masa ini, tuan budak adalah segala-segalanya, sementara budak merupakanalat produksi bagi tuan budak, kekayaan tuan budak dilihat dari jumlah budak yang dimilikinya. Tuan budak tidak terlibat dalam kerja produksi dan memperlakukan budak sebagai alat untuk mengerjakan apapun yang dikehendaki sang tuan budak. Mulai dari garap tanah, membangun benteng, hingga melayani nafsu birahi bejat sang tuan budak. Sang tuan budak berhak melakukan apapun terhadap budak, karena hidup matinya tergantung dari sang tuan budak. Hasil produksi sepenuhnya dinikmati oleh tuan budak.

Pada masa kepemilikan budak, terjadi perkembangan budaya yang pesat. Hal ini karena tuan budak bisa meluangkan waktu lebih untuk menuangkan ide-idenya, sementara si budak dipaksa untuk menjalankan keinginan sang tuan budak. Borobudur, piramida, colleseum dan lain-lain adalah hasil kebudayaan yang lahir di zaman kepemilikan budak. Secara umum, zaman kepemilikan budak ini dapat dilihat dalam masa Mesir kuno, Persia, Romawi, India dan Cina.

Dalam fase perbudakan ini juga sudah dimulai transaksi perdagangan atau dikenal dengan merkantilis. Walaupun, masih bersifat barter tapi ada juga yang sudah menggunakan alat tukar (belum dalam bentuk uang kertas atau logam). Berarti pandangan bahwa kapitalisme identik dengan perdagangan tidaklah tepat sepenuhnya karena fase perbudakan hingga fase selanjutnya pasti melakukan perdagangan. Ini dikarenakan kelompok atau wilayah satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan hasil bumi yang dihasilkan oleh tenaga kerja baik dalam bentuk budak, tani hamba maupun buruh. Dengan adanya perbedaan hasil produksi ini akan mendorong adanya perdagangan untuk memenuhi kebutuhan hidup suatu masyarakat dan kebutuhan para tuan budak. Dan perdagangan yang dilakukan pada fase perbudakan dikenal sebagai merkantilis kuno, karena belum ada alat tukar yang baku dan hanya berdasarkan sistem barter.

Untuk mempertahankan penghisapannya terhadap budak, tuan budak membangun struktur politiknya. Bagi budak yang ingin melawan, akan berhadapan dengan algojo-algojonya tuan budak. Penindasan luar biasa yang dihadapi kaum budak, membuat kaum budak tidak tahan lagi dan melakukan pemberontakkan. Di Romawi misalnya, terjadi pemberontakan budak yang terkenal yaitu Spartacus. Meledaknya pemberontakan kaum budak dimana-mana, membuat tuan budak berpikir dua kali untuk tetap mempertahankan hubungan kepemilikan budak yang kemudian membebaskan budak secara relatif. Budak-budak yang telah dilepaskan harus bergantung pada sistem bagi hasil yang didapatkan dari menggarap tanah yang dikuasai oleh si tuan budak yang kemudian menjadi tuan tanah dan budak berubah menjadi tani hamba. Dengan demikian terjadi perubahan hubungan produksi baru dalam masyarakat, yaitu hubungan produksi antara tuan tanah dengan tani hamba. Inilah yang menandai lahirnya corak produksi feodalisme dalam masyarakat.

Masa Feodalisme
Setelah masa kepemilikan budak, perkembangan masyarakat selanjutnya memasuki masa feodalisme. Feodalisme adalah sebuah corak produksi yang berdasarkan hubungan produksi penindasan dan penghisapan antara tuan tanah dengan tani hamba. Si tuan tanah menguasai sepenuhnya tanah yang digarap kaum tani dan kaum tani memiliki kewajiban kerja di lahan milik tuan tanah dan kewajiban menyerahkan sebagian hasil produksinya kepada tuan tanah sebagai wujud dari kepatuhan terhadap tuan tanah dalam. Penyerahan hasil garapan dari tani hamba ini biasanya dalam bentuk upeti dan atau pajak. Jika tidak, maka kaum tani akan diberi hukuman baik fisik ataupun dalam kewajiban lain seperti beban kerja dan wajib serah yang lebih banyak kepada tuan tanah.

Dengan demikian, kaum tani tak ubahnya hamba bagi si tuan tanah. Tuan-tuan tanah ini juga menguasai kedudukan politik mulai dari kerajaan pusat hingga ke pedesaan, Dalam menjaga kekuasaannya, kerajaan pusat memberikan kewenangan kepada bangsawan kerajaan di daerah tertentu untuk berkuasa. Kerajaan Inggris Raya misalnya, memiliki berbagai perwakilan raja-raja kecil di skotlandia, Irlandia ataupun Wales. Raja-raja kecil ini memiliki kewajiban untuk menyerahkan upeti kepada raja besar atau tuan tanah di pusat kerajaan dalam waktu-waktu tertentu.

Dalam mempertahankan kedudukan klasnya, kaum bangsawan feudal menggunakan kekuatan gereja untuk kemudian mengamini adanya kekuasaan kaum feudal, dengan jargon raja adalah utusan Tuhan di muka bumi. Sehingga melawan raja, sama saja dengan melawan Tuhan. Hingga itu, seluruh rakyat harus tunduk kepada kekuasaan raja. Masa ini dikenal juga masa kegelapan (dark age), karena ilmu pengetahuan tidak dibiarkan berkembang. Justru dogma-dogma agama yang melegitimasi kekuasaan raja yang dipertahankan. Salah satunya adalah ketika Gallileo Gallilei menyatakan bumi itu bulat, tetapi kaum gereja menolaknya. Akibatnya, Gallileo Gallilei dihukum mati. Pihak gereja vatikan baru mengakui kesalahan tersebut pada abad 20.

Di zaman feudal ini, uang kertas dan logam kemulai berkembang sebagai alat tukar (transaksi) atas barang. Mulailah berkembang ekonomi perdagangan ketika itu. Atau dikenal juga fase merkantilisme modern. Perdagangan berkembang begitu pesat dan melahirkan klas baru dalam masyarakat yaitu kaum pedagang. Kemudian mulai terjadi persaingan untuk memperebutkan pasar atau jalur perdagangan. Di Eropa ketika itu jalur perdagangan yang terkenal adalah jalur sutra, dengan pusat perdagangan di bizantium (konstantinopel). Kemudian meledaklah perang perang salib antara kerajaan Inggris raya dengan kerajaan turki ottoman. Hal ini mengakibatkan jatuhnya konstantinopel ke tangan Turki. Akibatnya, akses jalur perdagangan jatuh ke tangan kerjaan turki.

Atas hal tersebut, kerajaan-kerajaan di Eropa seperti Inggris, Portugis dan Spanyol mulai melakukan proses penjelajahan samudra, apalagi sejak ditemukannya kompas (alat penunjuk mata angin). Lalu penjelajahan dilakukan ke berbagai benua. Colombus (Spanyol) menemukan benua Amerika bagian utara. Fernando Megalhaens (Spanyol) menemukan Amerika Selatan, Alberquque (portugis) menemukan tanjung harapan (Afrika Selatan) dan melanjutkan perjalanan ke India. Persaingan memperebutkan benua-benua baru ketika itu dikenal dengan slogan gold, glory dan gospel. Ini berlangsung dari abad 15-17 Masehi.

Tidak jarang sering terjadi pertempuran armada laut dalam upaya penjelajahan samudara tersebut. Kemudian lahirlah salah satu perjanjian antara Spanyol dan Portugis untuk membagi wilayah dunia ke dalam kekuasaan mereka. Fase ini juga mengawali lahirnya masa kolonialisme terhadap benua baru yang ditemukan oleh bangsa penjajah Eropa. Suku-suku asli disingkirkan bahkan dibunuh ketika mengadakan perlawanan terhadap kaum penjajah. Mereka yang masih hidup sendiri dijadikan tani hamba bahkan budak untuk mengeruk sumber-sumber kekayaan alam yang akan diperdagangkan di Eropa.

Di Eropa sendiri, kaum pedagang berkembang pesat dengan membangun gilde-gilde (industri rumah tangga) yang menghasilkan produksi kerajinan tangan. Tuan-tuan gilde mempekerjakan sebagian besar kaum tani hamba. Di akhir abad 16 terjadi penemuan-penemuan besar yang melahirkan mesin uap, kereta api dan sebagainya. Ini yang dinamakan dengan Revolusi Industri yang diawali di Inggris. Industri-industri gilde mulai hancur digantikan dengan pabrik-pabrik dan mempekerjakan klas baru yaitu buruh. Dan tuan-tuan gilde beranjak menjadi si kapitalis. Revolusi Industri ini adalah yang menandai perubahan mendasar atas alat produksi yang telah mendorong kemajuan tenaga produktif dan perubahan hubungan produksi dalam masyarakat feudal.

Sementara kaum tani sendiri semakin jengah dengan penindasan kaum feudal bangsawan. Mereka mulai melakukan pemberontakkan melawan kesewenang-wenangan tuan feudal. Di Inggris, terjadi revolusi besar Inggris yang dilakukan kaumla vellers (cikal bakal borjuasi) yang menuntut persaman dengan kaum aristokrat dan kaum diggers (kaum tani) menuntut tanah. Peristiwa ini mengakibatkan raja Inggris Charles I digantung. Hal ini mengakibatkan perubahan bentuk Negara Inggris dari Monarkhi Absolut ke Monarkhi Konstitusional.

Di Prancis, terjadi revolusi Prancis 1789 menumbangkan kekuasaan absolut Louis XVI. Dalam revolusi ini dipimpin borjuasi dengan melibatkan kaum tani dan klas buruh yang mulai tumbuh. Revolusi ini melahirkan negera modern (republik) berdasarkan trias politica. Klas buruh sendiri pasca revolusi ini dikhianati oleh kaum borjuasi.
Jerman yang lebih terbelakang perkembangannya, terjadi pemberontakkan kaum tani yang dikenal juga dengan perang Tani Jerman. Perang ini dipimpin oleh borjuasi dan melibatkan kaum tani dan klas buruh. Perang ini kemudian mampu dipatahkan karena pengkhianatan kaum borjuasi.

Kemudian, dalam aspek kebudayaan terjadi kemajuan ilmu pengetahuan untuk menghancurkan dominasi gereja dan kerajaan, terutama pasca revolusi industri. Di kalangan gereja muncul Martin Luther King yang kemudian melahirkan agama Kristen protestan sebagai kritikan terhadap posisi gereja ketika itu. Temuan-temuan dan pemikiran-pemikiran borjuasi berkembang pesat, mulai dari konsep Negara modern, filsafat hingga seni seperti nudis yang dikembangkan kembali. Zaman ini dikenal dengan abad pencerahan atau sering dikenal dengan Rennesaince (dalam bahasa Italy) atau Aufklarung (dalam bahasa Jerman) serta enlightment (dalam bahasa Inggris). Dan puncak dari itu semua adalah runtuhnya filasafat Jerman (hegel) yang menjadi pemikiran utama di Eropa ketika itu.

Dari hal di atas bisa disimpulkan bahwa perkembangan dari masyarakat feudal menuju kapitalisme di Eropa mengalami fase sempurna. pergeseran ini dimulai dari revolusi ekonomi yang ditandai lahirnya revolusi Industri sehingga melahirkan klas baru dalam masyarakat yaitu klas buruh dan borjuasi. Dan diikuti dengan adanya revolusi politik yang ditandai dengan runtuhnya monarkhi Prancis melalui Revolusi Prancis dan revolusi kebudayaan melalui zaman pencerahan.

Masa Kapitalisme-Imperialisme
Foedalisme di Eropa runtuh dan melahirkan sistem baru dalam masyarakat yaitu kapitalisme. Hubungan produksi dalam masyarakat kapitalisme adalah hubungan penindasan antara si tuan kapitalis (pemilik modal) terhadap klas buruh. Klas buruh adalah klas yang tidak memiliki apa-apa selain tenaga yang digunakan untuk memenuhi nafsu si tuan kapitalis. Sementara tuan kapitalis memiliki modal, tidak berpartisipasi dalam produksi dan mengambil untung besar dari keringat dan tenaga klas buruh. Penindasan dalam masyarakat kapitalisme terletak pada perampasan nilai lebih yang dihasilkan oleh kerja buruh oleh pemilik modal/tuan kapitalis.

Tokoh besar dalam pemikiran kapitalisme adalah David Ricardo dan Adam Smith. Mereka berpendapat bahwa sumber kemakmuran dari masyarakat adalah dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada pasar, sehingga segala sesuatu yang menghambat perkembangan pasar harus dipangkas. Kemudian di fase awal kapitalisme ini, ekonomi pasar sangat berkembang. Fase perkembangan kapitalisme persaingan bebas dimulai sejak 1860-1870.

Sesuai dengan watak dasarnya yang eksploitatif, ekspansif dan akumulatif, perkembangan persaingan bebas kapitalisme mulai mengalami transisi (1873-1890) ketika sebagian besar kapitalis kecil dan perusahaan kecil runtuh dan mulai diakuisisi atau dimerger dengan perusahaan kapitalis besar. Dan sejak 1900-1903 mulai terjadi krisis dimana kapitalis kecil runtuh dan berkembangnya kapitalisme monopoli yang melakukan pengakusisian kapitalis kecil oleh kapitalis besar dalam suatu negara, serta pada dewasa ini bahkan lintas negara. Disinilah kemudian terjadi disebut fase imperialisme sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme[i].

Imperialisme adalah tahap perkembangan tertinggi kapitalisme di dunia. Imperialisme adalah adalah tahap kapitalisme monopoli yang ditandai oleh 5 ciri penting yaitu :
  1. Konsentrasi produksi dan kapital telah berkembang menuju sebuah tahapan tinggi sehingga menciptakan monopoli yang memegang peran penting dalam kehidupan ekonomi. Contohnya dahulu ada sony dan ericcson tapi sekarang sudah bersatu menjadi sonyericcson, mercedes dan benz merupakan perusahan otomotif yang berbeda tapi mercedes mengakuisisi benz dan berubah menjadi mercedes-benz. Dan hanya ada satuholding compay dan yang lainnya hanyabranch company (coca cola di swedia, honda di jepang, BMW dan Mercedes Benz ada di jerman tapi kantor cabangnya tersebar di seluruh dunia. Serta, satu perusahan juga menguasai dari industri hulu dengan hilir.
  2. Perpaduan antara kapital bank dengan kapital industri yang menciptakan basis bagi apa yang dinamakan kapital finans. Contohnya keberadaan World Bank, ADB, IMF, dsb yang berdiri untuk mengumpulkan modal dan modal tersebut berasal dari super profit yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh negara-negara kapitalisme. Dan kapital finans ini digunakan oleh negara imperialis untuk melakukan ekspor kapital dan membangun perusahaan cabang di seluruh dunia yang kelak akan menjadi jalan untuk terbentuknya negara-negara boneka.
  3. Eksport kapital yang berbeda dengan ekport komoditi. Contohnya banyak hutang, bantuan, investasi yang dikucurkan ke negara berkembang atau setengah jajahan dan jajahan dengan dalih pembangunan di negara tersebut. biasanya dengan bungkus perjanjian yang timpang.
  4. Pembentukan formasi kapitalisme monopoli internasional dan pembagian dunia di antara mereka. Contohnya, adanya negara adikuasa/Imperialisme yang pada umum disebut negara dunia pertama dan negara-negara miskin yang selanjutnya disebut dunia kedua dan ketiga.
  5. Pembagian teritori di seluruh dunia di antara kekuatan kapitalis besar telah selesaiContohnya dapat kita lihat dengan adanya G-7, G-8, G20 dsbnya. dan Sejak PD II tidak ada lagi negara lain yang menjadi kapitalis baru. Dan ini didominasi oleh Imperialisme AS.
Dalam perkembangan selanjutnya, imperialisme telah menjadi sistem yang mendominasi dunia saat ini. Imperialisme akan selalu mengalami krisis akibat over produski dan over kapital. sehingga untuk itu, imperialisme selalu berupaya melakukan perebutan sumber-sumber material, pasar, tenaga kerja dan ekspor kapital demi mendatangkan keuntungan super di balik itu semua. Nafsu serakah imperialisme telah mendatangkan bencana kemanusiaan terbesar yaitu perang (PD I dan II), penjajahan dan hancurnya penghidupan masyarakat di berbagai negeri baik dalam bentuk perampasan hak-hak hidup rakyat seperti agresi dan invansi untuk menghancurkan setiap negara yang tidak patuh pada imperialisme. Dan juga perampokan kekayaan alam dan tenaga kerja yang melakhirkan kemiskinan di seluruh rakyat dunia.

Kini, dengan berbagai daya upaya, imperialisme terus berupaya mempertahankan dominasinya. Krisis umum dalam tubuh imperialisme telah menciptakan syarat-syarat bagi bangkitnya perjuangan rakyat di berbagai negeri, terutama negeri jajahan dan setengah jajahan. Dimana-dimana imperialisme terus dihujat dengan aksi-aksi massa. Rejim-rejim boneka pendukung imperialisme di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan tidak lepas dari gelora perjuangan massa rakyat yang terus bergerak maju. Di bawah dominasi imperialisme pimpinan AS yang mendominasi dunia saat ini, imperialisme AS sesungguhnya seekor macan kertas yang lapuk dan akan digulung oleh gelombang perlawanan seluruh rakyat di berbagai negeri, terutama negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan.

A. Sejarah Perjuangan Rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia Pada Masa Pra Sejarah dan Pra Jajahan
(1500 SM 1602 M)
Dari berbagai penelitian tentang sukubangsa di Indonesia diketahui bahwa terdapat dua ras penting yang merupakan penduduk asli Indonesia yaitu dari ras Negrito (sekarang ada di Papua) dan Wedda. Mereka hidup dalam sistem komunal primitif, dimana tidak ada klas sosial sehinggga tidak ada suprastruktur kekuasaan milik klas yang berkuasa. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam dengan cara berburu dan meramu.

Kedatangan ras Mon Khmer dari Yunnan (Tiongkok Selatan) pada tahun 1500 SM menyebabkan terjadinya perang antara penduduk asli dan pendatang. Karena kemajuan peradaban dan persenjataan yang dimiliki Mon Khmer maka penduduk asli Indonesia dapat dikalahkan. Penduduk asli yang kalah lantas dijadikan budak oleh ras pendatang, sementara sebagiannya lagi melarikan diri hingga ke kepulaun Mindanau, Philipina. Peristiwa ini menandai dimulainya masa kepemilikan budak dalam sejarah Indonesia. Hal ini ditandainya dengan banyaknya terjadi perang antar kelompok (komunal) dalam satu wilayah untuk memperebutkan sumber makanan yang kian hari kian terbatas sehingga jumlah budak yang akibat kalah perang semakin bertambah. Selain itu, penegakan batas-batas kekuasaan atas tanah (monopoli) oleh tuan budak juga mulai ada. Hal ini juga menandakan bahwa masa feodal dimana terdapat penguasaan tanah oleh raja-raja juga sudah mulai tumbuh.

Kepemilikan perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup (pemberian makanan dan pakaian bagi budak). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di Indonesia.

Dengan demikian, beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme, adalah tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai masih kepemilikan budak. Ini ditandai dengan adanya pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum budak tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak.

Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa kepemilikan budak untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari basis strukutur perbudakan. Bagaimana dengan Feodalisme? Cikal-bakal feodalisme telah tumbuh pada masa perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah. Hal ini dikarenakan tuan budak mengerti jika tidak ada pembagian yang dapat memuaskan bagi kaum budak maka akan memperhebat pemberontakan dari klas budak itu sendiri. Perubahan inilah sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas mereka. Klas-klas sosial dalam masyarakat perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Bentuk perubahan ini dapat kita lihat dari mulai muncul klas-klas baru yaitu tuan tanah dan tani hamba yang merupakan konsekuensi logis dari dilaksanakannya pembagian hasil dari tuan tanah ke tani hamba. Akan tetapi, senyatanya tani hamba tersebut harus menyetorkan hasil buminya kepada tuan tanah. Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh ajaran Islam yang mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi, Islam tidak melawan perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh dan berkembangnya feodalisme.

Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang betul-betul tersentral. Dan artinya tidak ada kerajaan feodal yang menguasai atas kerajaan feodal lainnya tidak sepertinya kerajaan majapahit (perbudakan) yang menguasai kerajaan-kerajan budak di seluruh penjuru negeri. Mereka masih terdiri dari tuan tanah-tuan tanah lokal (raja-raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di Indonesia justru dilakukan di kemudian hari oleh kolonialisme Belanda.

Rakyat Indonesia Pada Masa Feodalisme dan Jajahan Belanda
(1602 M-1830 M)
Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada awal abad 17, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari jalur perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di Eropa untuk kebutuhan menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman berlayar dan mendarat di Banten, untuk memulai perdagangan secara langsung dengan bangsa Indonesia.

Pengusaha-pengusaha Belanda lantas membuat Kongsi Dagang pada tahun 1602 yang di kenal sebagai VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Tujuannya untuk menguasai monopoli peradagangan melalui pengkonsolidasian kekuasaan politik dan ekonomi lokal atau menyatukan kerajaan feodal baik dengan cara penaklukan, adu domba maupun mengakusisi agar kerajaan feodal tersebut dikuasai oleh Belanda melalui VOC. Sudah barang tentu upaya-upaya tersebut mendapat tantangan yang keras dari rakyat Indonesia, misalnya Perang Jayakarta melawan politik bumi hangus J.P Coen pada tahun 1619, tragedivan Bandanaira, tahun 1621, perang Sultan Agung pada tahun 1628-1629, dan perang Ambon pada tahun 1635. Konsolidasi kekuasaan terus dilakukan oleh VOC seiring dengan pembangunan struktur kekuasaan lokal yang berasal dari bangsawan-bangsawan yang merupakan tuan tanah lokal. Mereka diharuskan untuk membayar upeti kepada VOC sama seperti ketika mereka membayar upeti kepada Sultan Agung, atau kepada raja lainnya di Nusantara.

Tahun 1799, VOC dinyatakan bubar karena mengalami kebangkrutan akibat korupsi dan menanggung banyak beban hutang akibat besarnya biaya perang yang amat besar untuk mengkonsolidasikan kerajaan-kerajaan feodal. Akan tetapi, mereka telah berhasil menancapkan kekuasaan di Indonesia dengan mengkonsolidasikan semua kekuasaan politik dan ekonomi di Batavia. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk oleh Majapahit dan Sultan Agung. Dengan demikian memaksa semua kekuasaan lokal tunduk pada Gubernur Jenderal VOC dan merombak birokrasi kerajaan sesuai dengan kebutuhan VOC serta memaksa mereka membayar upeti kepada VOC. Dan hal ini baru berhasil dilakukan VOC kurang lebih dalam waktu 200 tahun.

Kekuasaan kolonial ini diperkuat cengkeramannya oleh Gubernur Hindia Belanda paska VOC, terutama oleh Daendels (1808-1811) dan Raffles (1811-1816). Dua orang Gubernur Jenderal di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, yang sangat ambisius melaksanakan program modernisasi atas birokrasi tanah jajahan. Mereka menerapkan penarikan pajak seperti pada zaman Feodalisme Eropa, terutama pajak tanah dan hasil bumi. Sistem upeti yang selama ini berlaku di Indonesia diganti dengan Pajak Tanah (Land Rent) yang dibayar dengan penyerahan wajib (Verlichte leveraties) hasil panen, yaitu 2/5 dari hasil panen yang bagus dan 1/4 dari hasil panen yang buruk. Demikian pula dengan struktur pemerintahan kolonial yang juga dirubah sedemikian rupa hingga menjangkau desa, dengan menggunakan tenaga-tenaga bangsawan lokal (tuan-tuan tanah) dengan jabatan asisten Residen, Wedana dan Asisten Wedana, hingga Demang. Pada masa tersebut telah dilakukan pengenalan sistem sewa secara resmi atas tanah. Penderitaan rakyat sangat parah dan menyedihkan. Mereka ditindas oleh dua kekuasaan sekaligus. Di satu sisi harus membayar pajak tanah kepada pemerintahan kolonial dan di sisi lain harus menyerahkan upeti dan penggunaan tenaga secara cuma-cuma bagi penghidupan para bangsawan lokal.

Perang paling akhir dan paling lama yang mendatangkan kerugian terbesar sepanjang sejarah kekuasaan kolonial Belanda pada masa itu yang dilancarkan oleh Diponegoro (1825-1830), adalah salah satu jawaban rakyat atas penindasan ini. Perang Jawa atau perang Diponegoro disambut rakyat dan juga didukung oleh beberapa pimpinan Islam pedesaan. Rakyat mendukung perang ini karena penghisapan yang dilakukan oleh penguasa di manakerajaan Mataram bekerjasama dengan Penjajah Belanda. Penindasan itu berupa beban pajak yang terlalu tinggi dan kerja paksa. Ditambah kebencian rakyat atas rumah-rumah bea-cukai yang oleh kerajaan disewakan kepada orang-orang Tionghoa, dimana mereka semaunya menaikkan tarikan bea-cukai. Akibat dari perang ini, telah menyebabkan kebangkrutan total keuangan negeri Belanda yang saat itu juga baru bebas dari kekuasaan Perancis dan Belanda diharuskan membayar hutang perang kepada Perancis.Kebangkrutan ekonomi inilah yang membuat kolonialisme Belanda menerapkan sistem jajahan yang sangat menindas dan menghisap rakyat Indonesia waktu itu yaitu Sistem Tanam Paksa (STP) atau cultuur stelsel.

Terkonsolidasikannya kekuasaan raja-raja lokal yang pada hakekatnya adalah tuan feodal besar oleh Belanda serta dikontrolnya secara ketat kekuasaan yang ada menunjukkan bahwa kekuasaan feodal mulai melapuk. Dan dengan diperkenalkannya sistem sewa-tanah sejak Rafless hingga tetap dipertahankan bahkan dijadikan dasar bagi STP, maka ini juga menjadi bukti bahwa corak produksi feodalisme sudah tidak lagi dalam bentuk murninya.


Indonesia Pada Fase Sistem Tanam Paksa (1830 1870)
Paska perang Diponegoro, kekuasaan kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi oleh kekuasaan feodal yang ada dan masih berupaya mempertahankan sekaligus memperbaharui syarat-syarat penindasannya. Terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa, seperti Bali, Lombok dan Tapanuli peperangan baru benar-benar berakhir pada awal abad 20. Secara ekonomi dan politik kekuasaan telah terkonsentrasi di Batavia. Akan tetapi para petinggi kolonial sadar betul bahwa pengaruh tuan tanah sangat kuat, hal ini bisa dilihat dari pertentangan bahkan perang yang harus mereka hadapi dan mahal harganya. Maka itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah lokal dalam struktur sekaligus di bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan.

Hal inilah yang kemudian dipahami dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Van De Bosch dalam memulai Sistem Tanam Paksa (1830-1870). Yaitu, menggabungkan antara usaha membangun perkebunan dan pertanian yang menanam tanaman komoditi yang sangat menguntungkan serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern, akan tetapi dalam mobilisasi tanah dan tenaga kerja adalah tanggung jawab para tuan tanah-tuan tanah yang memiliki pengaruh yang kuat hingga tingkat desa.

Akan tetapi yang harus diingat, bahwa Sistem Tanam Paksa tidaklah merencanakan apalagi berkehendak untuk membangun industri di Indonesia seperti perkembangan kapitalis industri yang sedang gencar di Eropa waktu itu. Mereka hanya membangun perkebunan besar yang diurus secara modern dengan komoditi-komoditi yang dibawa dari berbagai belahan dunia seperti kopi, teh, gula nila, tembakau, kayu manis dan kapas yang menjadi primadona dalam perdagangan dunia saat itu. Mereka hanya menyiapkan komoditi pertanian dan perkebunan untuk diperdagangkan di pasar dunia dan tidak untuk keperluan domestik (Indonesia). Demikian pula, mereka hanya menyiapkan beberapa bahan mentah seperti kapas yang sangat dibutuhkan untuk keperluan industri tekstil kapitalis yang saat itu sedang berkembang di negeri Belanda, mengikuti perkembangan industri kapitalis di Eropa lainnya. Singkatnya, Indonesia hanya menjadi pelayan kerakusan kolonialis Belanda atas hasil-hasil perkebunan. Kemudian berkembang menjadi pelayan keserakahan akan bahan mentah dan tenaga kerja murah para kapitalis industri di Belanda dan Eropa pada umumnya, untuk kebutuhan perputaran roda industri mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendirian NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) pada tahun 1824, pemegang monopoli hak pengangkutan dan perdagangan hasil produksi di Jawa ke pasar dunia.

STP yang dimotori oleh Van de Bosch, adalah sistem ekonomi jajahan yang sangat menindas apabila diperiksa hubungan produksi dengan tenaga produktifnya. Dimulai dengan program mobilisasi tanah untuk keperluan perkebunan dan penanaman komoditas baru yang sangat laku di pasar Eropa. Para petani harus menyerahkan 1/5 dari tanahnya untuk tanaman wajib, termasuk tanah-tanah pusaka (tanah waris) harus diserahkan. Mereka diberi konpensasi dibebaskan dari pajak tanah. Demikian pula berdasarkan peraturan yang resmi penduduk pedesaan terkena kerja wajib (rodi) selama 66 hari setahun dengan mendapat plantloon (upah tanam). Akan tetapi kenyataannya jauh lebih menindas daripada hukumnya sendiri yang mengesahkan penindasan tersebut. Tanah yang diserahkan oleh petani pada kenyataannya tidaklah 1/5 melainkan 2/3 bahkan terkadang seluruhnya; bekerja wajib tidak 66 hari melainkan paling minimal tiga bulan dan tanpa dibayar. Mereka hanya diberi makan dan tempat tinggal diatas perkebunan yang menyerupai kandang kambing, sehingga banyak yang mati karena menderita kelaparan dan terjangkit berbagai jenis penyakit. Sementara di sektor perkebunan, dikeluarkan apa yang disebutPoenale Sanctie, sebuah peraturan yang sangat menindas para buruh. Yaitu keharusan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebelum habis kontrak.

Ditengah penindasan yang sangat kejam tersebut, pajak tanah tetap saja tidak diturunkan dan dihapuskan. Untuk membayar pajak tanah tersebut, kaum tani terpaksa harus menjual hasil panennya. Dan Jika harga hasil tanaman melebihi jumlah pajak yang harus dibayar kaum tani, kelebihannya tidak diserahkan pada kaum tani. Aibatnya, banyak rakyat yang mati kelaparan dan diserang penyakit hingga 7% dari total buruh tanu setiap tahunnya. Penduduk Kab. Demak dari 336 ribu menjadi 120 ribu orang dalam dua tahun. Di Grobongan dari 98 ribu jiwa menjadi 9 ribu, karena kelaparan.

Mobilisasi tenaga kerja besar-besaran dengan cara paksa ini telah melahirkan golongan baru dalam masyarakat Indonesia yaitu klas buruh yang lahir dari pembukaan perkebunan besar dan pabrik-pabrik manufaktur yang ada di jawa-sumatera-kalimantan-sulawesi. Dari hari ke hari klas buruh bertambah jumlah dan kualitasnya seiring dengan semakin banyaknya petani kehilangan tanah, kerja paksa dan rendahnya pendapatan dari hasil pertanian. Demikian pula dengan pembangunan tranportasi modern seperti kereta api telah melahirkan buruh kereta api. Berdirinya bengkel mesin telah melahirkan buruh bengkel, bertambahnya buruh-buruh pelabuhan, buruh angkut dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya telah berlangsung sejak zaman Daendels dan Raffles. Dan inilah yang dinamakan dengan proletarisasi besar-besaran untuk kepentingan kolonial Belanda. Bedanya proletar yang tercipta, bukan dari hubungan produksi kapitalisme, tapi feodalisme Indonesia yang dimanfaatkan oleh kolonialisme Belanda. Ini ditandai dengan adanya penggunaan tuan tanah lokal dalam pelaksnaaan Sistem Tanam Paksa.

Sistem Tanam Paksa tidak dapat dilakukan secara efektif bila tidak didukung oleh kekuatan tuan tanah feodal. Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak pihak perkebunan dan pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka juga yang melakukan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan pendirian pabrik gula. Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal dengan menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri di Kerajaan Belanda. Sebagai gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen 25.000 gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500. Sedangkan gaji menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh oleh STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah Kerajaan Belanda 725 juta Gulden pada tahun 1870, merupakan seperlima hingga sepertiga dari total pendapatan negara Belanda pada kala itu. Inilah sumber keuangan pokok yang digunakan untuk melunasi utang Kerajaan Belanda terhadap Perancis karena kalah perang. Dan menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik tenun di Belanda, pembangunan perkeretaapian negara dan pembuatan bangunan pertahanan serta pembangunan pelabuhan Amsterdam dan aktifitas pelayaran lainnya untuk mendukung dan mempermudah perkembangan kapitalisme Belanda saat itu..

Penderitaan akibat penindasan dan penghisapan diluar batas kemanusiaan ini dijawab oleh para petani, buruh tani, kaumherediensten dengan pemberontakan, pemogokan dari bentuk yang paling damai hingga bentuk yang paling keras dan berdarah. Antara tahun 1810-1870 tercatat 19 kali huru hara akibat kerja paksa dan beban pajak yang melewati batas manusiawi. Di Jawa huru hara praktis tidak pernah berhenti. Antara tahun 1840 hingga tahun 1875 hanya enam tahun tidak terjadi kerusuhan. Perlawanan kebanyakan dipimpin oleh elit agama atau bangsawan yang penuh dendam. Perlawanan ditujukan pada orang kulit putih, yang asing dan kafir dan juga terhadap penguasa pribumi. Pada tahun bulan Juli 1882, terjadi pemogokan besar-besaran oleh kaum buruh di tiga kabupaten, Sleman, Bantul, dan Kalasan. Pemogokan melanda 30 buah pabrik dan perkebunan yang meliputi enam pabrik gula, delapan perkebunan tebu, 14 perkebunan nila dan dua perkebunan tembakau dengan melibatkan 10.000 orang pemogok yang berlansung selama tiga bulan. Dalam pemogokan ini solidaritas antara berbagai sektoral telah terjadi, kaum buruh yang bekerja di pabrik, kaumherendiensten dan kaum tani pada umumnya. Tuntutan dan penyebab pemogokan hampir sama dengan tempat-tempat yang lain. Yaitu, beratnya beban kerja, banyaknya pekerjaan yang tidak dibayar padahal di luar kerja wajib, upah rendah di pabrik dan upah tanam yang rendah. Pada Bulan November 1885, pemberontakan serupa terjadi di Kawedanan Pulung, Kabupaten Ponorogo, karesidenan Madiun. Beratnya tanggungan pajak yang harus dipikul petani dari seharusnya hanya 6,1% dari penghasilan pada kenyataannya ditarik sebesar 16,1%. Di Banten pada tahun 1888, akibat beratnya beban pajak dan kerja rodi meledak sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini ditujukan pada penguasa Belanda dan penguasa pribumi yang mendukung Belanda. Dalam huru hara tersebut delapan orang penguasa Belanda dan sembilan orang penguasa pribumi dibunuh. Sementara rakyat 30 orang mati, 200 lebih ditangkap, 11 diantaranya digantung di muka umum. Dan kurang lebih 90 orang dikenai kerja paksa bertahun-tahun, dan kurang lebih 90 orang dibuang. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sangat lokalistik akan tetapi mengangkat isu yang hampir sama yaitu beratnya beban yang harus ditanggung oleh rakyat dalam STP.

Rakyat Indonesia Pada Masa Jajahan Belanda dan Setengah-Feodal
Sesungguhnya peralihaan hubungan produksi setengah feodal dan jajahan dari feodal dan jajahan dibagi dua tahap. Tahap pertama Pada tahun 1870-1990 ini dikarenakan kapitalisme belum mencapai puncak menjadi imperialisme. Sedangkan tahap kedua yaitu jajahan dan feodal terjadi pada 1900-1945, yang dimana kapitalisme sudah mencapai titik puncaknya yaitu imperialisme dan mendominasi hubungan produksi feodalisme. Karena feodalisme sangat menguntungkan bagi pihak imperialisme sebagai penyuplai bahan mentah dan ini menjadi alasan pokok kenapa feodalisme di Indonesia hingga kini masih ada.

a) Fase 1870-1900
Sistem Tanam Paksa dinyatakan berakhir dan kemudian digantikan dengan dikeluarkan undang-undang agraria kolonial:Agrarische wet de Waal[ii] (de Waal adalah menteri urusan jajahan saat itu). Akan tetapi, tidaklah benar bahwa sistem tanam paksa diakhiri karena perdebatan parlemen antara kaum liberal dengan kalangan konservatif, melainkan karena perlawanan dan pemberontakan rakyat yang telah meledakkan sekaligus menghancurkan keuntungan yang sedang dibangun, karena penindasan dan penghisapan diluar batas. Para kaum liberal tidak pernah peduli akan nasib penduduk jajahan. Hal ini terbukti ketika mereka mulai masuk ke Indonesia dan menguasai pabrik-pabrik gula, perkebunan dan pertanian pada umumnya, penindasan tidak berkurang akan tetapi justru semakin bertambah, karena semakin banyaknya para tuan tanah dan bangsawan pada umumnya yang direkrut menjadi bagian dari pemerintahan kolonial. Dan ini menjadi cikal bakal munculnya hubungan produksi setengah feodal yang melahirkan komprador dan kapitalis birokrat.

Politik Etis yang dikemudian hari dikenal sebagai politik balas budi pada prinsipnya adalah upaya untuk mengukuhkan kekuasaan politik mereka. Khususnya program pendidikan untuk kalangan priyayi bertujuan untuk mengefisienkan birokrasi, sementara irigasi pada dasarnya hanyalah untuk melayani kemajuan industri gula dan perkebunan pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah, sedangkan transmigrasi jelas hanya untuk mobilisasi tenaga kerja murah dengan cara membuka lahan baru untuk perkebunan.

b) Fase 1901-1945
Agrarische wet de Waal mulai dijalankan sejak tahun 1870 dengan azasDomeinverklaring yang isi pokoknya: semua tanah yang tidak terbukti dimiliki dengan hak eigendom adalah kepunyaan negara. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum. Di sisi lain, tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial. Tanah inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan juga mereka dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk sekaligus dapat menjadi buruhnya. Konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para investor tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Masuknya kapitalis selain belanda berarti menunjukkan bahwa kapitalisme sudah mencapai puncak tertinggi yaitu imperialisme.

Sementara perkembangan lainnya adalah berdirinya beberapa bank di tanah jajahan yang dipelopori oleh perubahan status NHM yang dulunya adalah perusahaan monopoli dagang dan jasa pengangkutan barang dagangan menjadi bank yang mendukung perluasan pabrik gula dan perkebunan komoditi lainnya. Dukungan kapitalis finance ini telah mengakibatkan semakin luasnya ranah usaha kaum kapitalis di Indonesia. Mereka mulai merambah pertambangan minyak, batu bara. Perusahaan pertambangan minyak seperti BPM milik Inggris dan Shell milik AS mulai melakukan eksplorasi demikian juga dengan pertambangan timah di Bangka-Belitung, yang sebenarnya sudah dimulai sejak VOC.

Akibat perampasan tanah secara besaran-besaran tersebut, dan seiring dengan semakin banyaknya industri-industri yang berdiri sebagai dampak dari masuknya investasi akibat dijalankannya kebijakanAgrarische Wet, telah mendorong lahirnya klas buruh sebagai klas baru dalam masyarakat Indonesia. Sementara pelaksanaan kebijakan politik etis sebagai bagian dari kebijakanAgrarische Wet, telah berpengaruh pada pembentukan klas borjuasi kecil perkotaan, seperti: produsen kecil, pedagang, kaum intelektual, pekerja merdeka (wartawan, pengacara, guru, dokter), pegawai rendah pemerintahan. Dengan demikian, klas buruh dan klas borjuis adalah klas baru dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, klas buruh dan klas borjuis dalam masyarakat Indonesia, tidak lahir dari revolusi borjuis tipe lama sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Eropa, peralihan dari masa feodalisme menuju kapitalisme. Ini dikarenakan hubungan produksi yang mendominasi adalah perpaduan dari feodalisme dan kolonialise Belanda yang juga memberikan kesempatan bagi kapitalis dari negara-negara lainnya seperti Inggris dan AS.

Sejak dijalankan sistem tanam paksa dan kebijakanAgrarische Wet, kedudukan Indonesia sebagai tanah jajahan adalah penyedia bahan baku atau mentah bagi kepentingan kolonial dan borjuis, sebagai pasar penjualan industri Eropa, sebagai sumber tenaga kerja murah, dan sasaran investasi negara-negara kapitalis lainnya. Penindasan yang sangat kejam tersebut, dijawab dengan perlawanan yang tiada putus-putusnya oleh kaum buruh, kaum tani dan beberapa kalangan terpelajar yang mulai terbit kesadarannya akan nasib rakyat yang tertindas. Organisasi rakyat yang modern mulai bermunculan di mana-mana. Mereka mulai mengorganisir diri untuk melawan para imperialis asing maupun kalangan pribumi sendiri yang menjadi antek mereka dalam mengeruk keuntungan atau nilai lebih. Akan tetapi organisasi rakyat yang terbentuk tidak selalu melawan kaum imperialis secara langsung akan tetapi terkadang mereka hadir hanya untuk menangani beberapa persoalan yang tengah dihadapi. Dalam perkembangannya, karena kesadaran anggota yang berada di tengah-tengah perderitaan rakyat yang terus bertambah dari hari ke hari pada akhirnya organisasi tersebut memilih jalan perjuangan melawan Imperialisme.

Patut diingat perubahan fase perpaduan antara feodalisme dengan kolonialisme menjadi hubungan setengah feodalisme dengan kolonialisme adalah mulai lahirnya klas-klas penguasa baru yaitu borjuasi komprador yang tadinya tuan tanah besar lokal dan memiliki hubungan sama dengan hal kapitalis birokrat (ass Residen wedana dsbnya) yaitu untuk memenuhi kepentingan imperialis dalam hal pemenuhan bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pasar.


Rakyat Indonesia Pada Masa Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (1949 sekarang)
Revolusi Borjuis[iii] Agustus 1945 adalah puncak dari pergolakan yang membakar kesadaran massa rakyat sejak awal abad ke-17, dan pergolakan yang paling massif sejak awal abad 20. Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan langsung atau menghancurkan pemerintahan jajahan yang ada di Indonesia. Akan tetapi gagal membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman Imperialis, karena masih bercokolnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik mereka di Indonesia, terutama melalui komprador-kompradornya di dalam negeri.

Indonesia resmi menjadi negara Setengah Jajahan melalui kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 yang ditandatangai oleh Hatta dan Sjahrir. Melalui KMB tersebut, imperialisme menemukan klik reaksioner dalam negeri yang memberikan banyak keuntungan secara ekonomi, politik dan kemiliteran bagi imperialisme serta menimbulkan kerugian di pihak rakyat Indonesia. Secara ekonomi, perjanjian KMB telah memberikan jaminan terhadap keberlangsungan kepentingan-kepentingan imperialisme di Indonesia, terutama dari upaya-upaya nasionalisasi. Secara politik, perjanjian KMB telah menempatkan Indonesia sebagai anggota negara persemakmuran di bawah kaki imperialisme Belanda. Demikian pula secara kemiliteran, imperialisme mendapatkan keuntungan karena tidak harus berhadap-hadapan secara langsung dengan kekuatan bersenjata rakyat yang akan memakan biaya dan menimbulkan kerugian besar di pihak mereka. Dominasi imperialis di Indonesia melahirkan klas borjuis besar komparador, klas borjuis perpanjangan tangan yang dengan setia melayani kepentingan imperialis.

Demikian pula Revolusi Agustus 1945 gagal menghancurkan kekuatan feodalisme. Justeru feodalisme lah yang menjadi basis sosial bagi imperialis agar bisa mempertahankan syarat-syarat hidupnya yaitu tersedianya bahan mentah untuk industri mereka.

Persekutuan antara imperialisme dan feodalisme telah melahirkan pemerintahan diktator bersama, klas borjuis komparador yang juga tuan tanah besar yang sedang setia melayani kepentingan imperialisme. Soeharto adalah rejim pertama yang menjadi pemerintahan diktator bersama antara klas borjuis besar komparador dan tuan tanah besar lainnya. Dan pasca rezim Soeharto pun, sistem setengah feodal dan setengah jajahan masih berlangsung.

Sebagai negara setengah jajahan dan setengah feodal, Indonesia memiliki kedudukan sebagai penyedia kebutuhan bahan baku dan tenaga kerja murah bagi kepentingan industri imperialisme, sebagai sasaran proyek investasi raksasa imperialis, dan sebagai pasar bagi hasil produksi imperialis. Dan patut diingat pula, lahirnya perpaduan hubungan produksi setengah jajahan dan setengah feodal, ditandai adanya rezim boneka yang menjamin keberlasungan pasokan bahan mentah, tenaga kerja murah dan pasar pada suatu negara setengah jajahan seperti hal Indonesia.

Problem Umum Rakyat Indonesia dan Penyebabnya.
Penindasan dalam sistem setengah jajahan dan setengah feodal telah menjerumuskan rakyat dalam kemerosotan hidup yang sangat dalam. Menurut data Badan Pusat Statistik, di tahun 2009 jumlah rakyat miskin di Indonesia mencapai 14,2% atau 32,5 juta jiwa. Bahkan jika mengacu pada garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia/World Bank standar hidup sebesar US$ 2 perhari maka 50% rakyat Indonesia berada dalam kategori miskin. Jumlah ini tentu akan terus bertambah seiring dengan terjadinya PHK massal dan melambung tinggi seluruh kebutuhan hidup rakyat, sementara di satu sisi, pendapatan rakyat tidak pernah meningkat.

Klas buruh Indonesia merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang paling merasakan dampak akibat krisis imperialisme yang terjadi. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menyelamatkan imperialisme dan kaki tangannya dari krisis yang dialaminya, sebaliknya menjadikan klas buruh sebagai tumbalnya. Misalnya saja, dengan dikeluarkannya SKB 4 Menteri Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global, para pengusaha mendapatkan legitimasi untuk tidak membayar upah buruh dan menambahkan jam kerja yang melebihi jam kerja yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hal ini ditujukan untuk menghindari PHK Massal akibat krisis yang terjadi. Akan tetapi kenyataannya, PHK tetap saja berlangsung di Indonesia. Terhitung sejak Maret 2008 sampai Maret 2009, sebanyak 240,000 orang buruh harus terkena PHK. Parahnya, PHK ini terjadi disektor-sektor usaha yang penting dan padat karya, seperti ; tekstil dan garmen 100.000 orang, sepatu 14.000 orang, mobil dan komponen 40.000 orang, konstruksi 30.000 orang, kelapa sawit 50.000 orang dan (pulp and paper ) sebanyak 3.500 orang. Jumlah angka PHK yang dirilis oleh KADIN mencapai angka lebih dari 500.000 orang. Bahkan KADIN memperkirakan angka ini akan bergerak hingga 1,6 juta pekerja sampai akhir tahun 2009.

Untuk meningkatkan akumulasi keuntungan, imperialisme melakukan berbagai cara termasuk dengan menekan senimin mungkin biaya produksi yang harus dikeluarkan. Hal ini dilakukan dengan tidak memberikan jaminan kesejahteraan hidup klas buruh melalui sistem kerja kontrak dan outsourcing, serta tidak adanya jaminan sosial (kesehatan, keamanan, dan keselamatan kerja yang buruk).

Persoalan yang sama juga dialami oleh Buruh Migran Indonesia yang ditindas oleh biaya berlebih penempatan tenaga kerja (overcharging). Disatu sisi, tidak ada jaminan perlindungan hukum sama sekali yang diberikan pemerintah sehingga sering kita mendengar tentang Buruh Migran Indonesia yang mendapatkan penganiayaan, bahkan hingga meninggal dunia.

Demikian halnya yang dirasakan oleh kaum tani Indonesia yang berjumlah 65% dari total penduduk Indonesia. Lebih dari 50% kaum tani menggantungkan hidupnya pada luas lahan yang kurang dari 0,5 Ha dengan penghasilan kurang dari Rp. 5.000/hari untuk satu rumah tangga pertanian. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketimpangan penguasaan lahan pertanian. Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, dari 9 perusahaan perkebunan, menguasasi lahan seluas 7,9 juta Ha, sementara jumlah luas lahan yang telah diberikan ijin seluas 9,7 juta Ha, dan masih ada 18 juta Ha yang akan diberikan ijin pengelolahannya.

Sementara itu, ancaman perampasan tanah petani yang disertai dengan kekerasan, semakin meningkat. Misalnya saja, tragedi berdarah 18 September 2005 di Tanak Awu-Lombok Tengah. Tragedi Rumpin-Bogor pada Bulan Januari 2007 dan Karang sari-Garut, dimana akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, PTPN serta pemerintah daerah setempat yang menyebabkan rusaknya lahan garapan warga serta korban penembakan, intimidasi dan penculikan terhadap beberapa tokoh masyarakat dan aktivis tani. Penangkapan terhadap sekitar 27 kaum tani di Kali Baru-Banyuwangi, penangkapan 50 kaum tani di Kalijajar-Wonosobo, hingga tindak kekerasan secara membabi buta yang dilakukan oleh TNI AL di Alas Tlogo-Pasuruan, yang menyebabkan meninggalnya 5 orang kaum tani. Dan yang baru-baru terjadi adalah perampasan tanah dengan kekerasan dan penembakan yang melibatkan aparat PTPN XIV dan kepolisian di Takalar pada 9 Agustus 2009 yang mengakibatkan 7 orang petani tertembak dan 9 lainnya di tangkap. Juga konflik agraria di Tapanuli Tengah yang menyebabkan 10 petani di tangkap, sementara yang lainnya terluka akibat tindak kekerasan aparat Tapanuli Tengah.

Disektor pendidikan, pemerintah semakin melegalkan terjadinya komersialisasi atas pendidikan walaupun dibatalkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan akan ada Perpu yang menggantikan UU BHP yang hakikat Perpu itu adalah sama yaitu menyebabkan biaya pendidikan semakin melambung tinggi sehingga rakyat semakin kehilangan haknya atas pendidikan. Akibatnya 9,7 juta rakyat Indonesia yang masih terbelenggu buta huruf. Disatu sisi, tidak jaminan yang diberikan pemerintah bagi lulusan pendidikan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak sehingga berdampak pada semakin meningkatnya angka pengangguran terbuka yang telah mencapai 8,1 % atau 9,25 Juta dari angkatan kerja dengan distribusi pekerja 60,5 % adalah pekerja Informal seperti tukang ojek, asongan, buruh lepas dan pedagang kecil. Sebanyak 52,65 persen tenaga kerja yang ada di Indonesia berpendidikan SD ke bawah, karena dunia kerja banyak yang hanya membutuhkan skill kerja yang rendah. Pengangguran terdidik di Indonesia berjumlah 961.000 hingga Agustus 2008 yang terbagi atas 598.000 penganggur Sarjana dan 362.000 penganggur Diploma. Februari 2008 lalu bahkan mencapai 1.146 juta jiwa.

Dengan kondisi BOS yang tidak terserap sesuai ketentuan, gedung sekolah yang menjadi tempat belajar sebagian besar rusak, terutama di daerah-daerah terpencil. Dari total ruang kelas di SD hampir 50% dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat. Situasi ini juga tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Pada 2008, menurut Depdiknas, baru 32% SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di SMP baru 63,3%.

Penindasan yang sama tidak sebatas dialami peserta didik, tetapi juga oleh para tenaga pengajar dan pendidik (guru dan dosen). Kualitas guru yang tidak layak mengajar, dilihat dari segi kualifikasi pendidikan maupun profesionalisme, sebagian besar terjadi pada guru di tingkat TK-SD. Tahun lalu tercatat sekitar 88% guru TK tak layak dan di tingkat SD sekitar 77, 85%. Dari 2,7 juta guru yang ada di Indonesia, baru 350.000 yang mendapatkan tunjangan dan sertifikasi. Budaya riset dan menulis penelitian bagi guru yang sudah disertifikasi selesai begitu saja setelah sertifikasi didapatkan dan tidak menjadi bagian dari kegiatan hariannya untuk memajukan ilmu pengetahuan. Sedangkan di tingkat perguruan tinggi, total dosen yang ada di Indonesia adalah 240.000 orang. 120.000 orang merupakan dosen tetap di Indonesia, 50,65 % atau sekitar 60.000 di antaranya belum berpendidikan S2.

Di sektor kesehatan, pemerintah pun juga terkesan tidak peduli dengan nasib kesehatan rakyatnya. Dari APBN 2009 yang angkanya mencapai lebih dari 1,000 trilliun, sektor kesehatan hanya mendapatkan jatah sekitar 2,8 %. Angka ini jauh dari standar yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia yang seharusnya mencapai angka 15 %. Akibatnya rakyat semakin kehilangan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Meskipun pemerintah coba menerbitkan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat yang kurang mampu, namun dalam kenyataan dilapangan sering kita mendengar dan melihat secara langsung masyarakat kurang mampu yang ditolak oleh pihak rumah sakit karena dianggap tidak mampu membayar jaminan ataupun biaya perawatan yang telah ditetapkan rumah sakit.

Angka pertumbuhan ekonomi yang bergerak diangka 4,3 % pada tahun 2009 tentu tidak akan pernah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembukaan lapangan pekerjaan baru di Indonesia. Sebaliknya, laju inflasi yang selalu diatas angka 6 persen akan memberikan implikasi nyata terhadap perampasan upah buruh dan kaum pekerja lainnya. Penetapan kenaikan upah buruh oleh pemerintah yang dilakukan setiap tahunnya juga tanpa pernah mau memperhatikan laju inflasi ini.

Ditengaj krisis umum imperialisme yang sedang terjadi, bukannya menjawab persoalan rakyat Indonesia, pemerintah justeru mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyelamatkan asset milik imperialisme dan kaki tangannya dari kehancuran akibat krisis tersebut. Misalnya saja programbail out danbuy back terhadap saham-saham beberapa perusahaan milik borjuis komparador yang terancam bangkrut, seperti yang terjadi pada kasus dana bail out Bank Century yang menghabiskan anggaran sebesar 6,7 trilliun. Kondisi ini sama ketika krisis yang dihadapi pada tahun 1997 yang mana BLBI kemudian dikorup oleh para borjuis komparador dan kapitalis birokrat. Keberadaan KPK dan berbagai institusi penegakkan hokum lainnya, hanya akan menjadi pajangan yang mampu mengatasi kasus-kasus korupsi dalam skala kecil, sebab korupsi sudah merupakan watak dasar dari kapitalis birokrat.

Seperti tidak peduli sama sekali dengan penderitaan rakyat, pada bulan Desember 2009 para menteri dan pejabat tinggi menerima bonus mobil mewah seharga Rp 1,3 miliar, jika pejabat yang menerima sebanyak 150 orang maka uang yang dikeluarkan untuk membeli mobil dinas tersebut lebih dari Rp 195 milliar.

II. Siapa Musuh Rakyat dan Siapa Sahabat Rakyat.
Setelah memahami karakter masyarakat Indonesia, maka tugas kita adalah melakukan perjuangan untuk melahirkan perubahan sosial yang lebih baik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami siapa musuh (sasaran) dan siapa kawan yang harus dilibatkan dalam perjuangan demokratis nasional. Berikut adalah penjelasannya.

A. Tiga Musuh Besar Rakyat Indonesia.
Dari penjelasan tentang karakter Indonesia sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal, maka dapat disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) musuh rakyat Indonesia yang menyebabkan kemorosotan hidup yang sangat dalam dari rakyat Indonesia. Tiga musuh tersebut adalah :

1. Imperialisme Pimpinan Amerika Serikat (AS)
Imperialisme AS saat ini menjadi kekuatan kapitalisme monopoli Internasional yang paling kuat dan memegang peranan memimpin di antara kekuatan-kekuatan imperialisme dunia yang lain seperti Inggris, Jerman, Jepang dan Cina. Kekuatan ekonomi politik imperialisme AS menjadi segi yang berdominasi di dunia melalui lembaga-lembaga multinasional yang dikendalikan oleh AS seperti International Monetery Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO) dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Kelembagaan dunia tersebut menjadi instrumen bagi AS untuk memaksakan kebijakan-kebijakan ekonomi politik imperialisme kepada negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Seperti misalnya IMF bertindak sebagai lembaga keuangan yang memastikan skema penyesuaian struktur ekonomi politik berdasarkan kepentingan AS melalui mekanisme hutang luar negeri yang menjerat. Sementara WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang bertugas menjamin pelaksanaan liberalisasi perdagangan yang akan lebih menguntungkan bagi negeri imperialis khususnya AS. Demikian juga PBB menjadi organisasi internasional yang setiap waktu dapat digunakan oleh imperialis AS untuk mengesahkan kebijakan-kebijakannya, seperti yang baru-baru ini terjadi ketika AS melakukan agresi imperialisnya ke Irak.

Imperialisme AS adalah musuh utama bagi seluruh bangsa khususnya di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Sejarah mencatat bagaimana imperialisme AS mendukung klas-klas reaksioner lokal di berbagai belahan dunia untuk melakukan penindasan terhadap massa rakyat di negeri-negeri tersebut. Dan itu terbukti misalnya dengan dukungan AS terhadap rezim anti rakyat di benua Asia seperti rezim Indonesia, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Nepal, dan Paskitan. Demikian juga di benua Afrika seperti di Kongo, Mozambik, Chad, Guinea Khatulistiwa, Sudan, Camerun, Republik Demokratik Kongo, dan Zaire. Sementara di Amerika Latin seperti di Argentina, Meksiko, Chili, Peru, Urugay, Kolombia, Puertorico, Bolivia, Honduras, Elsalvador. Dan memiliki pengaruh kuat terhadap beberapa rezim reaksioner di negara-negara lainnya. Negara-negara di kawasan Eropa Timur yang telah runtuh dan menempuh jalan revisionis modern, hari ini juga tunduk pada kekuatan Amerika Serikat serta menjadi anggota NATO.

Amerika Serikat terlibat dalam pembangunan komplek industri militer di negaranya sendiri dan di berbagai negara. Melakukan ekspor peralatan militer dengan teknologi tinggi ke seluruh dunia. Amerika adalah pemimpin pasar dalam seluk beluk industri persenjataan. Komplek industri militer adalah komponen utama politik luar negeri Amerika dalam melakukan agresi imperialisnya. Di samping itu Amerika membangun pangkalan militer di hampir seluruh negara jajahan, setengah jajahan dan sekutu imperialisnya sejak berakhirnya perang dunia kedua. Dengan politik Pintu Terbuka untuk membendung perkembangan kemerdekaan nasional di berbagai belahan dunia dan mencegah perjuangan pembebasan nasional di berbagai negara jajahan dan melakukan politik konfrontasi dengan kubu Sovyet di bawah pimpinan Joseph Stalin. Sekarang setelah keruntuhan rezim revisionis modern dibekas kubu sosialis mereka menampilkan politik konfrontasi perang agresi dengan dalih perang anti terorisme. Ini akibat dari krisis kapitalisme monopoli yang ada di dalam negeri Amerika Serikat dan kapitalisme monopoli dunia akibat over produksi barang-barang manufaktur berteknologi tinggi dan defisit anggaran belanja akibat politik konfrontasi dan agresi mereka secara militer di masa lalu. Imperialis Amerika Seikat adalah macan kertas yang menggali liang kuburnya sendiri!

Rakyat Indonesia sejak Rezim Boneka Imperialis Suharto berkuasa telah merasakan secara kongkrit penindasan dari imperialisme ini. Perusahaan ekplorasi minyak Amerika Caltex dan Stanvac mulai menggali bumi Indonesia, mengiringai langkah perusahaan Goodyear dan US Rubber, perusahaan Amerika yang bergerak dalam mengolah karet alam. Untuk melapangkan jalan perusahan-perusahaan tersebut para negara imperialis di bawah pimpinan Amerika membangunInter Government Group on Indonesia (IGGI) atauConsultative Group on Indonesia (CGI) sekarang, sebuah persatuan negara donor yang bertujuan mengikat Indonesia agar tunduk pada kemauan mereka. Donor tersebesar di peroleh dari Amerika Serikat dan Jepang, ini logis dengan berkembang pesatnya perusahaan-perusahaan besar kedua negara tersebut di Indonesia.International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1967 telah memberikan bantuan kepada Indonesia sebesar $51 juta. Pada pada tahun yang sama IGGI memberikan utang sebesar $200 juta.Jumlah ini terus meningkat, pada tahun 1968 mereka memberikan utang baru sebesar $325, sebagian besar digunakan untuk stabilitas.

Keadaan hari ini tidak jauh berbeda. Rakyat Indonesia tetap merasakan penindasan yang sama, di tengah-tengah kekayaan yang melimpah ruah yang diperoleh oleh perusahaan Asing tersebut. Freeport Indonesia tambang Amerika yang berpusat di New York, yang beroperasi di Papua sejak awal Orde Baru, telah menghancurkan dua gunung besar yang menjadi kebanggaan nasional, akan tetapi rakyat Papua tetaplah sukubangsa minoritas, terasing dan terbelakang di tanahnya sendiri. Exon Mobil Oil dan Santa Fe di Cepu dan Bojonegoro, beroperasi dan mengeruk keuntungan besar karena konsesi yang penuh KKN dengan Rezim Boneka Imperialis dalam negeri, rakyat hanya bisa melihat mobil bagus melintas lalu lalang, dan sekonyong-konyong daerahnya berunah ramai, harga barang dan jasa naik, angka kriminalitas meningkat, karena menurunnya daya hidup. New Mont Indonesia sebuah perusahaan tambang emas Amerika, yang beroperasi di Kalimantan, Sulawesi dan NTB keadaannya sama saja. Kesenjangan antara pendapatan ekspatriat asing dengan buruh Indonesia dengan jabatan yang sama menjadi bom waktu yang setiap saat akan meledak. Demikian juga telah membuat nelayan-nelayan di Selat Alas kehilangan mata pencaharian karena limbah bawah laut telah menghancurkan terumbuh karang dan membunuh ikan-ikan yang ada diperairan tersebut.

Penindasan ini menjadi kian panjang dengan masuknya mereka ke dalam pertanian rakyat, melakukan konsolidasi tanah dengan sistem Pertanian Kontrak, menyewa tanah petani dengan masa waktu yang panjang, 25 hingga 30 tahun, untuk menanam kapas dan jagung serta beberapa tanaman lain yang menguntungkan mereka. Petani akan menjadi buruh tani sepanjang waktu itu dan mereka akan mengeruk keuntungan tanpa batas.

2. Feodalisme
Sejak bangsa asing melakukan ekploitasi di Indonesia pertama kali, baik VOC, Sistem Tanam Paksa, dan masa neo-kolonialisme, kaum feodal-tuan tanah adalah pendukung mereka yang paling setia bersama-sama dengan borjuasi komprador. Artinya tidak ada imperialisme yang begitu kuat di Indonesia tanpa dukungan dari mereka.

Feodalisme intinya adalah monopoli penguasaan tanah dan alat kerjanya berada di tangan tuan tanah, mereka tidak berpartisipasi dalam produksi karena mempekerjakan buruh tani, petani miskin dan petani sedang bawah, akan tetapi keuntungan terbesar hasil produksi diambil oleh mereka untuk keperluan hidupnya. Mereka menindas para pekerja dengan cara bagi hasil (maro, mrapat, mretelu), dan juga menggunakan sistem borongan dan upah yang sangat rendah. Meskipun sistem dunia hari ini adalah dominasi kapitalisme, akan tetapi di Indonesia perkembangan kapitalisme hingga imperialisme sebagai bentuk perkembangannya yang paling akhir, feodalisme di Indonesia menjadi basis sosial yang membuat imperialis berdominasi. Feodalisme telah membantu imperialisme sehingga dapat mengambil tanah rakyat dengan mudah, mobilisasi tenaga kerja murah dan memperoleh bahan mentah untuk kepentingan industri kapitalis dengan murah dan melimpah.

Betul bahwa di Indonesia kepemilikan tanah perseorangan yang sangat luas oleh tuan tanah, secara kwantitas tidak lagi sebesar zaman VOC atau Sistem Tanam Paksa, di mana para bangsawan dan tuan tanah desa masih sangat berdominasi. Akan tetapi data hari ini menunjukkan bahwa penguasaan tanah masih terkonsentrasi pada: pengusaha-pengusaha perkebunan negara maupun perseorangan, di tangan institusi militer, di tangan pengusaha-pengusaha pemegang HPH dan HGU secara korupsi, kolusi dan nepotisme, ditangan pemodal yang mengkonsolidasikan tanah petani dengan cara sewa dan kontrak jangka panjang, di tangan perseorangan pemegang hak absentee, tuan tanah desa penguasa tanah luas di luar batas maksimum menurut Undang-Undang Agraria 1960, dan semua tuan tanah pemilik tanah luas dan tidak berpartisipasi (mempekerjakan orang lain) dalam produksi akan tetapi mengeruk keuntungan yang besar dan bergantung hidupnya dari penguasaan tanah tersebut. Mereka adalah kaum yang kemudian disebut tuan tanah dalam kenyataan hari ini, pada zaman setengah feodal, di bawah dominasi imperialisme. Demikian pula klas-klas parasit lain yang mengikuti setengah feodal ini juga masih banyak kita jumpai mereka adalah: Para lintah darat (bank perkreditan) yang meminjamkan uang dengan bunga yang mencekik leher petani, Tukang Ijon dan tengkulak besar yang pada hakekatnya borjuasi komprador dan tuan tanah (penebas dan pengepul besar) yang memainkan harga hasil produksi petani.

3. Kapitalisme Birokrat ( Kabir )
Kapitalisme birokrasi, pada dasarnya adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh kaum birokrat karena memegang simpul-simpul kekuasaan untuk diri sendiri dan keluarga, dan klik kekuasaannya dengan memberikan fasilitas dan sumber daya terutama ekonomi kepada mereka karena mendukung posisinya di birokrasi. Dalam kakuasaan politik Indonesia perkembangan klas kapitalis birokrat ini bertumbuh dengan pesat dari hari ke hari. Sepanjang kekuasaan rezim-rezim boneka imperialis mulai Suharto hingga Megawati tercatat banyak sekali lembaga-lembaga negara yang baru dibentuk, baik karena gagasannya sendiri maupun untuk merenspon kritik rakyat. Misalnya Lembaga untuk pemberantasan korupsi, pengawasan persaingan usaha, dsb. Sejatinya, lembaga-lembaga tersebut hanya diperuntukkan untuk menampung teman-teman sejawatnya, keluarga dan kolega-kolega lainnya yang tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan pekerjaan, sekaligus untuk membangun sumber legitimasi politik baru.

Bentuk lain dari kapitalis birokrat ini adalah perangkapan jabatan. Di Indonesia sudah dianggap biasa seorang yang mempunyai jabatan menteri, panglima militer, gubernur, bupati hingga camat dan kepala desa, juga memegang beberapa jabatan lainnya, dengan tujuan agar prestise organisasi atau sumber keuangannya terjamin.

Kesemua bentuk yang dipaparkan tersebut adalah praktek yang paling nyata dari kapitalis birokrat yang menjadi musuh rakyat Indonesia. Mereka tidak pernah dengan sungguh mengurus persoalan rakyat, akan tetapi lebih banyak mengurus persoalan pribadi dan klik kekuasaannya.Dan hal seperti itu masih berlangsung dengan skala yang semakin luas, terbuka dan tanpa malu-malu. Beberapa bentuk pokok dari kapitalis birokrat hari ini :
  1. Melakukan tindakan korupsi, menerima pemberian dari siapapun diluar gaji yang seharusnya, meminta imbalan tanda tangan, meminta bagian dari proyek pemerintah maupun swasta diluar ketentuan untuk diri sendiri. Temasuk memberikan proyek kepada keluarganya, teman-temannya, dan klik kekuasaan yang mendukungnya tanpa melalui tender terbuka.
  2. Melakukan politik uang untuk memperoleh sebuah jabatan politik di pemerintahan.
  3. Membuat lembaga negara baru, dengan berbagai fasilitas akan tetapi tidak berfungsi. Hal ini hanya memboroskan keuangan negara.
  4. Membuat lembaga baru dengan mengangkat keluarga, teman-temannya, dan klik politiknya dengan maksud membuat sumber legitimasi politik baru.
  5. Pejabat sipil maupun militer melakukan perangkapan jabatan, terutama dalam pemerintahan sendiri, menjadi komisaris di perusahaan-perusahan negara dan swasta, serta di berbagai organisasi sosial, olahraga dengan maksud membiayai organisasi tersebut untuk memperoleh dukungan politik.
  6. Melakukan sogok atau suap untuk kenaikan pangkat kepada atasan.
  7. Menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan klik kekuasaannya (partai, golongan dll), di luar kepentingan dinas.
  8. Memberikan bintang pernghargaan dan jasa kepada keluarga, teman dan klik kekuasaannya tanpa pertimbangan yang jelas.
  9. Menjalankan bisnis dengan memanfaatkan jabatannya sebagai pimpinan, menjadi beking bagi siapa saja yang bisa membayar.
  10. Menggunakan jabatan untuk memaksa bank untuk memberikan kredit kepada pihak tertentu dan dia mendapat bagian dari kredit tersebut.
  11. Serta beberapa bentuk lain yang semakin canggih dan berkembang dari waktu ke waktu, mencuri uang negara dan fasilitas negara untuk kekayaan pribadi serta klik yang mendukungnya (partai, kelompok, gang, bandit, dll) bertahan di jabatan tersebut dalam pemerintahan.
Secara hakekat dalam bentuk perkembangan lainnya, militerisme dan fasisme adalah bagian dari penyalahgunaan kekuasaan ini yang secara politik, budaya, dan militer menindas rakyat. Sejarah para birokrat sipil dan militer mempunyai pertalian erat dengan politik, budaya, dan militer imperialis yang secara prinsip adalah fasis dan ultra-nasionalis karena menjajah negeri lain untuk kepentingan negerinya sendiri. Pada tingkatnya yang sekarang fasisme-imperialis AS melakukan perang agresi di berbagai belahan dunia, sedangkan pemerintahan reaksioner boneka imperialis Indonesia melaksanakan fasisme untuk menindas rakyatnya sendiri demi kepentingan tuan imperialisnya.

B. Sahabat Rakyat
Setelah mengenal siapa musuh rakyat, kita harus mengenal siapa sahabat rakyat. Sahabat rakyat adalah klas, sektor/golongan yang berkepentingan untuk menghancurkan penindasan musuh-musuh rakyat (imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat).

1. Klas buruh Indonesia.
Klas buruh Indonesia adalah klas dalam masyarakat Indonesia yang termasuk paling merasakan penindasan dalam masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Klas buruh Indonesia lahir sejak diberlakukannya kebijakan agrarische wet yang berdampak pada perampasan tanah kaum tani secara besar-besaran dan pembangunan industri milik borjusai asing yang dengan rakusnya mengeruk kekayaan alam Indonesia.

Berbeda dengan klas buruh di negeri-negeri imperialisme, klas buruh di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia, mengalami penindasan yang berlipat ganda. Sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal, kedudukan industri Indonesia hanya sebatas industri manufaktur yang menggunakan teknologi yang sederhana dan tidak memiliki industri dasar. Hal ini dikarenakan orientasi dari industri di Indonesia yang sebatas untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi kepentingan imperialis, khususnya imperialis Amerika Serikat. Sementara untuk memenuhi kebutuhan nasional, dipenuhi dengan cara mengimport hasil produksi industri negeri-negeri imperialis. Beberapa industri yang dinilai cukup canggih seperti industri kendaraan bermotor, industri elektronik, dan beberpa lainnya, hanya terbatas pada perakitan dengan bahan baku tetap berorientasi import dari negeri-negeri imperialis.

Dengan demikian, akumulasi keuntungan yang sangat besar imperialis dari industri-industri di negeri-negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia, tidak didapatkan dari penggunaan teknologi canggih yang mampu meningkatkan produktifitas yang tinggi sehingg mendapatkan akumulasi yang besar-besaran. Melainkan dari penggunaan tenaga kerja dengan upah yang sangat murah dan penambahan jam kerja yang jauh melebihi jam kerja yang telah ditentukan. Disatu sisi, untuk semakin menghemat biaya produksi, mereka menggunakan sistem kerja kontrak dan outsourching untuk tidak memberikan hak-hak sosial ekonomi buruh lainnya, seperti jaminan sosial tenaga kerja, pesangon PHK, serta keadaan kerja yang buruk yang mencakup kesehatan, keamanan, dan kesematan kerja.

Itu sebabnya, ditengah krisis umum imperialisme yang sedang terjadi saat ini, klas buruh Indonesia terus mengalami kemerosotan hidup yang sangat parah karena dijadikan sebagai tumbal untuk menyelamatkan imperialisme dari krisis yang dialaminya. Misalnya dengan diberlakukannya sistem kerja kontrak yang semakin memberikan peluang besar bagi imperialis dan kaki tanganya untuk tidak memberikan jaminan upah, jaminan kesejahteraan sosial, dan PHK yang dilakukan semau-maunya.

2. Kaum tani Indonesia.
Demikian halnya dengan kaum tani Indonesia. Sebagai negeri dengan karakter setengah jajahan dan setengah feodal, tetap mempertahankan bentuk penindasan dan penghisapan yang primitif melalui monopoli atas tanah yang melahirkan perampasan tanah-tanah kaum tani secara paksa melalui instrusmen pemerintahan kaki tangan untuk kepentingan imperialisme dan feodalisme.

Kaum tani Indonesia yang berjumlah 65% dari total penduduk Indonesia, lebih dari 50% menggantungkan hidupnya pada luas lahan yang kurang dari 0,5 Ha dengan penghasilan kurang dari Rp. 5.000/hari untuk satu rumah tangga pertanian. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketimpangan penguasaan lahan pertanian. Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, dari 9 perusahaan perkebunan, menguasasi lahan seluas 7,9 juta Ha, sementara jumlah luas lahan yang telah diberikan ijin seluas 9,7 juta Ha, dan masih ada 18 juta Ha yang akan diberikan ijin pengelolahannya. Artinya bahwa, pemerintah sama sekali tidak berpihak kepada pertanian skala kecil milik mayoritas kaum tani Indonesia.

Akibat monopoli tanah pertanian secara besar-besaran tersebut, telah melahirkan ketimpangan kepemilikan tanah, yang mana sebagian besar kaum tani Indonesia memiliki luas tanah yang sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan tidak memiliki tanah sama sekali. Hal ini telah melahirkan praktek sewa tanah. Klas tuan tanah memberlakukan harga sewa tanah yang sangat menindas kaum tani Indonesia.

Riba lahir karena buruh tani, tani miskin dan tani sedang bawah tidak pendapatan yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya dipedesaan dan juga untuk berproduksi. Riba yang terjahat adalah riba di mana para tuan tanah dan klas lainnya meminjamkan uang kepada kaum tani tersebut dengan keharusan membayar bunga yang tinggi dengan jaminan hasil, alat kerja, tenaga, dan terutama tanah dengan tanpa memperdulikan penen gagal atau tidaknya. Riba adalah cara klas tuan tanah dan juga tani kaya untuk memperluas tanahnya di pedesaan dan mempercepat akumulasi kapitalnya. Riba di Indonesia memiliki berbagai penamaan yang buruh di pedesaan seperti lintah darat, pembiak uang, tukang cekik, bank tetel dan lain sebagainya. Ia dibenci oleh kaum tani.

Selain itu juga, akibat dominasi imperialisme yang menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi hasil produksinya, telah menindas kaum tani Indonesia akibat import pangan yang masuk dengan bebasnya di Indonesia. Dengan demikian kaum tani Indonesia akan selalu mengalami kerugian akibat biaya produksi yang sangat mahal, semantara hasil produksi yang selalu anjlok akibat kebijakan import pangan.
Kaum tani Indonesia dibagi kedalam beberapa gologan; tani kaya, tani sedang (sedang atas, sedang menengah, sedang, bawah, tani miskin). Lahitnya golongan dala tubuh kaum tani ini merupakan dampak secara langsung atas berlangsungnya sistem setengah feodal yang didominasi oleh imperialisme.

3. Klas borjuis sedang dan borjuis kecil.
Selain klas buruh dan kaum tani, terdapat juga lapisan klas dalam masyarakat Indonesia yang juga mengalami penindasan akibat dominasi imperialisme dan feodalisme, yakni klas borjuis sedang dan borjuis kecil.

Borjuasi sedang adalah borjuasi yang mandiri dari modalnya sendiri secara relatif. Mereka juga membutuhkan industri dan pasar nasional untuk mengembangkan usaha mereka. Namun mereka juga didesak oleh kepentingan imperialisme, borjuasi besar, dan tuan tanah besar. Keadaan ini yang membuat mereka bersikap bimbang dengan perubahan terhadap Indonesia yang setengah jajahan dan setengah feodal. Mereka sebenarnya membutuhkan perubahan untuk berkembang namun mereka bukan kekuatan politik mayor di Indonesia. Kebimbangan mereka hanya bisa dipecahkan menjadi kepercayaan diri bila dilibatkan oleh gerakan massa demokratis nasional dalam perjuangan demokratis nasional.

Borjuasi kecil. Kalangan ini termasuk klas borjuasi walaupun mereka terkadang terlibat langsung dalam pekerjaan produksi. Ini dikarenakan modal mereka sangat kecil atau bahkan tidak mempunyai modal uang (hanya keahlian tertentu saja). Kalangan ini berkepentingan untuk mengembangkan modal dan keahliannya, akan dihambat dan mereka harus tunduk pada kepentingan imperialisme, borjuasi besar, dan tuan tanah. Ini yang membuat sebagian terbesar klas borjuasi kecil juga tertindas dan terhisap oleh sistem setengah jajahan dan setengah feodal. Mereka sangat menginginkan perubahan yang mendasar dari Indonesia yang setengah jajahan dan setngah feodal.

Pemuda mahasiswa termasuk dalam kalangan borjuis kecil. Karakter negeri yang setengah jajahan dan setengah feodal telah berdampak pada kehancuran tenaga produktif pemuda mahasiswa. Sistem setengah jajahan dan setengah feodal telah menyebabkan pendidikan tinggi menjadi sangat mahal sehingga sangat susah diakses oleh rakyat. Demikian pun tidak berkualitas sehingga tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Pendidikan yang sangat mahal dan tidak berkualitas tersebut dikarenakan tidak ada kepentingan dari imperialisme dan feodalisme untuk memajukan tenaga produktif rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia diorientasikan sebatas menjadi tenaga kerja murah dan pasar bagi hasil produksi industri imperialisme. Oleh karena itu, pemuda mahasiswa sangat berkepentingan untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme untuk menciptakan system pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.

4. Sektor dan golongan khusus.
Selain klas buruh, kaum tani, dan klas borjuis kecil juga terdapat sektor/golongan khsusus dalam masyarakat Indonesia yang juga mengalami penindasan dalam sistem setengah jajahan dan setengah feodal. Sektor/golongan khusus tersebut, antara lain sektor pemuda, perempuan, dan suku bangsa minoritas.

Pemuda. Dari total penduduk Indonesia, pada tahun 2008, jumlah pemuda Indonesia mencapai lebih dari 82,2 juta jiwa. Usianya yang berkisar 15-35 tahun menjadi pemuda sebagai tenaga yang sangat produktif dan dengan tingkat mobiitas yang sangat tinggi. Dengan demikian, pemuda memiliki masa depan yang cerah. Akan tetapi, dalam penindasan setengah jajahan dan setengah feodal, pemuda Indonesia mengalami persoalan umum tidak berpendidikan dan tidak menapatkan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai.

Perempuan. Dalam sistem setengah jajahan dan setengah feodal, kaum perempuan mengalami penindasan berlipat ganda. Di lapangan ekonomi, adanya diskriminasi jenis kelamin dalam kerja produksi. Misalnya sistem pengupahan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan tidak dipenuhinya hak natural kaum perempuan seperti haid, hamil, dan melahirkan. Dilapangan politik, pemerintahan Rezim Boneka Imperialis telah menghambat keterlibatan kaum perempuan dalam gelanggang politik untuk memperjuangkan hak-hak dan pembebasannya. Presiden Megawati (walaupun seorang kepala negara perempuan pertama di Indonesia) bukanlah wakil dari kaum perempuan Indonesia (terutama dari kelas buruh, kaum tani, dan Rakyat pekerja lainnya). Karena dia tetap merupakan pelayan dan boneka yang mengabdi kepeda imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, dan hanya mementingkan kepentingan kelasnya semata. Sementara di lapangan budaya, warisan lama ideologi feodal-patriarkal tidak hilang bahkan semakin menguat dan bercampur dengan budaya liberal imperialis yang reaksioner. Kebudayaan mencerminkan bangunan bawah yang berdominasi, sehingga kebudayaan yang ada dan dipertahankan oleh rezim ini mengabdi kepada kepentingan ekonomi-politik imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.

Suku bangsa terasing. Yang dimaksudkan dengan suku bangsa terasing adalah suku bangsa yang tersingkirkan, terisolisasi, dari hubungan produksi yang berdominasi. Misalnya saja suku bagsa yang ada di Papua, sekalipun ada perusahan besar milik imperialisme ASFreeport yang sejak lama telah mengeruk kekayaan alam di Papua, akan tetapi keadaan suku bangsa di Papua masih saja terbelakang.

III. Karakter Perjuangan Demokratis Nasional.
Karakter perjuangan rakyat saat ini adalahPerjuangan Demokratis Nasional. Yaitu perjuangan bersifatDemokratisuntuk menghancurkan secara politik dan ekonomi serta budaya penindasan Feodalisme.Bersifat Nasional untuk menghancurkan secara politik, ekonomi dan budaya dari penghisapan Imperialisme. Perjuangan demokratis nasional adalah perjuangan yang dilandasi adanya persamaan kepentingan antara klas buruh, kaum tani dengan klas burjuasi (kecil dan menengah) untuk menumbangkan feodalisme sebagai syarat untuk mendapatkan kebebasan, baik dari penindasan feodalisme maupun dari imperialisme.

Bagikelas buruh, feodalisme (yang didominasi oleh imperialisme) adalah sistem yang mencengkeram kebebasan berorganisasi sebagai syarat pokok untuk mendapatkan kesejahteraan. Bagikaum tani, adalah untuk mengakhiri penghisapan feodalisme terhadap kaum tani, seperti memberi upeti dalam bentuk hasil tanaman, kerja, maupun tenaga. Sementaraklas burjuasi menengah nasional, keterlibatan dalam perjuangan demokratis nasional adalah untuk menghapuskan kekuasaan feodalisme guna membebaskan pasar dari dominasi imperialisme. Oleh karenanya, tujuan utama perjuangan demokratis nasional adalah untuk menciptakan masyarakat di mana tidak ada penekanan atas kemajuan tenaga produktif, sekaligus mengukuhkan identitas kebangsaan yakni identitas masyarakat yang mandiri dan bersatu secara teritori, ekonomi, bahasa, dan karakter nasional.
Bersatulah seluruh rakyat tertindas !!!

[i] Perlu diketahui setiap tahapan atau fase perkembangan masyarakat pasti memiliki puncak dan puncak tersebut awal dari kehancuran dan bergantinya fase yang baru, seperti pada fase perbudakan di dunia romawi merupakan puncak dari perbudakan di eropa, mesir merupakan puncak dari perbudakan di Afrika bagian utara-tengah, persia di asia barat, mongol di asia timur, dan maya-aztec di amerika tengah. Sedangkan fase feodalisme, di eropa barat ada Perancis, Spanyol dan Inggris, di Asia timur ada China dan Jepang, di Asia Barat ada konstatinopel. Akan tetapi, tidak semua wilayah di dunia mengalami tahap kapitalisme.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Sabtu, 21 September 2013

SJSF

Masyarakat Indonesia ;
Setengah Jajahan dan Setengah Feodal
I. Pendahuluan
Materi ini akan mengupas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia yang lahir dari gerak perkembangan masyarakat Indonesia. Dan untuk memahami sejarah perkembangan masyarakat tidak hanya sebatas berbicara tentang temuan-temuan purbakala, peristiwa-peristiwa penting, tokoh-tokoh sejarah atau literatur-literatur sastra. Lebih dari itu, sejarah perkembangan masyarakat sesungguhnya ditujukan untuk membongkar lebih jauh apa yang telah mendorong masyarakat untuk bergerak, apa yang melahirkan terjadinya perubahan dalam sejarah perkembangan masyarakat dan upaya-upaya apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam tiap perkembangannya untuk melahirkan perubahan.

Apa yang perlu saja diungkap dalam membongkar sejarah masyarakat ini, dikenal juga dengan Praktek Sosial yang meliputi praktek produksi, perjuangan klas dan percobaan atau eksperimentasi ilmiah. Selain itu, untuk benar-benar memahami arti sejarah perkembangan masyarakat, perlu juga mengetahui tentang dasar-dasar dalam memahami bergerak dan berkembangnya masyarakat hingga melahirkan perubahan-perubahan sosial dalam tiap perkembangannya. Untuk itu, penting mengetahui hukum tentang Kesadaran Sosial ditentukan Keadaaan Sosial, Hukum Umum Perkembangan Masyarakat, basis struktur dan bangunan atas, negara dan perubahan sosial serta peran pimpinan dan massa dalam perubahan.

Mempelajari hal-hal di atas akan memberikan pemaham yang objektif dan komperehensif bagi kita akan sejarah perkembangan masyarakat. Dengan memahami sejarah perkembangan masyarakat secara objektif dan komperhensif, akan sangat membantu kita dalam mengenali keadaan konkret yang kini di alami, memahami akar yang melahirkan persoalan-persoalan rakyat. Dengan demikian dapat menjadi landasan bagi kita untuk melakukan perjuangan untuk perubahan sosial dan bagaimana cara-cara yang harus ditempuh dalam merubah keadaan lama yang usang menjadi keadaan baru dengan masa depan yang gilang gemilang.

Perlu juga ditekankan disini, mempelajari sejarah perkembangan masyarakat bukan untuk menambah kekayaan intelektual ala borjuasi kecil umum lainnya yang seirng dijumpai di bangku-bangku kuliah atau kajian diskusi. Mempelajari hal ini, berarti untuk mengetahui segala sesuatu yang telah melahirkan perkembangan masyarakat hingga dewasa ini, menarik pelajaran-pelajaran penting dari itu semua, dan langkah apa yang harus kita lakukan setelah memahami itu semua.

Ada ungkapan sejarah masyarakat tidak pernah terlepas dari perjuangan klas[i] dan perubahan sosial adalah karya berjuta-juta massa rakyat di seluruh penjuru negeri. Ungkapan ini jelas memberikan penegasan, kenapa kita perlu mengungkap dengan terang seterang-terangnya, bahwa sejarah tidak pernah terlepas dari pertentangan klas di dalam masyarakat. Itu menegaskan, sejarah umum yang sering dipelajari di bangku-bangku kuliah atau sekolah, juga tidak terlepas dari kepentingan klas yang kini mendominasi dalam masyarakat.

Itulah sedikit pengantar singkat untuk memulai pembahasan tentang sejarah perkembangan masyarakat. Hal ini setidaknya memberikan kerangka berpikir (frame work) kita dalam memandang sejarah dan perkembangan masyarakat. Semoga materi yang akan disajikan ini, turut membantu kita semua untuk lebih bisa meningkatkan pemahaman dan mendorong kita lebih maju dalam praktek perjuangan massa.

II. Keadaan Umum Indonesia.
A. Keadaan Alam dan Masyarakat Indonesia.
  • Keadaan Alam
Indonesia merupakan negeri kepulauan yang sangat besar dan istimewa dalam kedudukan strategis percaturan ekonomi, politik, dan budaya dunia. Terdapat puluhan ribu (17.508) pulau dengan lima buah pulau besar: Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Kepulauan Indonesia didominasi oleh perairan dengan garis pantai termasuk terpanjang di dunia. Terletak pada 6 Lintang Utara 11 Lintang Selatan dan 95 Bujur Timur, 145 Bujur Timur, menjadikan Indonesia memiliki dua musim, kemarau dan penghujan. Demikian pula, Indonesia diapit oleh dua buah samudera besar yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang sangat menguntungkan dan strategis untuk jalur perdagangan dunia karena menghubungkan dua buah benua secara langsung, Asia dan Australia. Kontur daratan umumnya terdiri dari pegunungan dan gunung berapi sebagai sumber vulkanis yang subur, lembah-lembah dan puluhan sungai besar dengan ribuan anak sungainya, serta areal persawahan yang luas. Kesemuanya sangat cocok untuk pertanian, perkebunan dan sumber kekayaan hutan tropis yang tiada duanya. Di beberapa kawasan di Indonesia bagian Timur kita masih bisa menjumpai sabana-sabana yang luas yang sangat ideal untuk peternakan dan kegiatan pertanian yang lain. Hutan tropis di Indonesia menjadi paru-paru dunia dengan keanekaragaman hayati dan plasmanutfah terlengkap di dunia. Keadaan ini sangat penting peranannya dalam mempertahankan iklim global dan keseimbangan ekosistem. Demikian juga baik di daratan maupun perairan dan lepas pantai Indonesia terkandung jutaan metrik ton bahan mineral, batu bara, gas alam, tembaga, emas, minyak bumi, biji nikel, timah, biji besi dan gas alam yang menjadi sumber energi utama industri modern yang menggerakkan peradaban umat manusia di dunia ini.
  • Keadaan Masyarakat
Dewasa ini jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 224.784.210 orang, pertumbuhan penduduk 1,63% per tahun. Dengan kepadatan terbesar ada di Jawa, yaitu: 106 orang/km2, di Sumatera 80 orang/km2, dan Kalimantan 26 orang/km2, berdasarkan sensus penduduk 2001. Dengan komposisi penduduk laki-laki sebesar 112.235.364 jiwa sedangkan perempuannya sebesar 112.548.846 jiwa (Update kembali). Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa, yang memiliki adat istiadat dan bahasa sendiri.

Dari sekian sukubangsa tersebut, Jawa adalah sukubangsa yang dominan dan penyebarannya sangat luas di berbagai pulau yaitu mencapai sekitar 45%, terutama secara historis sebagai dampak politik kolonialisme dan imperialisme pada Abad Ke-19 sampai awal Abad Ke-20. Pada hakekatnya semua sukubangsa tersebut memiliki bahasa mereka sendiri dalam pergaulan sehari-hari.

Dalam skala nasional mereka menggunakan bahasa Indonesia secara luas, kecuali di beberapa daerah pedalaman, sebagai kata pengantar dalam pergaulan antar sukubangsa. Demikian pula dalam dunia pendidikan dan acara-acara resmi nasional bahasa Indonesia telah diterima sebagai bahasa pengantar. Populasi penduduk dan sumber daya agraria yang melimpah, sudah seharusnya dijadikan modal untuk kesejahteraan massa rakyat.

Dari keadaan alam yang kaya akan berbagai sumber daya alam tersebut serta populasi penduduk yang sangat besar, seharusnya menjadi syarat pokok kemajuan bangsa yang menempatkan kehidupan rakyat Indonesia dalam kesejahteraan. Akan tetapi kondisi ini berbeda dengan kenyataan sebenarnya, rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Lalu, apakah yang menyebabkan rakyat Indonesia hidup dalam penindasan dan penghisapan? Hal inilah yang akan kita kupas dalam materi ini.

B. Tentang Hukum Umum Perkembagan Masyarakat.
Hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia adalah bagaimana mempertahankan hidupnya. Dalam mempertahankan hidupnya, manusia membutuhkan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk bekerja atau berproduksi. Dalam bekerja atau berproduksi, manusia memerlukan alat kerja dan sasaran kerja serta tenaga kerja itu sendiri. Pacul, mesin, komputer dan sebagainya, termasuk dalam alat kerja. Sementara yang termasuk dalam sasaran kerja, misalnya; tanah, bahan mentah dan sebagainya. Alat dan sasaran kerja inilah yang disebut dengan alat produksi. Tenaga kerja di sini adalah tenaga manusia itu sendiri. Hubungan antara tenaga kerja dengan alat produksi, akan melahirkan tenaga produktif (force of production), tenaga yang mampu memproduksi dan mampu melakukan perubahan sosial.

Dalam berproduksi, manusia juga memerlukan hubungan dengan yang lain guna kelancaran produksi. Hubungan ini yang disebut dengan hubungan produksi (relationship of production). Pertautan antara tenaga produktif dan hubungan produksi inilah yang disebut dengan corak produksi. Corak produksi inilah yang menentukan sistem ekonomi masyarakat yang menjadi basis atau dasar kehidupan masyarakat.

Suatu corak produksi dikatakan sebagai corak produksi kolektif atau penghisapan, dinilai dari;kepemilikan atas alat produksi, orientasi dalam berproduksi, partispasi dalam produksi danpembagian hasil dari produksi. Dari ketiga hal tersebut, kepemilikan atas alat produksi lah yang memiliki kedudukan menentukan. Watak seseorang ditentukan dari hubungan dia dengan alat produksi. Misalnya seorang tuan tanah yang karena memiliki tanah luas, ia tidak terlibat dalam produksi dan mengambil keuntungan besar atas penguasaannya terhadap tanah dan kehidupan sosial ekonominya bergantung pada penguasaan tanah dan serta hasil dari tanah yang dikuasinya. Seorang majikan pabrik atau perusahaan yang karena memiliki modal, tidak terlibat dalam produksi dan mengambil keuntungan lebih karena kepemilikannya atas modal. Dengan demikian, mereka memiliki watak sebagai penindas dan penghisap. Sementara buruh yang tidak memiliki apa-apa, sebatas menggadaikan tenaganya, terlibat aktif dalam kerja produksi dan berhubungan dengan alat produksi yang hanya mampu di kerjakan secara kolektif, maka akan melahirkan wataknya yang kolektif, disiplin, dan solidaritas yang tinggi. Demikian halnya dengan skill seseorang ditentukan dari hubungan dengan alat produksi. Misalnya buruh yang berhubungan dengan alat produksi dengan teknologi yang canggih, lebih memiliki skill yang tinggi dari pada kaum tani yang berhubungan dengan alat produksi yang masih sederhana.

Lalu, bagaimana corak produksi dapat menentukan gerak dari perkembangan masyarakat. Dalam hubungan produksi, kedudukan alat produksi dengan tenaga kerja atau manusia, bersifat menentukan. Kemajuan dari tenaga kerja akan mendorong kemajuan dari tenaga produktif, dan tenaga kerja akan memimpin perkembangan alat produksi. Ketika suatu corak produksi tidak sesuai dengan perkembangan tenaga produktifnya, maka corak produksi tersebut akan digantikan dengan corak produksi yang baru. Perubahan corak produksi yang lama menuju corak produksi yang baru akan menentukan perubahan sistem sosial dalam masyarakat.

Dalam hukum umum perkembangan masyarakat ini, akan dibahas 4 (empat) corak produksi yang pernah ada dalam sejarah perkembangan masyarakat di dunia. Tentu sejarah perkembangan masyarakat dalam pembahasan kali ini, bukan merupakan sejarah perkembangan masyarakat di Indonesia, melainkan sebatas hukum umum perkembangan masyarakat yang akan menjadi landasan teori kita untuk mengupas seperti apa sejarah perkembangan masyarakat di Indonesia. Mari kita bahas satu per satu.

[i] perjuangan kelas adalah perjuangan yang dilakukan oleh kelas-kelas sosial yang terbentuk dari hubungan produksi dengan wujud penguasaan alat produksi, partisipasi produksi dan pembagian serta pengaruh dari hasil produksi yang tidak seimbang. tujuan perjuangan kelas didasarkan atas penciptaan keadilan bagi kepentingan dan penghapusan penindasan akibat dari perbedaan dan ketimpangan dalam hubungan produksi.Antonina Yermakova dan Valentine Ratnikov. 2002. Kelas dan Perjuangan Kelas. Sumbu Yogyakarta:Yogyakarta.

Bagan I
Proses Kehidupan Masyarakat
Masa Komune Primitif
Dalam pelajaran-pelajaran sejarah, dijelaskan bahwa fase kehidupan manusia diawali dengan lahirnya zaman batu yang lahir ratusan juta tahun yang lalu. Fase ini ditandai dengan ciri-ciri kehidupan manusia secara berkelompok yang berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan mendiami gua-gua, serta pemenuhan kebutuhan hidup yang dilakukan dengan cara berburu dan meramu makanan, pada saat itu manusia sangat tergantung pada alam. Fase inilah yang dikenal sebagai fase komune primitif.

Dikatakan sebagai fase komune primitif karena pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan dan dinikmati secara bersama-sama oleh anggota komune dengan alat produksi yang sangat primitif, yakni penggunaan batu dan tulang sebagai alat kerja dan alam tempat berburu sebagai sasaran kerjanya. Lalu bagaimana fase komune primitif ini bisa lahir?

Fase komune primitif lahir dari perkembangan alat produksi yang masih sangat primitif. Penggunaan batu dan tulang sebagai alat produksi, yang hanya memungkinkan manusia untuk berburu dan meramu makanan (food gathering) dan hanya dapat dikerjakan secara kolektif. Hal ini melahirkan cara pandang masyarakat komune yang sangat bergantung terhadap alam, bagaimana alam mampu menyediakan kebutuhan hidup bagi suatu komune. Itu sebabnya, ketika alam sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup suatu komune, maka komune tersebut akan pindah untuk mencari tempat lain yang masih cukup memenuhi kebutuhan hidup komune tersebut. Menghadapi alam yang ganas, yang masih dipenuhi dengan hewan-hewan buas, mengharuskan mereka untuk hidup secara berkelompok dan mendiami gua-gua. Sehingga sering kita mendapatkan dalam temuan-temuan arkeolog, sisa-sisa peninggalan sejarah dari kehidupan masa lampau.

Pekerjaan berburu biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki, sementara kaum perempuan bertugas untuk meramu makanan dan selanjutnya dibagikan untuk dinikmati secara bersama-sama oleh anggota komune. Selain itu, kaum perempuan lah yang pertama kali menemukan dan mengembangkan system bertani atau bercocok tanam. Inilah sebabnya, dalam pelajaran-pelajaran sejarah dijelaskan bahwa garis matrilineal atau garis ibu lah yang lahir pertama kali. Hal ini menjelaskan bahwa kaum perempuan pernah menempati kedudukan penting dalam hubungan produksi.

Pada awalnya sistem bercocok tanam hanya sebatas pelengkap untuk menutupi kekurangan terhadap kebutuhan komune yang didapatkan melalui kerja berburu. Akan tetapi seiring dengan perkembangan kebutuhan komune yang terus meningkat, sementara alam semakin terbatas dalam memenuhi kebutuhan komune, serta sistem bercocok tanam yang terus berkembang pesat dan mulai mencukupi pemenuhan kebutuhan hidup komune, maka sistem berburu mulai ditinggalkan dan diganti dengan sistem bercocok tanam. Saat itulah kaum pria mulai mengambil alih sistem bercocok tanam dan mendominasi dalam hubungan produksi. Hal inilah yang kemudian melahirkan garis patrialkal dalam masyarakat yang kemudian menempatkan kaum perempuan pada urusan-urusan domestik, seperti mengurusi anak dan sebagainya.

Berkembangnya cocok tanam merubah praktek produksi masyarakat. Masing-masing komune memiliki jenis cocok tanam atau usaha produksi sendiri. Di pedalaman, bersandar pada hasil cocok tanam daratan, sementara di pesisir pada hasil-hasil laut dan pernak-pernik seperti kerang. Terus meningkatkan populasi komune mengakibatkan peningkatan kebutuhan komune. Hal ini kemudian mendorong lahirnya hubungan barter atau pertukaran barang antara komune yang satu dengan komune yang lain.

Untuk melaksanakan hubungan barter tersebut, masing-masing komune menunjuk orang yang bertugas untuk melakukan hubungan barter antara komune yang satu dengan komune yang lain. Orang yang melakukan barter tersebut, tidak terlibat secara langsung dalam kerja produksi, melainkan hidup dari pengumpulan hasil produksi komune dan hasil barter. Inilah yang kemudian melahirkan praktek penumpukan atau akumulasi pada segelintir orang. Penumpukkan atau akumulasi yang dilakukan tersebut melahirkan syarat bagi petugas barter untuk mengangkat pengikut yang kemudian menjadi pengawal dan sebagai kekuatan militernya untuk terus melakukan praktek akumulasi. Dengan demikian juga memiliki syarat untuk memimpin suatu komune. Inilah yang kemudian dikenal sebagai kepala suku.

Berkembangnya temuan seperti api dan logam di masa komune primitif, telah mengembangkan kemampuan masyarakat ketika itu untuk melahirkan tombak dan sejenisnya serta juga uang. Peran kepala suku kemudian beralih menjadi penumpuk kekayaan dan memaksa anggota komune untuk menyerahkan miliknya kepada kepala suku. Jika tidak kepala suku akan menindas melalui aparat bersenjatanya, sementara di lain sisi persaingan antar kelompok/komune terus terjadi yang kemudian melahirkan peperangan.

Kebutuhan akan produksi yang meninggi, juga memaksa terjadinya persaingan antar komune yang satu dengan lainnya yang kemudian menyebabkan perang penaklukan serta perebutan wilayah kekuasaan antar komune. Komune atau suku yang kalah perang kemudian ditawan dan dipaksa menjadi budak untuk menghasilkan produksi bagi suku yang menang. Daerah komune yang kalah kemudian dikuasai oleh komune yang menang. Dengan demikian hubungan corak produksi komune primitif hancur dan digantikan oleh corak produksi baru yaitu sebuah kehidupan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan penindasan klas yang satu terhadap klas yang lain, dalam hal ini antara pemilik budak dan tuan budak. Ini disebut dengan masa kepemilikan budak.

Masa Kepemilikan Budak
Masyarakat kepemilikan budak adalah tingkat perkembangan dari masa komune primitif. Syarat-syarat kelahiran masyarakat perbudakan telah ada dalam perkembangan masyarakat komune primitif. Dalam masa ini, tuan budak adalah segala-segalanya, sementara budak merupakanalat produksi bagi tuan budak, kekayaan tuan budak dilihat dari jumlah budak yang dimilikinya. Tuan budak tidak terlibat dalam kerja produksi dan memperlakukan budak sebagai alat untuk mengerjakan apapun yang dikehendaki sang tuan budak. Mulai dari garap tanah, membangun benteng, hingga melayani nafsu birahi bejat sang tuan budak. Sang tuan budak berhak melakukan apapun terhadap budak, karena hidup matinya tergantung dari sang tuan budak. Hasil produksi sepenuhnya dinikmati oleh tuan budak.

Pada masa kepemilikan budak, terjadi perkembangan budaya yang pesat. Hal ini karena tuan budak bisa meluangkan waktu lebih untuk menuangkan ide-idenya, sementara si budak dipaksa untuk menjalankan keinginan sang tuan budak. Borobudur, piramida, colleseum dan lain-lain adalah hasil kebudayaan yang lahir di zaman kepemilikan budak. Secara umum, zaman kepemilikan budak ini dapat dilihat dalam masa Mesir kuno, Persia, Romawi, India dan Cina.

Dalam fase perbudakan ini juga sudah dimulai transaksi perdagangan atau dikenal dengan merkantilis. Walaupun, masih bersifat barter tapi ada juga yang sudah menggunakan alat tukar (belum dalam bentuk uang kertas atau logam). Berarti pandangan bahwa kapitalisme identik dengan perdagangan tidaklah tepat sepenuhnya karena fase perbudakan hingga fase selanjutnya pasti melakukan perdagangan. Ini dikarenakan kelompok atau wilayah satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan hasil bumi yang dihasilkan oleh tenaga kerja baik dalam bentuk budak, tani hamba maupun buruh. Dengan adanya perbedaan hasil produksi ini akan mendorong adanya perdagangan untuk memenuhi kebutuhan hidup suatu masyarakat dan kebutuhan para tuan budak. Dan perdagangan yang dilakukan pada fase perbudakan dikenal sebagai merkantilis kuno, karena belum ada alat tukar yang baku dan hanya berdasarkan sistem barter.

Untuk mempertahankan penghisapannya terhadap budak, tuan budak membangun struktur politiknya. Bagi budak yang ingin melawan, akan berhadapan dengan algojo-algojonya tuan budak. Penindasan luar biasa yang dihadapi kaum budak, membuat kaum budak tidak tahan lagi dan melakukan pemberontakkan. Di Romawi misalnya, terjadi pemberontakan budak yang terkenal yaitu Spartacus. Meledaknya pemberontakan kaum budak dimana-mana, membuat tuan budak berpikir dua kali untuk tetap mempertahankan hubungan kepemilikan budak yang kemudian membebaskan budak secara relatif. Budak-budak yang telah dilepaskan harus bergantung pada sistem bagi hasil yang didapatkan dari menggarap tanah yang dikuasai oleh si tuan budak yang kemudian menjadi tuan tanah dan budak berubah menjadi tani hamba. Dengan demikian terjadi perubahan hubungan produksi baru dalam masyarakat, yaitu hubungan produksi antara tuan tanah dengan tani hamba. Inilah yang menandai lahirnya corak produksi feodalisme dalam masyarakat.

Masa Feodalisme
Setelah masa kepemilikan budak, perkembangan masyarakat selanjutnya memasuki masa feodalisme. Feodalisme adalah sebuah corak produksi yang berdasarkan hubungan produksi penindasan dan penghisapan antara tuan tanah dengan tani hamba. Si tuan tanah menguasai sepenuhnya tanah yang digarap kaum tani dan kaum tani memiliki kewajiban kerja di lahan milik tuan tanah dan kewajiban menyerahkan sebagian hasil produksinya kepada tuan tanah sebagai wujud dari kepatuhan terhadap tuan tanah dalam. Penyerahan hasil garapan dari tani hamba ini biasanya dalam bentuk upeti dan atau pajak. Jika tidak, maka kaum tani akan diberi hukuman baik fisik ataupun dalam kewajiban lain seperti beban kerja dan wajib serah yang lebih banyak kepada tuan tanah.

Dengan demikian, kaum tani tak ubahnya hamba bagi si tuan tanah. Tuan-tuan tanah ini juga menguasai kedudukan politik mulai dari kerajaan pusat hingga ke pedesaan, Dalam menjaga kekuasaannya, kerajaan pusat memberikan kewenangan kepada bangsawan kerajaan di daerah tertentu untuk berkuasa. Kerajaan Inggris Raya misalnya, memiliki berbagai perwakilan raja-raja kecil di skotlandia, Irlandia ataupun Wales. Raja-raja kecil ini memiliki kewajiban untuk menyerahkan upeti kepada raja besar atau tuan tanah di pusat kerajaan dalam waktu-waktu tertentu.

Dalam mempertahankan kedudukan klasnya, kaum bangsawan feudal menggunakan kekuatan gereja untuk kemudian mengamini adanya kekuasaan kaum feudal, dengan jargon raja adalah utusan Tuhan di muka bumi. Sehingga melawan raja, sama saja dengan melawan Tuhan. Hingga itu, seluruh rakyat harus tunduk kepada kekuasaan raja. Masa ini dikenal juga masa kegelapan (dark age), karena ilmu pengetahuan tidak dibiarkan berkembang. Justru dogma-dogma agama yang melegitimasi kekuasaan raja yang dipertahankan. Salah satunya adalah ketika Gallileo Gallilei menyatakan bumi itu bulat, tetapi kaum gereja menolaknya. Akibatnya, Gallileo Gallilei dihukum mati. Pihak gereja vatikan baru mengakui kesalahan tersebut pada abad 20.

Di zaman feudal ini, uang kertas dan logam kemulai berkembang sebagai alat tukar (transaksi) atas barang. Mulailah berkembang ekonomi perdagangan ketika itu. Atau dikenal juga fase merkantilisme modern. Perdagangan berkembang begitu pesat dan melahirkan klas baru dalam masyarakat yaitu kaum pedagang. Kemudian mulai terjadi persaingan untuk memperebutkan pasar atau jalur perdagangan. Di Eropa ketika itu jalur perdagangan yang terkenal adalah jalur sutra, dengan pusat perdagangan di bizantium (konstantinopel). Kemudian meledaklah perang perang salib antara kerajaan Inggris raya dengan kerajaan turki ottoman. Hal ini mengakibatkan jatuhnya konstantinopel ke tangan Turki. Akibatnya, akses jalur perdagangan jatuh ke tangan kerjaan turki.

Atas hal tersebut, kerajaan-kerajaan di Eropa seperti Inggris, Portugis dan Spanyol mulai melakukan proses penjelajahan samudra, apalagi sejak ditemukannya kompas (alat penunjuk mata angin). Lalu penjelajahan dilakukan ke berbagai benua. Colombus (Spanyol) menemukan benua Amerika bagian utara. Fernando Megalhaens (Spanyol) menemukan Amerika Selatan, Alberquque (portugis) menemukan tanjung harapan (Afrika Selatan) dan melanjutkan perjalanan ke India. Persaingan memperebutkan benua-benua baru ketika itu dikenal dengan slogan gold, glory dan gospel. Ini berlangsung dari abad 15-17 Masehi.

Tidak jarang sering terjadi pertempuran armada laut dalam upaya penjelajahan samudara tersebut. Kemudian lahirlah salah satu perjanjian antara Spanyol dan Portugis untuk membagi wilayah dunia ke dalam kekuasaan mereka. Fase ini juga mengawali lahirnya masa kolonialisme terhadap benua baru yang ditemukan oleh bangsa penjajah Eropa. Suku-suku asli disingkirkan bahkan dibunuh ketika mengadakan perlawanan terhadap kaum penjajah. Mereka yang masih hidup sendiri dijadikan tani hamba bahkan budak untuk mengeruk sumber-sumber kekayaan alam yang akan diperdagangkan di Eropa.

Di Eropa sendiri, kaum pedagang berkembang pesat dengan membangun gilde-gilde (industri rumah tangga) yang menghasilkan produksi kerajinan tangan. Tuan-tuan gilde mempekerjakan sebagian besar kaum tani hamba. Di akhir abad 16 terjadi penemuan-penemuan besar yang melahirkan mesin uap, kereta api dan sebagainya. Ini yang dinamakan dengan Revolusi Industri yang diawali di Inggris. Industri-industri gilde mulai hancur digantikan dengan pabrik-pabrik dan mempekerjakan klas baru yaitu buruh. Dan tuan-tuan gilde beranjak menjadi si kapitalis. Revolusi Industri ini adalah yang menandai perubahan mendasar atas alat produksi yang telah mendorong kemajuan tenaga produktif dan perubahan hubungan produksi dalam masyarakat feudal.

Sementara kaum tani sendiri semakin jengah dengan penindasan kaum feudal bangsawan. Mereka mulai melakukan pemberontakkan melawan kesewenang-wenangan tuan feudal. Di Inggris, terjadi revolusi besar Inggris yang dilakukan kaumla vellers (cikal bakal borjuasi) yang menuntut persaman dengan kaum aristokrat dan kaum diggers (kaum tani) menuntut tanah. Peristiwa ini mengakibatkan raja Inggris Charles I digantung. Hal ini mengakibatkan perubahan bentuk Negara Inggris dari Monarkhi Absolut ke Monarkhi Konstitusional.

Di Prancis, terjadi revolusi Prancis 1789 menumbangkan kekuasaan absolut Louis XVI. Dalam revolusi ini dipimpin borjuasi dengan melibatkan kaum tani dan klas buruh yang mulai tumbuh. Revolusi ini melahirkan negera modern (republik) berdasarkan trias politica. Klas buruh sendiri pasca revolusi ini dikhianati oleh kaum borjuasi.
Jerman yang lebih terbelakang perkembangannya, terjadi pemberontakkan kaum tani yang dikenal juga dengan perang Tani Jerman. Perang ini dipimpin oleh borjuasi dan melibatkan kaum tani dan klas buruh. Perang ini kemudian mampu dipatahkan karena pengkhianatan kaum borjuasi.

Kemudian, dalam aspek kebudayaan terjadi kemajuan ilmu pengetahuan untuk menghancurkan dominasi gereja dan kerajaan, terutama pasca revolusi industri. Di kalangan gereja muncul Martin Luther King yang kemudian melahirkan agama Kristen protestan sebagai kritikan terhadap posisi gereja ketika itu. Temuan-temuan dan pemikiran-pemikiran borjuasi berkembang pesat, mulai dari konsep Negara modern, filsafat hingga seni seperti nudis yang dikembangkan kembali. Zaman ini dikenal dengan abad pencerahan atau sering dikenal dengan Rennesaince (dalam bahasa Italy) atau Aufklarung (dalam bahasa Jerman) serta enlightment (dalam bahasa Inggris). Dan puncak dari itu semua adalah runtuhnya filasafat Jerman (hegel) yang menjadi pemikiran utama di Eropa ketika itu.

Dari hal di atas bisa disimpulkan bahwa perkembangan dari masyarakat feudal menuju kapitalisme di Eropa mengalami fase sempurna. pergeseran ini dimulai dari revolusi ekonomi yang ditandai lahirnya revolusi Industri sehingga melahirkan klas baru dalam masyarakat yaitu klas buruh dan borjuasi. Dan diikuti dengan adanya revolusi politik yang ditandai dengan runtuhnya monarkhi Prancis melalui Revolusi Prancis dan revolusi kebudayaan melalui zaman pencerahan.

Masa Kapitalisme-Imperialisme
Foedalisme di Eropa runtuh dan melahirkan sistem baru dalam masyarakat yaitu kapitalisme. Hubungan produksi dalam masyarakat kapitalisme adalah hubungan penindasan antara si tuan kapitalis (pemilik modal) terhadap klas buruh. Klas buruh adalah klas yang tidak memiliki apa-apa selain tenaga yang digunakan untuk memenuhi nafsu si tuan kapitalis. Sementara tuan kapitalis memiliki modal, tidak berpartisipasi dalam produksi dan mengambil untung besar dari keringat dan tenaga klas buruh. Penindasan dalam masyarakat kapitalisme terletak pada perampasan nilai lebih yang dihasilkan oleh kerja buruh oleh pemilik modal/tuan kapitalis.

Tokoh besar dalam pemikiran kapitalisme adalah David Ricardo dan Adam Smith. Mereka berpendapat bahwa sumber kemakmuran dari masyarakat adalah dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada pasar, sehingga segala sesuatu yang menghambat perkembangan pasar harus dipangkas. Kemudian di fase awal kapitalisme ini, ekonomi pasar sangat berkembang. Fase perkembangan kapitalisme persaingan bebas dimulai sejak 1860-1870.

Sesuai dengan watak dasarnya yang eksploitatif, ekspansif dan akumulatif, perkembangan persaingan bebas kapitalisme mulai mengalami transisi (1873-1890) ketika sebagian besar kapitalis kecil dan perusahaan kecil runtuh dan mulai diakuisisi atau dimerger dengan perusahaan kapitalis besar. Dan sejak 1900-1903 mulai terjadi krisis dimana kapitalis kecil runtuh dan berkembangnya kapitalisme monopoli yang melakukan pengakusisian kapitalis kecil oleh kapitalis besar dalam suatu negara, serta pada dewasa ini bahkan lintas negara. Disinilah kemudian terjadi disebut fase imperialisme sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme[i].

Imperialisme adalah tahap perkembangan tertinggi kapitalisme di dunia. Imperialisme adalah adalah tahap kapitalisme monopoli yang ditandai oleh 5 ciri penting yaitu :
  1. Konsentrasi produksi dan kapital telah berkembang menuju sebuah tahapan tinggi sehingga menciptakan monopoli yang memegang peran penting dalam kehidupan ekonomi. Contohnya dahulu ada sony dan ericcson tapi sekarang sudah bersatu menjadi sonyericcson, mercedes dan benz merupakan perusahan otomotif yang berbeda tapi mercedes mengakuisisi benz dan berubah menjadi mercedes-benz. Dan hanya ada satuholding compay dan yang lainnya hanyabranch company (coca cola di swedia, honda di jepang, BMW dan Mercedes Benz ada di jerman tapi kantor cabangnya tersebar di seluruh dunia. Serta, satu perusahan juga menguasai dari industri hulu dengan hilir.
  2. Perpaduan antara kapital bank dengan kapital industri yang menciptakan basis bagi apa yang dinamakan kapital finans. Contohnya keberadaan World Bank, ADB, IMF, dsb yang berdiri untuk mengumpulkan modal dan modal tersebut berasal dari super profit yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh negara-negara kapitalisme. Dan kapital finans ini digunakan oleh negara imperialis untuk melakukan ekspor kapital dan membangun perusahaan cabang di seluruh dunia yang kelak akan menjadi jalan untuk terbentuknya negara-negara boneka.
  3. Eksport kapital yang berbeda dengan ekport komoditi. Contohnya banyak hutang, bantuan, investasi yang dikucurkan ke negara berkembang atau setengah jajahan dan jajahan dengan dalih pembangunan di negara tersebut. biasanya dengan bungkus perjanjian yang timpang.
  4. Pembentukan formasi kapitalisme monopoli internasional dan pembagian dunia di antara mereka. Contohnya, adanya negara adikuasa/Imperialisme yang pada umum disebut negara dunia pertama dan negara-negara miskin yang selanjutnya disebut dunia kedua dan ketiga.
  5. Pembagian teritori di seluruh dunia di antara kekuatan kapitalis besar telah selesaiContohnya dapat kita lihat dengan adanya G-7, G-8, G20 dsbnya. dan Sejak PD II tidak ada lagi negara lain yang menjadi kapitalis baru. Dan ini didominasi oleh Imperialisme AS.
Dalam perkembangan selanjutnya, imperialisme telah menjadi sistem yang mendominasi dunia saat ini. Imperialisme akan selalu mengalami krisis akibat over produski dan over kapital. sehingga untuk itu, imperialisme selalu berupaya melakukan perebutan sumber-sumber material, pasar, tenaga kerja dan ekspor kapital demi mendatangkan keuntungan super di balik itu semua. Nafsu serakah imperialisme telah mendatangkan bencana kemanusiaan terbesar yaitu perang (PD I dan II), penjajahan dan hancurnya penghidupan masyarakat di berbagai negeri baik dalam bentuk perampasan hak-hak hidup rakyat seperti agresi dan invansi untuk menghancurkan setiap negara yang tidak patuh pada imperialisme. Dan juga perampokan kekayaan alam dan tenaga kerja yang melakhirkan kemiskinan di seluruh rakyat dunia.

Kini, dengan berbagai daya upaya, imperialisme terus berupaya mempertahankan dominasinya. Krisis umum dalam tubuh imperialisme telah menciptakan syarat-syarat bagi bangkitnya perjuangan rakyat di berbagai negeri, terutama negeri jajahan dan setengah jajahan. Dimana-dimana imperialisme terus dihujat dengan aksi-aksi massa. Rejim-rejim boneka pendukung imperialisme di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan tidak lepas dari gelora perjuangan massa rakyat yang terus bergerak maju. Di bawah dominasi imperialisme pimpinan AS yang mendominasi dunia saat ini, imperialisme AS sesungguhnya seekor macan kertas yang lapuk dan akan digulung oleh gelombang perlawanan seluruh rakyat di berbagai negeri, terutama negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan.

A. Sejarah Perjuangan Rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia Pada Masa Pra Sejarah dan Pra Jajahan
(1500 SM 1602 M)
Dari berbagai penelitian tentang sukubangsa di Indonesia diketahui bahwa terdapat dua ras penting yang merupakan penduduk asli Indonesia yaitu dari ras Negrito (sekarang ada di Papua) dan Wedda. Mereka hidup dalam sistem komunal primitif, dimana tidak ada klas sosial sehinggga tidak ada suprastruktur kekuasaan milik klas yang berkuasa. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam dengan cara berburu dan meramu.

Kedatangan ras Mon Khmer dari Yunnan (Tiongkok Selatan) pada tahun 1500 SM menyebabkan terjadinya perang antara penduduk asli dan pendatang. Karena kemajuan peradaban dan persenjataan yang dimiliki Mon Khmer maka penduduk asli Indonesia dapat dikalahkan. Penduduk asli yang kalah lantas dijadikan budak oleh ras pendatang, sementara sebagiannya lagi melarikan diri hingga ke kepulaun Mindanau, Philipina. Peristiwa ini menandai dimulainya masa kepemilikan budak dalam sejarah Indonesia. Hal ini ditandainya dengan banyaknya terjadi perang antar kelompok (komunal) dalam satu wilayah untuk memperebutkan sumber makanan yang kian hari kian terbatas sehingga jumlah budak yang akibat kalah perang semakin bertambah. Selain itu, penegakan batas-batas kekuasaan atas tanah (monopoli) oleh tuan budak juga mulai ada. Hal ini juga menandakan bahwa masa feodal dimana terdapat penguasaan tanah oleh raja-raja juga sudah mulai tumbuh.

Kepemilikan perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup (pemberian makanan dan pakaian bagi budak). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di Indonesia.

Dengan demikian, beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme, adalah tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai masih kepemilikan budak. Ini ditandai dengan adanya pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum budak tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak.

Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa kepemilikan budak untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari basis strukutur perbudakan. Bagaimana dengan Feodalisme? Cikal-bakal feodalisme telah tumbuh pada masa perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah. Hal ini dikarenakan tuan budak mengerti jika tidak ada pembagian yang dapat memuaskan bagi kaum budak maka akan memperhebat pemberontakan dari klas budak itu sendiri. Perubahan inilah sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas mereka. Klas-klas sosial dalam masyarakat perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Bentuk perubahan ini dapat kita lihat dari mulai muncul klas-klas baru yaitu tuan tanah dan tani hamba yang merupakan konsekuensi logis dari dilaksanakannya pembagian hasil dari tuan tanah ke tani hamba. Akan tetapi, senyatanya tani hamba tersebut harus menyetorkan hasil buminya kepada tuan tanah. Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh ajaran Islam yang mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi, Islam tidak melawan perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh dan berkembangnya feodalisme.

Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang betul-betul tersentral. Dan artinya tidak ada kerajaan feodal yang menguasai atas kerajaan feodal lainnya tidak sepertinya kerajaan majapahit (perbudakan) yang menguasai kerajaan-kerajan budak di seluruh penjuru negeri. Mereka masih terdiri dari tuan tanah-tuan tanah lokal (raja-raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di Indonesia justru dilakukan di kemudian hari oleh kolonialisme Belanda.

Rakyat Indonesia Pada Masa Feodalisme dan Jajahan Belanda
(1602 M-1830 M)
Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada awal abad 17, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari jalur perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di Eropa untuk kebutuhan menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman berlayar dan mendarat di Banten, untuk memulai perdagangan secara langsung dengan bangsa Indonesia.

Pengusaha-pengusaha Belanda lantas membuat Kongsi Dagang pada tahun 1602 yang di kenal sebagai VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Tujuannya untuk menguasai monopoli peradagangan melalui pengkonsolidasian kekuasaan politik dan ekonomi lokal atau menyatukan kerajaan feodal baik dengan cara penaklukan, adu domba maupun mengakusisi agar kerajaan feodal tersebut dikuasai oleh Belanda melalui VOC. Sudah barang tentu upaya-upaya tersebut mendapat tantangan yang keras dari rakyat Indonesia, misalnya Perang Jayakarta melawan politik bumi hangus J.P Coen pada tahun 1619, tragedivan Bandanaira, tahun 1621, perang Sultan Agung pada tahun 1628-1629, dan perang Ambon pada tahun 1635. Konsolidasi kekuasaan terus dilakukan oleh VOC seiring dengan pembangunan struktur kekuasaan lokal yang berasal dari bangsawan-bangsawan yang merupakan tuan tanah lokal. Mereka diharuskan untuk membayar upeti kepada VOC sama seperti ketika mereka membayar upeti kepada Sultan Agung, atau kepada raja lainnya di Nusantara.

Tahun 1799, VOC dinyatakan bubar karena mengalami kebangkrutan akibat korupsi dan menanggung banyak beban hutang akibat besarnya biaya perang yang amat besar untuk mengkonsolidasikan kerajaan-kerajaan feodal. Akan tetapi, mereka telah berhasil menancapkan kekuasaan di Indonesia dengan mengkonsolidasikan semua kekuasaan politik dan ekonomi di Batavia. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk oleh Majapahit dan Sultan Agung. Dengan demikian memaksa semua kekuasaan lokal tunduk pada Gubernur Jenderal VOC dan merombak birokrasi kerajaan sesuai dengan kebutuhan VOC serta memaksa mereka membayar upeti kepada VOC. Dan hal ini baru berhasil dilakukan VOC kurang lebih dalam waktu 200 tahun.

Kekuasaan kolonial ini diperkuat cengkeramannya oleh Gubernur Hindia Belanda paska VOC, terutama oleh Daendels (1808-1811) dan Raffles (1811-1816). Dua orang Gubernur Jenderal di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, yang sangat ambisius melaksanakan program modernisasi atas birokrasi tanah jajahan. Mereka menerapkan penarikan pajak seperti pada zaman Feodalisme Eropa, terutama pajak tanah dan hasil bumi. Sistem upeti yang selama ini berlaku di Indonesia diganti dengan Pajak Tanah (Land Rent) yang dibayar dengan penyerahan wajib (Verlichte leveraties) hasil panen, yaitu 2/5 dari hasil panen yang bagus dan 1/4 dari hasil panen yang buruk. Demikian pula dengan struktur pemerintahan kolonial yang juga dirubah sedemikian rupa hingga menjangkau desa, dengan menggunakan tenaga-tenaga bangsawan lokal (tuan-tuan tanah) dengan jabatan asisten Residen, Wedana dan Asisten Wedana, hingga Demang. Pada masa tersebut telah dilakukan pengenalan sistem sewa secara resmi atas tanah. Penderitaan rakyat sangat parah dan menyedihkan. Mereka ditindas oleh dua kekuasaan sekaligus. Di satu sisi harus membayar pajak tanah kepada pemerintahan kolonial dan di sisi lain harus menyerahkan upeti dan penggunaan tenaga secara cuma-cuma bagi penghidupan para bangsawan lokal.

Perang paling akhir dan paling lama yang mendatangkan kerugian terbesar sepanjang sejarah kekuasaan kolonial Belanda pada masa itu yang dilancarkan oleh Diponegoro (1825-1830), adalah salah satu jawaban rakyat atas penindasan ini. Perang Jawa atau perang Diponegoro disambut rakyat dan juga didukung oleh beberapa pimpinan Islam pedesaan. Rakyat mendukung perang ini karena penghisapan yang dilakukan oleh penguasa di manakerajaan Mataram bekerjasama dengan Penjajah Belanda. Penindasan itu berupa beban pajak yang terlalu tinggi dan kerja paksa. Ditambah kebencian rakyat atas rumah-rumah bea-cukai yang oleh kerajaan disewakan kepada orang-orang Tionghoa, dimana mereka semaunya menaikkan tarikan bea-cukai. Akibat dari perang ini, telah menyebabkan kebangkrutan total keuangan negeri Belanda yang saat itu juga baru bebas dari kekuasaan Perancis dan Belanda diharuskan membayar hutang perang kepada Perancis.Kebangkrutan ekonomi inilah yang membuat kolonialisme Belanda menerapkan sistem jajahan yang sangat menindas dan menghisap rakyat Indonesia waktu itu yaitu Sistem Tanam Paksa (STP) atau cultuur stelsel.

Terkonsolidasikannya kekuasaan raja-raja lokal yang pada hakekatnya adalah tuan feodal besar oleh Belanda serta dikontrolnya secara ketat kekuasaan yang ada menunjukkan bahwa kekuasaan feodal mulai melapuk. Dan dengan diperkenalkannya sistem sewa-tanah sejak Rafless hingga tetap dipertahankan bahkan dijadikan dasar bagi STP, maka ini juga menjadi bukti bahwa corak produksi feodalisme sudah tidak lagi dalam bentuk murninya.


Indonesia Pada Fase Sistem Tanam Paksa (1830 1870)
Paska perang Diponegoro, kekuasaan kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi oleh kekuasaan feodal yang ada dan masih berupaya mempertahankan sekaligus memperbaharui syarat-syarat penindasannya. Terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa, seperti Bali, Lombok dan Tapanuli peperangan baru benar-benar berakhir pada awal abad 20. Secara ekonomi dan politik kekuasaan telah terkonsentrasi di Batavia. Akan tetapi para petinggi kolonial sadar betul bahwa pengaruh tuan tanah sangat kuat, hal ini bisa dilihat dari pertentangan bahkan perang yang harus mereka hadapi dan mahal harganya. Maka itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah lokal dalam struktur sekaligus di bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan.

Hal inilah yang kemudian dipahami dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Van De Bosch dalam memulai Sistem Tanam Paksa (1830-1870). Yaitu, menggabungkan antara usaha membangun perkebunan dan pertanian yang menanam tanaman komoditi yang sangat menguntungkan serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern, akan tetapi dalam mobilisasi tanah dan tenaga kerja adalah tanggung jawab para tuan tanah-tuan tanah yang memiliki pengaruh yang kuat hingga tingkat desa.

Akan tetapi yang harus diingat, bahwa Sistem Tanam Paksa tidaklah merencanakan apalagi berkehendak untuk membangun industri di Indonesia seperti perkembangan kapitalis industri yang sedang gencar di Eropa waktu itu. Mereka hanya membangun perkebunan besar yang diurus secara modern dengan komoditi-komoditi yang dibawa dari berbagai belahan dunia seperti kopi, teh, gula nila, tembakau, kayu manis dan kapas yang menjadi primadona dalam perdagangan dunia saat itu. Mereka hanya menyiapkan komoditi pertanian dan perkebunan untuk diperdagangkan di pasar dunia dan tidak untuk keperluan domestik (Indonesia). Demikian pula, mereka hanya menyiapkan beberapa bahan mentah seperti kapas yang sangat dibutuhkan untuk keperluan industri tekstil kapitalis yang saat itu sedang berkembang di negeri Belanda, mengikuti perkembangan industri kapitalis di Eropa lainnya. Singkatnya, Indonesia hanya menjadi pelayan kerakusan kolonialis Belanda atas hasil-hasil perkebunan. Kemudian berkembang menjadi pelayan keserakahan akan bahan mentah dan tenaga kerja murah para kapitalis industri di Belanda dan Eropa pada umumnya, untuk kebutuhan perputaran roda industri mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendirian NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) pada tahun 1824, pemegang monopoli hak pengangkutan dan perdagangan hasil produksi di Jawa ke pasar dunia.

STP yang dimotori oleh Van de Bosch, adalah sistem ekonomi jajahan yang sangat menindas apabila diperiksa hubungan produksi dengan tenaga produktifnya. Dimulai dengan program mobilisasi tanah untuk keperluan perkebunan dan penanaman komoditas baru yang sangat laku di pasar Eropa. Para petani harus menyerahkan 1/5 dari tanahnya untuk tanaman wajib, termasuk tanah-tanah pusaka (tanah waris) harus diserahkan. Mereka diberi konpensasi dibebaskan dari pajak tanah. Demikian pula berdasarkan peraturan yang resmi penduduk pedesaan terkena kerja wajib (rodi) selama 66 hari setahun dengan mendapat plantloon (upah tanam). Akan tetapi kenyataannya jauh lebih menindas daripada hukumnya sendiri yang mengesahkan penindasan tersebut. Tanah yang diserahkan oleh petani pada kenyataannya tidaklah 1/5 melainkan 2/3 bahkan terkadang seluruhnya; bekerja wajib tidak 66 hari melainkan paling minimal tiga bulan dan tanpa dibayar. Mereka hanya diberi makan dan tempat tinggal diatas perkebunan yang menyerupai kandang kambing, sehingga banyak yang mati karena menderita kelaparan dan terjangkit berbagai jenis penyakit. Sementara di sektor perkebunan, dikeluarkan apa yang disebutPoenale Sanctie, sebuah peraturan yang sangat menindas para buruh. Yaitu keharusan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebelum habis kontrak.

Ditengah penindasan yang sangat kejam tersebut, pajak tanah tetap saja tidak diturunkan dan dihapuskan. Untuk membayar pajak tanah tersebut, kaum tani terpaksa harus menjual hasil panennya. Dan Jika harga hasil tanaman melebihi jumlah pajak yang harus dibayar kaum tani, kelebihannya tidak diserahkan pada kaum tani. Aibatnya, banyak rakyat yang mati kelaparan dan diserang penyakit hingga 7% dari total buruh tanu setiap tahunnya. Penduduk Kab. Demak dari 336 ribu menjadi 120 ribu orang dalam dua tahun. Di Grobongan dari 98 ribu jiwa menjadi 9 ribu, karena kelaparan.

Mobilisasi tenaga kerja besar-besaran dengan cara paksa ini telah melahirkan golongan baru dalam masyarakat Indonesia yaitu klas buruh yang lahir dari pembukaan perkebunan besar dan pabrik-pabrik manufaktur yang ada di jawa-sumatera-kalimantan-sulawesi. Dari hari ke hari klas buruh bertambah jumlah dan kualitasnya seiring dengan semakin banyaknya petani kehilangan tanah, kerja paksa dan rendahnya pendapatan dari hasil pertanian. Demikian pula dengan pembangunan tranportasi modern seperti kereta api telah melahirkan buruh kereta api. Berdirinya bengkel mesin telah melahirkan buruh bengkel, bertambahnya buruh-buruh pelabuhan, buruh angkut dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya telah berlangsung sejak zaman Daendels dan Raffles. Dan inilah yang dinamakan dengan proletarisasi besar-besaran untuk kepentingan kolonial Belanda. Bedanya proletar yang tercipta, bukan dari hubungan produksi kapitalisme, tapi feodalisme Indonesia yang dimanfaatkan oleh kolonialisme Belanda. Ini ditandai dengan adanya penggunaan tuan tanah lokal dalam pelaksnaaan Sistem Tanam Paksa.

Sistem Tanam Paksa tidak dapat dilakukan secara efektif bila tidak didukung oleh kekuatan tuan tanah feodal. Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak pihak perkebunan dan pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka juga yang melakukan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan pendirian pabrik gula. Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal dengan menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri di Kerajaan Belanda. Sebagai gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen 25.000 gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500. Sedangkan gaji menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh oleh STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah Kerajaan Belanda 725 juta Gulden pada tahun 1870, merupakan seperlima hingga sepertiga dari total pendapatan negara Belanda pada kala itu. Inilah sumber keuangan pokok yang digunakan untuk melunasi utang Kerajaan Belanda terhadap Perancis karena kalah perang. Dan menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik tenun di Belanda, pembangunan perkeretaapian negara dan pembuatan bangunan pertahanan serta pembangunan pelabuhan Amsterdam dan aktifitas pelayaran lainnya untuk mendukung dan mempermudah perkembangan kapitalisme Belanda saat itu..

Penderitaan akibat penindasan dan penghisapan diluar batas kemanusiaan ini dijawab oleh para petani, buruh tani, kaumherediensten dengan pemberontakan, pemogokan dari bentuk yang paling damai hingga bentuk yang paling keras dan berdarah. Antara tahun 1810-1870 tercatat 19 kali huru hara akibat kerja paksa dan beban pajak yang melewati batas manusiawi. Di Jawa huru hara praktis tidak pernah berhenti. Antara tahun 1840 hingga tahun 1875 hanya enam tahun tidak terjadi kerusuhan. Perlawanan kebanyakan dipimpin oleh elit agama atau bangsawan yang penuh dendam. Perlawanan ditujukan pada orang kulit putih, yang asing dan kafir dan juga terhadap penguasa pribumi. Pada tahun bulan Juli 1882, terjadi pemogokan besar-besaran oleh kaum buruh di tiga kabupaten, Sleman, Bantul, dan Kalasan. Pemogokan melanda 30 buah pabrik dan perkebunan yang meliputi enam pabrik gula, delapan perkebunan tebu, 14 perkebunan nila dan dua perkebunan tembakau dengan melibatkan 10.000 orang pemogok yang berlansung selama tiga bulan. Dalam pemogokan ini solidaritas antara berbagai sektoral telah terjadi, kaum buruh yang bekerja di pabrik, kaumherendiensten dan kaum tani pada umumnya. Tuntutan dan penyebab pemogokan hampir sama dengan tempat-tempat yang lain. Yaitu, beratnya beban kerja, banyaknya pekerjaan yang tidak dibayar padahal di luar kerja wajib, upah rendah di pabrik dan upah tanam yang rendah. Pada Bulan November 1885, pemberontakan serupa terjadi di Kawedanan Pulung, Kabupaten Ponorogo, karesidenan Madiun. Beratnya tanggungan pajak yang harus dipikul petani dari seharusnya hanya 6,1% dari penghasilan pada kenyataannya ditarik sebesar 16,1%. Di Banten pada tahun 1888, akibat beratnya beban pajak dan kerja rodi meledak sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini ditujukan pada penguasa Belanda dan penguasa pribumi yang mendukung Belanda. Dalam huru hara tersebut delapan orang penguasa Belanda dan sembilan orang penguasa pribumi dibunuh. Sementara rakyat 30 orang mati, 200 lebih ditangkap, 11 diantaranya digantung di muka umum. Dan kurang lebih 90 orang dikenai kerja paksa bertahun-tahun, dan kurang lebih 90 orang dibuang. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sangat lokalistik akan tetapi mengangkat isu yang hampir sama yaitu beratnya beban yang harus ditanggung oleh rakyat dalam STP.

Rakyat Indonesia Pada Masa Jajahan Belanda dan Setengah-Feodal
Sesungguhnya peralihaan hubungan produksi setengah feodal dan jajahan dari feodal dan jajahan dibagi dua tahap. Tahap pertama Pada tahun 1870-1990 ini dikarenakan kapitalisme belum mencapai puncak menjadi imperialisme. Sedangkan tahap kedua yaitu jajahan dan feodal terjadi pada 1900-1945, yang dimana kapitalisme sudah mencapai titik puncaknya yaitu imperialisme dan mendominasi hubungan produksi feodalisme. Karena feodalisme sangat menguntungkan bagi pihak imperialisme sebagai penyuplai bahan mentah dan ini menjadi alasan pokok kenapa feodalisme di Indonesia hingga kini masih ada.

a) Fase 1870-1900
Sistem Tanam Paksa dinyatakan berakhir dan kemudian digantikan dengan dikeluarkan undang-undang agraria kolonial:Agrarische wet de Waal[ii] (de Waal adalah menteri urusan jajahan saat itu). Akan tetapi, tidaklah benar bahwa sistem tanam paksa diakhiri karena perdebatan parlemen antara kaum liberal dengan kalangan konservatif, melainkan karena perlawanan dan pemberontakan rakyat yang telah meledakkan sekaligus menghancurkan keuntungan yang sedang dibangun, karena penindasan dan penghisapan diluar batas. Para kaum liberal tidak pernah peduli akan nasib penduduk jajahan. Hal ini terbukti ketika mereka mulai masuk ke Indonesia dan menguasai pabrik-pabrik gula, perkebunan dan pertanian pada umumnya, penindasan tidak berkurang akan tetapi justru semakin bertambah, karena semakin banyaknya para tuan tanah dan bangsawan pada umumnya yang direkrut menjadi bagian dari pemerintahan kolonial. Dan ini menjadi cikal bakal munculnya hubungan produksi setengah feodal yang melahirkan komprador dan kapitalis birokrat.

Politik Etis yang dikemudian hari dikenal sebagai politik balas budi pada prinsipnya adalah upaya untuk mengukuhkan kekuasaan politik mereka. Khususnya program pendidikan untuk kalangan priyayi bertujuan untuk mengefisienkan birokrasi, sementara irigasi pada dasarnya hanyalah untuk melayani kemajuan industri gula dan perkebunan pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah, sedangkan transmigrasi jelas hanya untuk mobilisasi tenaga kerja murah dengan cara membuka lahan baru untuk perkebunan.

b) Fase 1901-1945
Agrarische wet de Waal mulai dijalankan sejak tahun 1870 dengan azasDomeinverklaring yang isi pokoknya: semua tanah yang tidak terbukti dimiliki dengan hak eigendom adalah kepunyaan negara. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum. Di sisi lain, tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial. Tanah inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan juga mereka dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk sekaligus dapat menjadi buruhnya. Konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para investor tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Masuknya kapitalis selain belanda berarti menunjukkan bahwa kapitalisme sudah mencapai puncak tertinggi yaitu imperialisme.

Sementara perkembangan lainnya adalah berdirinya beberapa bank di tanah jajahan yang dipelopori oleh perubahan status NHM yang dulunya adalah perusahaan monopoli dagang dan jasa pengangkutan barang dagangan menjadi bank yang mendukung perluasan pabrik gula dan perkebunan komoditi lainnya. Dukungan kapitalis finance ini telah mengakibatkan semakin luasnya ranah usaha kaum kapitalis di Indonesia. Mereka mulai merambah pertambangan minyak, batu bara. Perusahaan pertambangan minyak seperti BPM milik Inggris dan Shell milik AS mulai melakukan eksplorasi demikian juga dengan pertambangan timah di Bangka-Belitung, yang sebenarnya sudah dimulai sejak VOC.

Akibat perampasan tanah secara besaran-besaran tersebut, dan seiring dengan semakin banyaknya industri-industri yang berdiri sebagai dampak dari masuknya investasi akibat dijalankannya kebijakanAgrarische Wet, telah mendorong lahirnya klas buruh sebagai klas baru dalam masyarakat Indonesia. Sementara pelaksanaan kebijakan politik etis sebagai bagian dari kebijakanAgrarische Wet, telah berpengaruh pada pembentukan klas borjuasi kecil perkotaan, seperti: produsen kecil, pedagang, kaum intelektual, pekerja merdeka (wartawan, pengacara, guru, dokter), pegawai rendah pemerintahan. Dengan demikian, klas buruh dan klas borjuis adalah klas baru dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, klas buruh dan klas borjuis dalam masyarakat Indonesia, tidak lahir dari revolusi borjuis tipe lama sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Eropa, peralihan dari masa feodalisme menuju kapitalisme. Ini dikarenakan hubungan produksi yang mendominasi adalah perpaduan dari feodalisme dan kolonialise Belanda yang juga memberikan kesempatan bagi kapitalis dari negara-negara lainnya seperti Inggris dan AS.

Sejak dijalankan sistem tanam paksa dan kebijakanAgrarische Wet, kedudukan Indonesia sebagai tanah jajahan adalah penyedia bahan baku atau mentah bagi kepentingan kolonial dan borjuis, sebagai pasar penjualan industri Eropa, sebagai sumber tenaga kerja murah, dan sasaran investasi negara-negara kapitalis lainnya. Penindasan yang sangat kejam tersebut, dijawab dengan perlawanan yang tiada putus-putusnya oleh kaum buruh, kaum tani dan beberapa kalangan terpelajar yang mulai terbit kesadarannya akan nasib rakyat yang tertindas. Organisasi rakyat yang modern mulai bermunculan di mana-mana. Mereka mulai mengorganisir diri untuk melawan para imperialis asing maupun kalangan pribumi sendiri yang menjadi antek mereka dalam mengeruk keuntungan atau nilai lebih. Akan tetapi organisasi rakyat yang terbentuk tidak selalu melawan kaum imperialis secara langsung akan tetapi terkadang mereka hadir hanya untuk menangani beberapa persoalan yang tengah dihadapi. Dalam perkembangannya, karena kesadaran anggota yang berada di tengah-tengah perderitaan rakyat yang terus bertambah dari hari ke hari pada akhirnya organisasi tersebut memilih jalan perjuangan melawan Imperialisme.

Patut diingat perubahan fase perpaduan antara feodalisme dengan kolonialisme menjadi hubungan setengah feodalisme dengan kolonialisme adalah mulai lahirnya klas-klas penguasa baru yaitu borjuasi komprador yang tadinya tuan tanah besar lokal dan memiliki hubungan sama dengan hal kapitalis birokrat (ass Residen wedana dsbnya) yaitu untuk memenuhi kepentingan imperialis dalam hal pemenuhan bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pasar.


Rakyat Indonesia Pada Masa Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (1949 sekarang)
Revolusi Borjuis[iii] Agustus 1945 adalah puncak dari pergolakan yang membakar kesadaran massa rakyat sejak awal abad ke-17, dan pergolakan yang paling massif sejak awal abad 20. Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan langsung atau menghancurkan pemerintahan jajahan yang ada di Indonesia. Akan tetapi gagal membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman Imperialis, karena masih bercokolnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik mereka di Indonesia, terutama melalui komprador-kompradornya di dalam negeri.

Indonesia resmi menjadi negara Setengah Jajahan melalui kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 yang ditandatangai oleh Hatta dan Sjahrir. Melalui KMB tersebut, imperialisme menemukan klik reaksioner dalam negeri yang memberikan banyak keuntungan secara ekonomi, politik dan kemiliteran bagi imperialisme serta menimbulkan kerugian di pihak rakyat Indonesia. Secara ekonomi, perjanjian KMB telah memberikan jaminan terhadap keberlangsungan kepentingan-kepentingan imperialisme di Indonesia, terutama dari upaya-upaya nasionalisasi. Secara politik, perjanjian KMB telah menempatkan Indonesia sebagai anggota negara persemakmuran di bawah kaki imperialisme Belanda. Demikian pula secara kemiliteran, imperialisme mendapatkan keuntungan karena tidak harus berhadap-hadapan secara langsung dengan kekuatan bersenjata rakyat yang akan memakan biaya dan menimbulkan kerugian besar di pihak mereka. Dominasi imperialis di Indonesia melahirkan klas borjuis besar komparador, klas borjuis perpanjangan tangan yang dengan setia melayani kepentingan imperialis.

Demikian pula Revolusi Agustus 1945 gagal menghancurkan kekuatan feodalisme. Justeru feodalisme lah yang menjadi basis sosial bagi imperialis agar bisa mempertahankan syarat-syarat hidupnya yaitu tersedianya bahan mentah untuk industri mereka.

Persekutuan antara imperialisme dan feodalisme telah melahirkan pemerintahan diktator bersama, klas borjuis komparador yang juga tuan tanah besar yang sedang setia melayani kepentingan imperialisme. Soeharto adalah rejim pertama yang menjadi pemerintahan diktator bersama antara klas borjuis besar komparador dan tuan tanah besar lainnya. Dan pasca rezim Soeharto pun, sistem setengah feodal dan setengah jajahan masih berlangsung.

Sebagai negara setengah jajahan dan setengah feodal, Indonesia memiliki kedudukan sebagai penyedia kebutuhan bahan baku dan tenaga kerja murah bagi kepentingan industri imperialisme, sebagai sasaran proyek investasi raksasa imperialis, dan sebagai pasar bagi hasil produksi imperialis. Dan patut diingat pula, lahirnya perpaduan hubungan produksi setengah jajahan dan setengah feodal, ditandai adanya rezim boneka yang menjamin keberlasungan pasokan bahan mentah, tenaga kerja murah dan pasar pada suatu negara setengah jajahan seperti hal Indonesia.

Problem Umum Rakyat Indonesia dan Penyebabnya.
Penindasan dalam sistem setengah jajahan dan setengah feodal telah menjerumuskan rakyat dalam kemerosotan hidup yang sangat dalam. Menurut data Badan Pusat Statistik, di tahun 2009 jumlah rakyat miskin di Indonesia mencapai 14,2% atau 32,5 juta jiwa. Bahkan jika mengacu pada garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia/World Bank standar hidup sebesar US$ 2 perhari maka 50% rakyat Indonesia berada dalam kategori miskin. Jumlah ini tentu akan terus bertambah seiring dengan terjadinya PHK massal dan melambung tinggi seluruh kebutuhan hidup rakyat, sementara di satu sisi, pendapatan rakyat tidak pernah meningkat.

Klas buruh Indonesia merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang paling merasakan dampak akibat krisis imperialisme yang terjadi. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menyelamatkan imperialisme dan kaki tangannya dari krisis yang dialaminya, sebaliknya menjadikan klas buruh sebagai tumbalnya. Misalnya saja, dengan dikeluarkannya SKB 4 Menteri Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global, para pengusaha mendapatkan legitimasi untuk tidak membayar upah buruh dan menambahkan jam kerja yang melebihi jam kerja yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hal ini ditujukan untuk menghindari PHK Massal akibat krisis yang terjadi. Akan tetapi kenyataannya, PHK tetap saja berlangsung di Indonesia. Terhitung sejak Maret 2008 sampai Maret 2009, sebanyak 240,000 orang buruh harus terkena PHK. Parahnya, PHK ini terjadi disektor-sektor usaha yang penting dan padat karya, seperti ; tekstil dan garmen 100.000 orang, sepatu 14.000 orang, mobil dan komponen 40.000 orang, konstruksi 30.000 orang, kelapa sawit 50.000 orang dan (pulp and paper ) sebanyak 3.500 orang. Jumlah angka PHK yang dirilis oleh KADIN mencapai angka lebih dari 500.000 orang. Bahkan KADIN memperkirakan angka ini akan bergerak hingga 1,6 juta pekerja sampai akhir tahun 2009.

Untuk meningkatkan akumulasi keuntungan, imperialisme melakukan berbagai cara termasuk dengan menekan senimin mungkin biaya produksi yang harus dikeluarkan. Hal ini dilakukan dengan tidak memberikan jaminan kesejahteraan hidup klas buruh melalui sistem kerja kontrak dan outsourcing, serta tidak adanya jaminan sosial (kesehatan, keamanan, dan keselamatan kerja yang buruk).

Persoalan yang sama juga dialami oleh Buruh Migran Indonesia yang ditindas oleh biaya berlebih penempatan tenaga kerja (overcharging). Disatu sisi, tidak ada jaminan perlindungan hukum sama sekali yang diberikan pemerintah sehingga sering kita mendengar tentang Buruh Migran Indonesia yang mendapatkan penganiayaan, bahkan hingga meninggal dunia.

Demikian halnya yang dirasakan oleh kaum tani Indonesia yang berjumlah 65% dari total penduduk Indonesia. Lebih dari 50% kaum tani menggantungkan hidupnya pada luas lahan yang kurang dari 0,5 Ha dengan penghasilan kurang dari Rp. 5.000/hari untuk satu rumah tangga pertanian. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketimpangan penguasaan lahan pertanian. Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, dari 9 perusahaan perkebunan, menguasasi lahan seluas 7,9 juta Ha, sementara jumlah luas lahan yang telah diberikan ijin seluas 9,7 juta Ha, dan masih ada 18 juta Ha yang akan diberikan ijin pengelolahannya.

Sementara itu, ancaman perampasan tanah petani yang disertai dengan kekerasan, semakin meningkat. Misalnya saja, tragedi berdarah 18 September 2005 di Tanak Awu-Lombok Tengah. Tragedi Rumpin-Bogor pada Bulan Januari 2007 dan Karang sari-Garut, dimana akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, PTPN serta pemerintah daerah setempat yang menyebabkan rusaknya lahan garapan warga serta korban penembakan, intimidasi dan penculikan terhadap beberapa tokoh masyarakat dan aktivis tani. Penangkapan terhadap sekitar 27 kaum tani di Kali Baru-Banyuwangi, penangkapan 50 kaum tani di Kalijajar-Wonosobo, hingga tindak kekerasan secara membabi buta yang dilakukan oleh TNI AL di Alas Tlogo-Pasuruan, yang menyebabkan meninggalnya 5 orang kaum tani. Dan yang baru-baru terjadi adalah perampasan tanah dengan kekerasan dan penembakan yang melibatkan aparat PTPN XIV dan kepolisian di Takalar pada 9 Agustus 2009 yang mengakibatkan 7 orang petani tertembak dan 9 lainnya di tangkap. Juga konflik agraria di Tapanuli Tengah yang menyebabkan 10 petani di tangkap, sementara yang lainnya terluka akibat tindak kekerasan aparat Tapanuli Tengah.

Disektor pendidikan, pemerintah semakin melegalkan terjadinya komersialisasi atas pendidikan walaupun dibatalkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan akan ada Perpu yang menggantikan UU BHP yang hakikat Perpu itu adalah sama yaitu menyebabkan biaya pendidikan semakin melambung tinggi sehingga rakyat semakin kehilangan haknya atas pendidikan. Akibatnya 9,7 juta rakyat Indonesia yang masih terbelenggu buta huruf. Disatu sisi, tidak jaminan yang diberikan pemerintah bagi lulusan pendidikan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak sehingga berdampak pada semakin meningkatnya angka pengangguran terbuka yang telah mencapai 8,1 % atau 9,25 Juta dari angkatan kerja dengan distribusi pekerja 60,5 % adalah pekerja Informal seperti tukang ojek, asongan, buruh lepas dan pedagang kecil. Sebanyak 52,65 persen tenaga kerja yang ada di Indonesia berpendidikan SD ke bawah, karena dunia kerja banyak yang hanya membutuhkan skill kerja yang rendah. Pengangguran terdidik di Indonesia berjumlah 961.000 hingga Agustus 2008 yang terbagi atas 598.000 penganggur Sarjana dan 362.000 penganggur Diploma. Februari 2008 lalu bahkan mencapai 1.146 juta jiwa.

Dengan kondisi BOS yang tidak terserap sesuai ketentuan, gedung sekolah yang menjadi tempat belajar sebagian besar rusak, terutama di daerah-daerah terpencil. Dari total ruang kelas di SD hampir 50% dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat. Situasi ini juga tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Pada 2008, menurut Depdiknas, baru 32% SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di SMP baru 63,3%.

Penindasan yang sama tidak sebatas dialami peserta didik, tetapi juga oleh para tenaga pengajar dan pendidik (guru dan dosen). Kualitas guru yang tidak layak mengajar, dilihat dari segi kualifikasi pendidikan maupun profesionalisme, sebagian besar terjadi pada guru di tingkat TK-SD. Tahun lalu tercatat sekitar 88% guru TK tak layak dan di tingkat SD sekitar 77, 85%. Dari 2,7 juta guru yang ada di Indonesia, baru 350.000 yang mendapatkan tunjangan dan sertifikasi. Budaya riset dan menulis penelitian bagi guru yang sudah disertifikasi selesai begitu saja setelah sertifikasi didapatkan dan tidak menjadi bagian dari kegiatan hariannya untuk memajukan ilmu pengetahuan. Sedangkan di tingkat perguruan tinggi, total dosen yang ada di Indonesia adalah 240.000 orang. 120.000 orang merupakan dosen tetap di Indonesia, 50,65 % atau sekitar 60.000 di antaranya belum berpendidikan S2.

Di sektor kesehatan, pemerintah pun juga terkesan tidak peduli dengan nasib kesehatan rakyatnya. Dari APBN 2009 yang angkanya mencapai lebih dari 1,000 trilliun, sektor kesehatan hanya mendapatkan jatah sekitar 2,8 %. Angka ini jauh dari standar yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia yang seharusnya mencapai angka 15 %. Akibatnya rakyat semakin kehilangan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Meskipun pemerintah coba menerbitkan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat yang kurang mampu, namun dalam kenyataan dilapangan sering kita mendengar dan melihat secara langsung masyarakat kurang mampu yang ditolak oleh pihak rumah sakit karena dianggap tidak mampu membayar jaminan ataupun biaya perawatan yang telah ditetapkan rumah sakit.

Angka pertumbuhan ekonomi yang bergerak diangka 4,3 % pada tahun 2009 tentu tidak akan pernah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembukaan lapangan pekerjaan baru di Indonesia. Sebaliknya, laju inflasi yang selalu diatas angka 6 persen akan memberikan implikasi nyata terhadap perampasan upah buruh dan kaum pekerja lainnya. Penetapan kenaikan upah buruh oleh pemerintah yang dilakukan setiap tahunnya juga tanpa pernah mau memperhatikan laju inflasi ini.

Ditengaj krisis umum imperialisme yang sedang terjadi, bukannya menjawab persoalan rakyat Indonesia, pemerintah justeru mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyelamatkan asset milik imperialisme dan kaki tangannya dari kehancuran akibat krisis tersebut. Misalnya saja programbail out danbuy back terhadap saham-saham beberapa perusahaan milik borjuis komparador yang terancam bangkrut, seperti yang terjadi pada kasus dana bail out Bank Century yang menghabiskan anggaran sebesar 6,7 trilliun. Kondisi ini sama ketika krisis yang dihadapi pada tahun 1997 yang mana BLBI kemudian dikorup oleh para borjuis komparador dan kapitalis birokrat. Keberadaan KPK dan berbagai institusi penegakkan hokum lainnya, hanya akan menjadi pajangan yang mampu mengatasi kasus-kasus korupsi dalam skala kecil, sebab korupsi sudah merupakan watak dasar dari kapitalis birokrat.

Seperti tidak peduli sama sekali dengan penderitaan rakyat, pada bulan Desember 2009 para menteri dan pejabat tinggi menerima bonus mobil mewah seharga Rp 1,3 miliar, jika pejabat yang menerima sebanyak 150 orang maka uang yang dikeluarkan untuk membeli mobil dinas tersebut lebih dari Rp 195 milliar.

II. Siapa Musuh Rakyat dan Siapa Sahabat Rakyat.
Setelah memahami karakter masyarakat Indonesia, maka tugas kita adalah melakukan perjuangan untuk melahirkan perubahan sosial yang lebih baik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami siapa musuh (sasaran) dan siapa kawan yang harus dilibatkan dalam perjuangan demokratis nasional. Berikut adalah penjelasannya.

A. Tiga Musuh Besar Rakyat Indonesia.
Dari penjelasan tentang karakter Indonesia sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal, maka dapat disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) musuh rakyat Indonesia yang menyebabkan kemorosotan hidup yang sangat dalam dari rakyat Indonesia. Tiga musuh tersebut adalah :

1. Imperialisme Pimpinan Amerika Serikat (AS)
Imperialisme AS saat ini menjadi kekuatan kapitalisme monopoli Internasional yang paling kuat dan memegang peranan memimpin di antara kekuatan-kekuatan imperialisme dunia yang lain seperti Inggris, Jerman, Jepang dan Cina. Kekuatan ekonomi politik imperialisme AS menjadi segi yang berdominasi di dunia melalui lembaga-lembaga multinasional yang dikendalikan oleh AS seperti International Monetery Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO) dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Kelembagaan dunia tersebut menjadi instrumen bagi AS untuk memaksakan kebijakan-kebijakan ekonomi politik imperialisme kepada negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Seperti misalnya IMF bertindak sebagai lembaga keuangan yang memastikan skema penyesuaian struktur ekonomi politik berdasarkan kepentingan AS melalui mekanisme hutang luar negeri yang menjerat. Sementara WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang bertugas menjamin pelaksanaan liberalisasi perdagangan yang akan lebih menguntungkan bagi negeri imperialis khususnya AS. Demikian juga PBB menjadi organisasi internasional yang setiap waktu dapat digunakan oleh imperialis AS untuk mengesahkan kebijakan-kebijakannya, seperti yang baru-baru ini terjadi ketika AS melakukan agresi imperialisnya ke Irak.

Imperialisme AS adalah musuh utama bagi seluruh bangsa khususnya di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Sejarah mencatat bagaimana imperialisme AS mendukung klas-klas reaksioner lokal di berbagai belahan dunia untuk melakukan penindasan terhadap massa rakyat di negeri-negeri tersebut. Dan itu terbukti misalnya dengan dukungan AS terhadap rezim anti rakyat di benua Asia seperti rezim Indonesia, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Nepal, dan Paskitan. Demikian juga di benua Afrika seperti di Kongo, Mozambik, Chad, Guinea Khatulistiwa, Sudan, Camerun, Republik Demokratik Kongo, dan Zaire. Sementara di Amerika Latin seperti di Argentina, Meksiko, Chili, Peru, Urugay, Kolombia, Puertorico, Bolivia, Honduras, Elsalvador. Dan memiliki pengaruh kuat terhadap beberapa rezim reaksioner di negara-negara lainnya. Negara-negara di kawasan Eropa Timur yang telah runtuh dan menempuh jalan revisionis modern, hari ini juga tunduk pada kekuatan Amerika Serikat serta menjadi anggota NATO.

Amerika Serikat terlibat dalam pembangunan komplek industri militer di negaranya sendiri dan di berbagai negara. Melakukan ekspor peralatan militer dengan teknologi tinggi ke seluruh dunia. Amerika adalah pemimpin pasar dalam seluk beluk industri persenjataan. Komplek industri militer adalah komponen utama politik luar negeri Amerika dalam melakukan agresi imperialisnya. Di samping itu Amerika membangun pangkalan militer di hampir seluruh negara jajahan, setengah jajahan dan sekutu imperialisnya sejak berakhirnya perang dunia kedua. Dengan politik Pintu Terbuka untuk membendung perkembangan kemerdekaan nasional di berbagai belahan dunia dan mencegah perjuangan pembebasan nasional di berbagai negara jajahan dan melakukan politik konfrontasi dengan kubu Sovyet di bawah pimpinan Joseph Stalin. Sekarang setelah keruntuhan rezim revisionis modern dibekas kubu sosialis mereka menampilkan politik konfrontasi perang agresi dengan dalih perang anti terorisme. Ini akibat dari krisis kapitalisme monopoli yang ada di dalam negeri Amerika Serikat dan kapitalisme monopoli dunia akibat over produksi barang-barang manufaktur berteknologi tinggi dan defisit anggaran belanja akibat politik konfrontasi dan agresi mereka secara militer di masa lalu. Imperialis Amerika Seikat adalah macan kertas yang menggali liang kuburnya sendiri!

Rakyat Indonesia sejak Rezim Boneka Imperialis Suharto berkuasa telah merasakan secara kongkrit penindasan dari imperialisme ini. Perusahaan ekplorasi minyak Amerika Caltex dan Stanvac mulai menggali bumi Indonesia, mengiringai langkah perusahaan Goodyear dan US Rubber, perusahaan Amerika yang bergerak dalam mengolah karet alam. Untuk melapangkan jalan perusahan-perusahaan tersebut para negara imperialis di bawah pimpinan Amerika membangunInter Government Group on Indonesia (IGGI) atauConsultative Group on Indonesia (CGI) sekarang, sebuah persatuan negara donor yang bertujuan mengikat Indonesia agar tunduk pada kemauan mereka. Donor tersebesar di peroleh dari Amerika Serikat dan Jepang, ini logis dengan berkembang pesatnya perusahaan-perusahaan besar kedua negara tersebut di Indonesia.International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1967 telah memberikan bantuan kepada Indonesia sebesar $51 juta. Pada pada tahun yang sama IGGI memberikan utang sebesar $200 juta.Jumlah ini terus meningkat, pada tahun 1968 mereka memberikan utang baru sebesar $325, sebagian besar digunakan untuk stabilitas.

Keadaan hari ini tidak jauh berbeda. Rakyat Indonesia tetap merasakan penindasan yang sama, di tengah-tengah kekayaan yang melimpah ruah yang diperoleh oleh perusahaan Asing tersebut. Freeport Indonesia tambang Amerika yang berpusat di New York, yang beroperasi di Papua sejak awal Orde Baru, telah menghancurkan dua gunung besar yang menjadi kebanggaan nasional, akan tetapi rakyat Papua tetaplah sukubangsa minoritas, terasing dan terbelakang di tanahnya sendiri. Exon Mobil Oil dan Santa Fe di Cepu dan Bojonegoro, beroperasi dan mengeruk keuntungan besar karena konsesi yang penuh KKN dengan Rezim Boneka Imperialis dalam negeri, rakyat hanya bisa melihat mobil bagus melintas lalu lalang, dan sekonyong-konyong daerahnya berunah ramai, harga barang dan jasa naik, angka kriminalitas meningkat, karena menurunnya daya hidup. New Mont Indonesia sebuah perusahaan tambang emas Amerika, yang beroperasi di Kalimantan, Sulawesi dan NTB keadaannya sama saja. Kesenjangan antara pendapatan ekspatriat asing dengan buruh Indonesia dengan jabatan yang sama menjadi bom waktu yang setiap saat akan meledak. Demikian juga telah membuat nelayan-nelayan di Selat Alas kehilangan mata pencaharian karena limbah bawah laut telah menghancurkan terumbuh karang dan membunuh ikan-ikan yang ada diperairan tersebut.

Penindasan ini menjadi kian panjang dengan masuknya mereka ke dalam pertanian rakyat, melakukan konsolidasi tanah dengan sistem Pertanian Kontrak, menyewa tanah petani dengan masa waktu yang panjang, 25 hingga 30 tahun, untuk menanam kapas dan jagung serta beberapa tanaman lain yang menguntungkan mereka. Petani akan menjadi buruh tani sepanjang waktu itu dan mereka akan mengeruk keuntungan tanpa batas.

2. Feodalisme
Sejak bangsa asing melakukan ekploitasi di Indonesia pertama kali, baik VOC, Sistem Tanam Paksa, dan masa neo-kolonialisme, kaum feodal-tuan tanah adalah pendukung mereka yang paling setia bersama-sama dengan borjuasi komprador. Artinya tidak ada imperialisme yang begitu kuat di Indonesia tanpa dukungan dari mereka.

Feodalisme intinya adalah monopoli penguasaan tanah dan alat kerjanya berada di tangan tuan tanah, mereka tidak berpartisipasi dalam produksi karena mempekerjakan buruh tani, petani miskin dan petani sedang bawah, akan tetapi keuntungan terbesar hasil produksi diambil oleh mereka untuk keperluan hidupnya. Mereka menindas para pekerja dengan cara bagi hasil (maro, mrapat, mretelu), dan juga menggunakan sistem borongan dan upah yang sangat rendah. Meskipun sistem dunia hari ini adalah dominasi kapitalisme, akan tetapi di Indonesia perkembangan kapitalisme hingga imperialisme sebagai bentuk perkembangannya yang paling akhir, feodalisme di Indonesia menjadi basis sosial yang membuat imperialis berdominasi. Feodalisme telah membantu imperialisme sehingga dapat mengambil tanah rakyat dengan mudah, mobilisasi tenaga kerja murah dan memperoleh bahan mentah untuk kepentingan industri kapitalis dengan murah dan melimpah.

Betul bahwa di Indonesia kepemilikan tanah perseorangan yang sangat luas oleh tuan tanah, secara kwantitas tidak lagi sebesar zaman VOC atau Sistem Tanam Paksa, di mana para bangsawan dan tuan tanah desa masih sangat berdominasi. Akan tetapi data hari ini menunjukkan bahwa penguasaan tanah masih terkonsentrasi pada: pengusaha-pengusaha perkebunan negara maupun perseorangan, di tangan institusi militer, di tangan pengusaha-pengusaha pemegang HPH dan HGU secara korupsi, kolusi dan nepotisme, ditangan pemodal yang mengkonsolidasikan tanah petani dengan cara sewa dan kontrak jangka panjang, di tangan perseorangan pemegang hak absentee, tuan tanah desa penguasa tanah luas di luar batas maksimum menurut Undang-Undang Agraria 1960, dan semua tuan tanah pemilik tanah luas dan tidak berpartisipasi (mempekerjakan orang lain) dalam produksi akan tetapi mengeruk keuntungan yang besar dan bergantung hidupnya dari penguasaan tanah tersebut. Mereka adalah kaum yang kemudian disebut tuan tanah dalam kenyataan hari ini, pada zaman setengah feodal, di bawah dominasi imperialisme. Demikian pula klas-klas parasit lain yang mengikuti setengah feodal ini juga masih banyak kita jumpai mereka adalah: Para lintah darat (bank perkreditan) yang meminjamkan uang dengan bunga yang mencekik leher petani, Tukang Ijon dan tengkulak besar yang pada hakekatnya borjuasi komprador dan tuan tanah (penebas dan pengepul besar) yang memainkan harga hasil produksi petani.

3. Kapitalisme Birokrat ( Kabir )
Kapitalisme birokrasi, pada dasarnya adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh kaum birokrat karena memegang simpul-simpul kekuasaan untuk diri sendiri dan keluarga, dan klik kekuasaannya dengan memberikan fasilitas dan sumber daya terutama ekonomi kepada mereka karena mendukung posisinya di birokrasi. Dalam kakuasaan politik Indonesia perkembangan klas kapitalis birokrat ini bertumbuh dengan pesat dari hari ke hari. Sepanjang kekuasaan rezim-rezim boneka imperialis mulai Suharto hingga Megawati tercatat banyak sekali lembaga-lembaga negara yang baru dibentuk, baik karena gagasannya sendiri maupun untuk merenspon kritik rakyat. Misalnya Lembaga untuk pemberantasan korupsi, pengawasan persaingan usaha, dsb. Sejatinya, lembaga-lembaga tersebut hanya diperuntukkan untuk menampung teman-teman sejawatnya, keluarga dan kolega-kolega lainnya yang tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan pekerjaan, sekaligus untuk membangun sumber legitimasi politik baru.

Bentuk lain dari kapitalis birokrat ini adalah perangkapan jabatan. Di Indonesia sudah dianggap biasa seorang yang mempunyai jabatan menteri, panglima militer, gubernur, bupati hingga camat dan kepala desa, juga memegang beberapa jabatan lainnya, dengan tujuan agar prestise organisasi atau sumber keuangannya terjamin.

Kesemua bentuk yang dipaparkan tersebut adalah praktek yang paling nyata dari kapitalis birokrat yang menjadi musuh rakyat Indonesia. Mereka tidak pernah dengan sungguh mengurus persoalan rakyat, akan tetapi lebih banyak mengurus persoalan pribadi dan klik kekuasaannya.Dan hal seperti itu masih berlangsung dengan skala yang semakin luas, terbuka dan tanpa malu-malu. Beberapa bentuk pokok dari kapitalis birokrat hari ini :
  1. Melakukan tindakan korupsi, menerima pemberian dari siapapun diluar gaji yang seharusnya, meminta imbalan tanda tangan, meminta bagian dari proyek pemerintah maupun swasta diluar ketentuan untuk diri sendiri. Temasuk memberikan proyek kepada keluarganya, teman-temannya, dan klik kekuasaan yang mendukungnya tanpa melalui tender terbuka.
  2. Melakukan politik uang untuk memperoleh sebuah jabatan politik di pemerintahan.
  3. Membuat lembaga negara baru, dengan berbagai fasilitas akan tetapi tidak berfungsi. Hal ini hanya memboroskan keuangan negara.
  4. Membuat lembaga baru dengan mengangkat keluarga, teman-temannya, dan klik politiknya dengan maksud membuat sumber legitimasi politik baru.
  5. Pejabat sipil maupun militer melakukan perangkapan jabatan, terutama dalam pemerintahan sendiri, menjadi komisaris di perusahaan-perusahan negara dan swasta, serta di berbagai organisasi sosial, olahraga dengan maksud membiayai organisasi tersebut untuk memperoleh dukungan politik.
  6. Melakukan sogok atau suap untuk kenaikan pangkat kepada atasan.
  7. Menggunakan fasilitas dinas untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan klik kekuasaannya (partai, golongan dll), di luar kepentingan dinas.
  8. Memberikan bintang pernghargaan dan jasa kepada keluarga, teman dan klik kekuasaannya tanpa pertimbangan yang jelas.
  9. Menjalankan bisnis dengan memanfaatkan jabatannya sebagai pimpinan, menjadi beking bagi siapa saja yang bisa membayar.
  10. Menggunakan jabatan untuk memaksa bank untuk memberikan kredit kepada pihak tertentu dan dia mendapat bagian dari kredit tersebut.
  11. Serta beberapa bentuk lain yang semakin canggih dan berkembang dari waktu ke waktu, mencuri uang negara dan fasilitas negara untuk kekayaan pribadi serta klik yang mendukungnya (partai, kelompok, gang, bandit, dll) bertahan di jabatan tersebut dalam pemerintahan.
Secara hakekat dalam bentuk perkembangan lainnya, militerisme dan fasisme adalah bagian dari penyalahgunaan kekuasaan ini yang secara politik, budaya, dan militer menindas rakyat. Sejarah para birokrat sipil dan militer mempunyai pertalian erat dengan politik, budaya, dan militer imperialis yang secara prinsip adalah fasis dan ultra-nasionalis karena menjajah negeri lain untuk kepentingan negerinya sendiri. Pada tingkatnya yang sekarang fasisme-imperialis AS melakukan perang agresi di berbagai belahan dunia, sedangkan pemerintahan reaksioner boneka imperialis Indonesia melaksanakan fasisme untuk menindas rakyatnya sendiri demi kepentingan tuan imperialisnya.

B. Sahabat Rakyat
Setelah mengenal siapa musuh rakyat, kita harus mengenal siapa sahabat rakyat. Sahabat rakyat adalah klas, sektor/golongan yang berkepentingan untuk menghancurkan penindasan musuh-musuh rakyat (imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat).

1. Klas buruh Indonesia.
Klas buruh Indonesia adalah klas dalam masyarakat Indonesia yang termasuk paling merasakan penindasan dalam masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Klas buruh Indonesia lahir sejak diberlakukannya kebijakan agrarische wet yang berdampak pada perampasan tanah kaum tani secara besar-besaran dan pembangunan industri milik borjusai asing yang dengan rakusnya mengeruk kekayaan alam Indonesia.

Berbeda dengan klas buruh di negeri-negeri imperialisme, klas buruh di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia, mengalami penindasan yang berlipat ganda. Sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal, kedudukan industri Indonesia hanya sebatas industri manufaktur yang menggunakan teknologi yang sederhana dan tidak memiliki industri dasar. Hal ini dikarenakan orientasi dari industri di Indonesia yang sebatas untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi kepentingan imperialis, khususnya imperialis Amerika Serikat. Sementara untuk memenuhi kebutuhan nasional, dipenuhi dengan cara mengimport hasil produksi industri negeri-negeri imperialis. Beberapa industri yang dinilai cukup canggih seperti industri kendaraan bermotor, industri elektronik, dan beberpa lainnya, hanya terbatas pada perakitan dengan bahan baku tetap berorientasi import dari negeri-negeri imperialis.

Dengan demikian, akumulasi keuntungan yang sangat besar imperialis dari industri-industri di negeri-negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia, tidak didapatkan dari penggunaan teknologi canggih yang mampu meningkatkan produktifitas yang tinggi sehingg mendapatkan akumulasi yang besar-besaran. Melainkan dari penggunaan tenaga kerja dengan upah yang sangat murah dan penambahan jam kerja yang jauh melebihi jam kerja yang telah ditentukan. Disatu sisi, untuk semakin menghemat biaya produksi, mereka menggunakan sistem kerja kontrak dan outsourching untuk tidak memberikan hak-hak sosial ekonomi buruh lainnya, seperti jaminan sosial tenaga kerja, pesangon PHK, serta keadaan kerja yang buruk yang mencakup kesehatan, keamanan, dan kesematan kerja.

Itu sebabnya, ditengah krisis umum imperialisme yang sedang terjadi saat ini, klas buruh Indonesia terus mengalami kemerosotan hidup yang sangat parah karena dijadikan sebagai tumbal untuk menyelamatkan imperialisme dari krisis yang dialaminya. Misalnya dengan diberlakukannya sistem kerja kontrak yang semakin memberikan peluang besar bagi imperialis dan kaki tanganya untuk tidak memberikan jaminan upah, jaminan kesejahteraan sosial, dan PHK yang dilakukan semau-maunya.

2. Kaum tani Indonesia.
Demikian halnya dengan kaum tani Indonesia. Sebagai negeri dengan karakter setengah jajahan dan setengah feodal, tetap mempertahankan bentuk penindasan dan penghisapan yang primitif melalui monopoli atas tanah yang melahirkan perampasan tanah-tanah kaum tani secara paksa melalui instrusmen pemerintahan kaki tangan untuk kepentingan imperialisme dan feodalisme.

Kaum tani Indonesia yang berjumlah 65% dari total penduduk Indonesia, lebih dari 50% menggantungkan hidupnya pada luas lahan yang kurang dari 0,5 Ha dengan penghasilan kurang dari Rp. 5.000/hari untuk satu rumah tangga pertanian. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketimpangan penguasaan lahan pertanian. Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, dari 9 perusahaan perkebunan, menguasasi lahan seluas 7,9 juta Ha, sementara jumlah luas lahan yang telah diberikan ijin seluas 9,7 juta Ha, dan masih ada 18 juta Ha yang akan diberikan ijin pengelolahannya. Artinya bahwa, pemerintah sama sekali tidak berpihak kepada pertanian skala kecil milik mayoritas kaum tani Indonesia.

Akibat monopoli tanah pertanian secara besar-besaran tersebut, telah melahirkan ketimpangan kepemilikan tanah, yang mana sebagian besar kaum tani Indonesia memiliki luas tanah yang sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan tidak memiliki tanah sama sekali. Hal ini telah melahirkan praktek sewa tanah. Klas tuan tanah memberlakukan harga sewa tanah yang sangat menindas kaum tani Indonesia.

Riba lahir karena buruh tani, tani miskin dan tani sedang bawah tidak pendapatan yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya dipedesaan dan juga untuk berproduksi. Riba yang terjahat adalah riba di mana para tuan tanah dan klas lainnya meminjamkan uang kepada kaum tani tersebut dengan keharusan membayar bunga yang tinggi dengan jaminan hasil, alat kerja, tenaga, dan terutama tanah dengan tanpa memperdulikan penen gagal atau tidaknya. Riba adalah cara klas tuan tanah dan juga tani kaya untuk memperluas tanahnya di pedesaan dan mempercepat akumulasi kapitalnya. Riba di Indonesia memiliki berbagai penamaan yang buruh di pedesaan seperti lintah darat, pembiak uang, tukang cekik, bank tetel dan lain sebagainya. Ia dibenci oleh kaum tani.

Selain itu juga, akibat dominasi imperialisme yang menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi hasil produksinya, telah menindas kaum tani Indonesia akibat import pangan yang masuk dengan bebasnya di Indonesia. Dengan demikian kaum tani Indonesia akan selalu mengalami kerugian akibat biaya produksi yang sangat mahal, semantara hasil produksi yang selalu anjlok akibat kebijakan import pangan.
Kaum tani Indonesia dibagi kedalam beberapa gologan; tani kaya, tani sedang (sedang atas, sedang menengah, sedang, bawah, tani miskin). Lahitnya golongan dala tubuh kaum tani ini merupakan dampak secara langsung atas berlangsungnya sistem setengah feodal yang didominasi oleh imperialisme.

3. Klas borjuis sedang dan borjuis kecil.
Selain klas buruh dan kaum tani, terdapat juga lapisan klas dalam masyarakat Indonesia yang juga mengalami penindasan akibat dominasi imperialisme dan feodalisme, yakni klas borjuis sedang dan borjuis kecil.

Borjuasi sedang adalah borjuasi yang mandiri dari modalnya sendiri secara relatif. Mereka juga membutuhkan industri dan pasar nasional untuk mengembangkan usaha mereka. Namun mereka juga didesak oleh kepentingan imperialisme, borjuasi besar, dan tuan tanah besar. Keadaan ini yang membuat mereka bersikap bimbang dengan perubahan terhadap Indonesia yang setengah jajahan dan setengah feodal. Mereka sebenarnya membutuhkan perubahan untuk berkembang namun mereka bukan kekuatan politik mayor di Indonesia. Kebimbangan mereka hanya bisa dipecahkan menjadi kepercayaan diri bila dilibatkan oleh gerakan massa demokratis nasional dalam perjuangan demokratis nasional.

Borjuasi kecil. Kalangan ini termasuk klas borjuasi walaupun mereka terkadang terlibat langsung dalam pekerjaan produksi. Ini dikarenakan modal mereka sangat kecil atau bahkan tidak mempunyai modal uang (hanya keahlian tertentu saja). Kalangan ini berkepentingan untuk mengembangkan modal dan keahliannya, akan dihambat dan mereka harus tunduk pada kepentingan imperialisme, borjuasi besar, dan tuan tanah. Ini yang membuat sebagian terbesar klas borjuasi kecil juga tertindas dan terhisap oleh sistem setengah jajahan dan setengah feodal. Mereka sangat menginginkan perubahan yang mendasar dari Indonesia yang setengah jajahan dan setngah feodal.

Pemuda mahasiswa termasuk dalam kalangan borjuis kecil. Karakter negeri yang setengah jajahan dan setengah feodal telah berdampak pada kehancuran tenaga produktif pemuda mahasiswa. Sistem setengah jajahan dan setengah feodal telah menyebabkan pendidikan tinggi menjadi sangat mahal sehingga sangat susah diakses oleh rakyat. Demikian pun tidak berkualitas sehingga tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Pendidikan yang sangat mahal dan tidak berkualitas tersebut dikarenakan tidak ada kepentingan dari imperialisme dan feodalisme untuk memajukan tenaga produktif rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia diorientasikan sebatas menjadi tenaga kerja murah dan pasar bagi hasil produksi industri imperialisme. Oleh karena itu, pemuda mahasiswa sangat berkepentingan untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme untuk menciptakan system pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.

4. Sektor dan golongan khusus.
Selain klas buruh, kaum tani, dan klas borjuis kecil juga terdapat sektor/golongan khsusus dalam masyarakat Indonesia yang juga mengalami penindasan dalam sistem setengah jajahan dan setengah feodal. Sektor/golongan khusus tersebut, antara lain sektor pemuda, perempuan, dan suku bangsa minoritas.

Pemuda. Dari total penduduk Indonesia, pada tahun 2008, jumlah pemuda Indonesia mencapai lebih dari 82,2 juta jiwa. Usianya yang berkisar 15-35 tahun menjadi pemuda sebagai tenaga yang sangat produktif dan dengan tingkat mobiitas yang sangat tinggi. Dengan demikian, pemuda memiliki masa depan yang cerah. Akan tetapi, dalam penindasan setengah jajahan dan setengah feodal, pemuda Indonesia mengalami persoalan umum tidak berpendidikan dan tidak menapatkan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai.

Perempuan. Dalam sistem setengah jajahan dan setengah feodal, kaum perempuan mengalami penindasan berlipat ganda. Di lapangan ekonomi, adanya diskriminasi jenis kelamin dalam kerja produksi. Misalnya sistem pengupahan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan tidak dipenuhinya hak natural kaum perempuan seperti haid, hamil, dan melahirkan. Dilapangan politik, pemerintahan Rezim Boneka Imperialis telah menghambat keterlibatan kaum perempuan dalam gelanggang politik untuk memperjuangkan hak-hak dan pembebasannya. Presiden Megawati (walaupun seorang kepala negara perempuan pertama di Indonesia) bukanlah wakil dari kaum perempuan Indonesia (terutama dari kelas buruh, kaum tani, dan Rakyat pekerja lainnya). Karena dia tetap merupakan pelayan dan boneka yang mengabdi kepeda imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, dan hanya mementingkan kepentingan kelasnya semata. Sementara di lapangan budaya, warisan lama ideologi feodal-patriarkal tidak hilang bahkan semakin menguat dan bercampur dengan budaya liberal imperialis yang reaksioner. Kebudayaan mencerminkan bangunan bawah yang berdominasi, sehingga kebudayaan yang ada dan dipertahankan oleh rezim ini mengabdi kepada kepentingan ekonomi-politik imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.

Suku bangsa terasing. Yang dimaksudkan dengan suku bangsa terasing adalah suku bangsa yang tersingkirkan, terisolisasi, dari hubungan produksi yang berdominasi. Misalnya saja suku bagsa yang ada di Papua, sekalipun ada perusahan besar milik imperialisme ASFreeport yang sejak lama telah mengeruk kekayaan alam di Papua, akan tetapi keadaan suku bangsa di Papua masih saja terbelakang.

III. Karakter Perjuangan Demokratis Nasional.
Karakter perjuangan rakyat saat ini adalahPerjuangan Demokratis Nasional. Yaitu perjuangan bersifatDemokratisuntuk menghancurkan secara politik dan ekonomi serta budaya penindasan Feodalisme.Bersifat Nasional untuk menghancurkan secara politik, ekonomi dan budaya dari penghisapan Imperialisme. Perjuangan demokratis nasional adalah perjuangan yang dilandasi adanya persamaan kepentingan antara klas buruh, kaum tani dengan klas burjuasi (kecil dan menengah) untuk menumbangkan feodalisme sebagai syarat untuk mendapatkan kebebasan, baik dari penindasan feodalisme maupun dari imperialisme.

Bagikelas buruh, feodalisme (yang didominasi oleh imperialisme) adalah sistem yang mencengkeram kebebasan berorganisasi sebagai syarat pokok untuk mendapatkan kesejahteraan. Bagikaum tani, adalah untuk mengakhiri penghisapan feodalisme terhadap kaum tani, seperti memberi upeti dalam bentuk hasil tanaman, kerja, maupun tenaga. Sementaraklas burjuasi menengah nasional, keterlibatan dalam perjuangan demokratis nasional adalah untuk menghapuskan kekuasaan feodalisme guna membebaskan pasar dari dominasi imperialisme. Oleh karenanya, tujuan utama perjuangan demokratis nasional adalah untuk menciptakan masyarakat di mana tidak ada penekanan atas kemajuan tenaga produktif, sekaligus mengukuhkan identitas kebangsaan yakni identitas masyarakat yang mandiri dan bersatu secara teritori, ekonomi, bahasa, dan karakter nasional.
Bersatulah seluruh rakyat tertindas !!!

[i] Perlu diketahui setiap tahapan atau fase perkembangan masyarakat pasti memiliki puncak dan puncak tersebut awal dari kehancuran dan bergantinya fase yang baru, seperti pada fase perbudakan di dunia romawi merupakan puncak dari perbudakan di eropa, mesir merupakan puncak dari perbudakan di Afrika bagian utara-tengah, persia di asia barat, mongol di asia timur, dan maya-aztec di amerika tengah. Sedangkan fase feodalisme, di eropa barat ada Perancis, Spanyol dan Inggris, di Asia timur ada China dan Jepang, di Asia Barat ada konstatinopel. Akan tetapi, tidak semua wilayah di dunia mengalami tahap kapitalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Perjuangan Massa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger