History of FMN - Perjuangan Massa
Headlines News :
Home » » History of FMN

History of FMN

Written By Unknown on Sabtu, 21 September 2013 | 05.08


History of Front Mahasiswa Nasional
(Part 1 - 4)



Front Mahasiswa Nasional, organisasi yang sedang kita bangun, yang kini sedang mengepakkan sayapnya dan bercita-cita menjadi organisasi alat perjuangan mahasiswa, dibangun oleh historis yang panjang. Dalam organisasi kita, hanya sedikit anggota yang mengetahui sejarah dialektika perjalanan FMN. Pengetahuan tentang dialektika panjang FMN yang belum diketahui secara merata di organisasi ini, menimbulkan tidak semua anggota mampu mencatat secara komprehensif kelemahan-kelemahan dan kemajuan-kemajuan apa saja yang telah didapatkan oleh FMN selama ini. Praktek yang selama ini sangat kaya dari FMN masih berserak-serak, belum terkumpul secara sistematis menjadi sebuah catatan yang komprehensif. Harapannya dengan sedikit paparan ini kita mampu berpikir kongkrit dari materi yang kongkrit dalam praktek organisasi ke depannya.

Atas dorongan itulah, Pimpinan Pusat FMN kembali mengumpulkan berbagai catatan sejarah dalam bentuk apa pun untuk disajikan menjadi sebuah catatan praktek berorganisasi dan berjuangnya para mahasiswa yang tergabung dalam FMN sejak dulu. Dengan segala keterbatasan data, memori dan praktek, dengan segala kerendahan hati, kami persembahkan untuk seluruh anggota FMN, tanpa bermaksud mendongeng atau menggurui, tapi untuk menjelaskan  apa saja catatan yang bisa diambil dari praktek perjuangan gerakan mahasiswa, khususnya FMN. Yang positif tentu akan kita ambil, pertahankan, bahkan kita kembangkan. Yang buruk kita buang jauh-jauh, dimengerti agar tidak terjadi untuk kedua kalinya. Berusaha mengenalkan kepada anggota tentang materi yang sedang bergerak menuju cita-citanya.

FMN, dalam jejak langkahnya, pernah mengalami surut, stagnasi, sampai pasang. Bagaimana FMN bergerak dalam fase demi fase, dan catatan apa saja yang bisa kita ambil, marilah kita simak.

Fase Membangun Embrio Pergerakan Nasional (1995 -1997)

Akhir tahun 80-an, setelah kelompok studi tidak mampu lagi menjadi wadah yang efektif untuk memperjuangkan kepentingan mahasiswa dan melawan tirani rezim, para mahasiswa yang berpikir patriotis dan demokratis kemudian mentransformasikan bentuk organisasinya dan berhimpun dalam wadah serikat-serikat mahasiswa. Akhir tahun 80-an hingga awal tahun 90-an adalah masa dimana serikat-serikat mahasiswa muncul sebagai alternatif bentuk organisasi yang maju pada waktu itu.
Dalam skala nasional tercatat, beberapa organisasi mahasiswa pernah terbentuk waktu itu, diantaranya adalah Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang muncul dengan identitas nasionalnya. Namun, umur kedua organsiasi ini tidak bertahan lama seiring dengan dialektikanya. Di luar konsolidasi organisasi nasional tersebut, masih banyak berserakan organisasi gerakan mahasiswa tingkat lokal ataupun kampus. Organisasi yang berserakan dan di luar konsolidasi FAMI dan SMID inilah, beberapa diantaranya kemudian membentuk jaringan nasional pada tahun 1995. Jaringan nasional inilah yang merupakan embrio dari terbentuknya pokja Forum Mahasiswa Nasional.

Di masa rezim otoriter Soeharto, serikat-serikat tersebut semuanya menggunakan langgam kerja semi-legal, yaitu menggabungkan antara kerja bawah tanah atau tertutup dengan kerja legal. Langgam ini dipandang cocok dengan situasi obyektif rezim yang represif. Bekerja tidak hanya mengorganisir mahasiswa, tapi juga sekaligus rakyat. Untuk perjuangan dan kampanye terbukanya, dibentuklah komite-komite aksi. Komite-komite aksi mahasiswa inilah, harus diakui, merekalah yang mengambil peranan memperjuangkan kepentingan mahasiswa di kampus dan rakyat secara luas, bahkan menggulingkan rezim otoriter Soeharto. Dapat kita lihat dengan letupan–letupan perjuangan yang terjadi di beberapa daerah, seperti aksi anti kenaikan biaya angkot yang berujung pada tewasnya 2 mahasiswa di Makassar tahun 1996, di Bandung dan Jakarta aksi Golput pada pemilu 1997, aksi anti SDSB, aksi anti Suharto di Jerman, dan berbagai aksi rakyat lainnya seperti pemogokkan buruh, anti penggusuran, aksi solidaritas petani Kedung Ombo, dan lain sebagainya.

Di bawah bayang-bayang rezim militeristik Soeharto, kemudian terbangun kesadaran akan pentingnya alat perjuangan mahasiswa berskala nansional. Serikat–serikat mahasiswa di berbagai kota kemudian menjalin kontak dan meningkatkan pembicaraan untuk membangun organisasi mahasiswa nasional. Dimulai dari pertemuan–pertemuan informal, diskusi antara pimpinan serikat, aksi bersama, dan serangkaian kegiataan bersama. Hingga pada akhirnya tahun 1997 lahirlah nama Forum Mahasiswa Nasional (FMN) sebagai identitas dari pokja yang dibangun.


Fase Menghimpun Kekuatan untuk Berjaringan (1997-1998)

Tahun 1997 merupakan tahun bersejarah bagi FMN. Pada tahun ini, di Bandung berkumpul perwakilan komite aksi mahasiswa dari lima kota, yaitu dari Bandung, Yogyakarta, Malang, Jombang dan Surabaya. Dari lima kota inilah, kemudian lahir kesepakatan untuk membentuk sebuah jaringan nasional gerakan mahasiswa yang kemudian disebut dengan Forum Mahasiswa Nasional (FMN). Ditunjuk Zulkarnaen atau yang akrab dipanggil Ijul (dari Bandung) sebagai koordinator FMN. Program yang dibuat waktu itu masih sebatas bagaimana membuat kurikulum pendidikan bersama, komunikasi antar kota dalam hal pendidikan kader, serta mengajak komite aksi dari kota lain untuk bergabung dalam FMN.

Tidak jarang kita mendengar pertanyaan dari anggota di era sekarang, jaringan FMN sudah ada sejak tahun 1997 dengan berbasis komite-komite aksi mahasiswa yang ikut ambil peranan aktif dalam penggulingan rezim Otoriter Soeharto, namun mengapa FMN tidak muncul identitasnya atau terlihat kepemimpinannya terhadap gerakan massa mahasiswa ketika itu. Seperti dijelaskan diatas,  FMN ketika itu secara hakekat masih sebatas jaringan antar kota. Masih sebatas forum komunikasi. Belum mempunyai kesamaan platform politik. Selain itu kepemimpinan organisasi yang dibentuk (yang disebut Pokja FMN) belum secara efektif menjalankan kepemimpinannya kepada kota-kota.

Kota-kota masih menggunakan platformnya sendiri-sendiri. Masih menggunakan identitasnya sendiri-sendiri. Dengan demikian, meskipun komite-komite aksi yang tergabung dalam jaringan FMN berperan aktif dalam membuka keran demokratisasi di era Soeharto, namun harus diakui pula, FMN belum tampil untuk memimpin gerakan massa mahasiswa Indonesia pada waktu itu.

Tahun 1998 Koordinator FMN diganti oleh Adul, perwakilan dari Bandung. Usaha menarik kota-kota baru untuk bergabung dalam FMN terus dilakukan. Hasilnya Serikat Mahasiswa Bandar Lampung (SMBL) tahun 1998 bergabung dalam FMN kemudian disusul dengan Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM) kota Mataram pada tahun 1999, Dan Front Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (FMKR) Palembang tahun 2000 bergabung dalam FMN. Kita ucapkan salut untuk pokja nasional waktu itu yang berhasil mengembangkan basis jaringan FMN.

Fase Membagun Kesatuan Pandangan dan Kemudian Pecah lagi (1999-2000)

Kota demi kota bergabung dalam FMN, dari hari-ke hari semakin bertambah. Namun oleh karena mekanisme organisasi yang tidak memberikan saluran kritik secara terbuka atas praktek yang berbasis persatuan, maka tahun 1999 FMN mengalami perpecahan di beberapa basis. SMBL yang bergabung pada tahun 1998 mengundurkan diri pada tahun 1999. Di tahun yang sama Serikat Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR) yang merupakan basis pokja FMN di Yogyakarta mengalami perpecahan hingga berujung bubarnya SMKR. Perpecahan juga diikuti oleh Forum Studi Ekonomi politik (FORSTEP) Malang mengalami hal yang sama. Begitu juga dengan Komite Mahasiswa untuk Perjuangan Rakyat (KMPR) Jombang, satu basis kampus mengundurkan diri.  Dan beberapa kader Serikat Mahasiswa untuk Perjuangan Rakyat (SMPR)Surabaya mengundurkan diri.

Saluran mengkritik yang sangat kurang dan minimnya keterbukaan, telah memunculkan kecurigaan-kecurigaan antar kader, antar basis kampus, bahkan antar kota. Subyektifisme diutamakan dan persatuan organisasi yang dilandasi untuk kepentingan perjuangan bersama di nomorduakan. Komunikasi dan konsolidasi antar kota berjalan dengan lemah. Di masa inilah, FMN semakin tidak nampak dalam dinamika gerakan mahasiswa. Dibilang hidup namun tidak memperlihatkan gerakannya, dibilang mati pun tidak mau. Ini menjadi catatan penting untuk kita ke depan agar jangan terjadi lagi dikemudian hari.

Fase Membangun Kembali Semangat Berorganisasi untuk Maju (2000-2002)

Keadaan organisasi yang mengalami kemunduran di tahun 1999, melahirkan refleksi di banyak kader. Keinginan untuk membangun organisasi nasional tetap tertanam dalam diri kader di beberapa kota. Tanggal 31 Oktober 2001, di Bandung diadakan pertemuan pokja nasional FMN (Forum Mahasiswa Nasional) yang dihadiri oleh tujuh kota, yaitu : Lampung, Bandung, Yogyakarta, Solo, Jombang, Surabaya, dan Malang. Palembang dan Mataram tidak dapat hadir dalam pertemuan ini. Dari pertemuan ini ditunjuk Willy Aditya sebagai koordinator pokja FMN. Dari sinilah, sekali lagi ditekankan tentang perlunya membangun kembali organisasi skala nasional, setelah beberapa tahun mengalami stagnansi akibat perpecahan dalam organisasi. Dalam pertemuannya mulai digagas kembali prasyarat organisasi gerakan mahasiswa. Pertemuan ini selangkah lebih maju dari pertemuan-pertemuan sebelumnya karena sudah mulai dirancang prasyarat kuantitas dan kualitas FMN sebagai organisasi gerakan mahasiswa.

Tahun 2001, FMN mempunyai jaringan mahasiswa di Solo, Organisasinya bernama Merapi. Namun dalam perjalanannya Merapi ini tidak berkembang, bahkan mengalami banyak kemunduran. Aktifitas organisasinya tidak berjalan, hingga akhirnya Merapi bubar dengan sendirinya. Masalah utamanya adalah,pertama, di intern Merapi sendiri, yaitu para pemimpin organisasinya – karena ada problem subjektif —kurang mengkonsolidasikan pada kadernya. Kedua, problem arahan set-up organisasi yang lemah waktu itu. Di satu sisi FMN memberikan prasyarat kuantitas dan kualitas organisasi gerakan, namun disaat yang sama FMN waktu itu kurang memberikan panduan bagaimana mencapai prasyarat yang dimaksud, khususnya untuk basis baru yang belum punya tradisi membangun organisasi gerakan mahasiswa, seperti Merapi Solo.

Tahun 2001, di Yogyakarta dibuat modul pendidikan pertama nasional untuk menset-up organisasi. Modul pendidikan nasional dibuat secara bersama-sama untuk menyamakan pemahaman tentang peran posisi mahasiswa, garis perjuangan, hingga langgam pembangunan dan pengembangan organisasi di semua kota. Modul inilah yang kemudian digunakan secara nasional, menyatukan pemahaman tentang berorganisasi dan berjuang secara nasional.

Selanjutnya di kota yang sama, pada November 2002, diadakan Workshop Pembangunan Organisasi Nasional yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan kota FMN, yaitu Padang, Palembang, Lampung, Bandung, Yogyakarta, Purwokerto, Malang, Surabaya, Jombang, dan Mataram. Workshop diadakan di tengah keinginan yang semakin kuat untuk membangun organisasi massa berskala nasional yang memiliki kepemimpinan dan garis perjuangan yang tegas. Diadakan untuk menyampaikan kegelisahan dari kader-kader di semua kota atas praktek berorganisasi dan berjuang yang telah dijalankan. Di sinilah wacana mempersiapkan FMN menjadi sebuah organisasi massa (ormas) berskala nasional, yang menjadi alat perjuangan legalnya mahasiswa mengemuka. Selanjutnya, berpegang pada hasil workshop, sedikit demi sedikit dilakukan penyamaan langgam kerja dan standar pembangunan organisasi. Hasil workshop menjadi rujukan bagi pembangunan organisasi di kota-kota. Mulai tahun 2002 pula, pengenalan identitas Forum Mahasiswa Nasional di seluruh jaringan kota-kota dilakukan. Pengenalan simbol dan identitas ini memang tidak terjadi secara merata, namun secara bertahap dimulai dari organisasi tingkat Kota dengan nama Komite Kota.

Tetapi, ditengah semangat untuk merapatkan barisan dalam satu kepemimpinan, ternyata ide-ide maju tersebut masih mendapatkan ganjalan. Di Bandung, terjadi perpecahan organisasi tingkat kampus, yaitu KA-Unpad. Mereka yang memilih berada dalam barisan maju FMN menyatakan keluar dan menyatakan membubarkan KA-Unpad (walaupun tidak berhasil), dan sisanya adalah yang merasa bahwa KA-Unpad adalah organisasi yang harus tetap eksis. Kasus ini tidaklah terlepas dari campur tangan alumni yang merasa dengan adanya FMN maka kepentingannya akan terganggu. Berbagai macam alasan dikemukakan diantaranya bahwa FMN berideologi Marxisme-Leninisme, prinsip Sendem yang diterapkan adalah Sentralisme “Diem-diem”, dan hubungan dengan Pemuda. Perpecahan ini menyadarkan kita pada suatu teori, bahwa persatuan adalah relatif dan perjuangan adalah mutlak!

 Fase Bersatu dalam Satu Barisan (Mei-Desember 2003)

Kongres Pendirian atau yang sering kita sebut dengan Founding Kongres FMN tanggal 18 Mei 2003, di Balai Rakyat Utan Kayu Jakarta adalah satu tonggak kemajuan gagasan, dimana semangat perjuangan nasional mulai dipatri dalam diri anggota-anggota FMN. Tidak ada lagi perjuangan yang bersifat lokalistik dan terpecah-pecah. Seluruh komponen organisasi menyadari bahwasanya perjuangan nasional adalah kunci, dan bergabung dalam organisasi berskala nasional adalah jawaban dari kebuntuan pergerakan mahasiswa.

Inilah sumbangsih terbesar Pengurus Komite Pusat FMN saat itu yang harus dihargai.  Kita angkat topi untuk keberhasilan tersebut. Kolektif Komite Pusat FMN telah mengakhiri sekian banyak konsolidasi organisasi menjadi satu klimaks, yaitu dideklarasikanya FMN sebagai organisasi massa mahasiswa yang bersifat terbuka bagi seluruh massa mahasiswa Indonesia. Terlepas dari proses yang dilakukan memang belum secara demokratis, tapi kepeloporan ide dan kepemimpinan yang dibentuk waktu itu, mampu menangkap satu keresahan dikalangan anggota. Sebanyak 700 anggota FMN dari berbagai kota hadir dalam Kongres Pendirian organisasinya dan kemudian 740 orang anggota mengikuti aksi Nasional perdana FMN di Jakarta, di tempat pimpinan pusatnya berada. Seluruh tenaga, pikiran serta dana dicurahkan oleh seluruh anggota FMN. Bahu-membahu dari hampir semua kota, mereka datang langsung untuk mewujudkan satu keinginan membangun organisasi massa mahasiswa berskala nasional. Betapa progresif dan patriotiknya anggota dan kesadaran yang bergelora mendapatkan organisasi yang mereka tunggu.

Pada Founding Kongres itulah, semua level organisasi dilebur dalam satu identitas Front Mahasiswa Nasional, tidak ada lagi Forum Mahasiswa Nasional, tidak ada lagi FMKR Palembang, SMBL di Lampung, FIM Bandung, KIBLAT Yogya, KMPR Jombang, SMPR Surabaya, SAMUDRA Malang, maupun FKMM di Mataram. Semua menggunakan satu identitas organisasi dan berada di bawah kepemimpinan yang sama, yaitu Komite Pimpinan Pusat FMN.

Dideklarasikannya FMN sebagai ormas skala nasional, berarti pula merubah bentuk organisasi serta langgam organisasi. Tidak lagi menggunakan langgam semi legal seperti yang dulu pernah digunakan. Hubungan mahasiswa dengan pemuda dalam “satu kamar” yang dulu melekat pada langgam FMN mulai ditata dan dirapikan. Sudah tidak ada lagi langgam “satu kamar” pemuda dan mahasiswa. Sejak Founding Kongres FMN, yang ada adalah bertemunya program perjuangan FMN dengan organisasi yang lainnya, yaitu program FMN untuk menarik dukungan dari sebanyak-banyaknya organisasi ataupun individu dalam perjuangannya, serta program solidaritas atau dukungan terhadap perjuangan rakyat, dari mulai buruh, tani, kum miskin kota, perempuan, dan rakyat tertindas lainnya di Indonesia.

Pasca Founding Kongres semua anggota bersemangat, bergairah dan bangga terhadap organisasinya. Anggota FMN terus bertambah, basis semakin meluas, di Jakarta, Jambi dan  Lamongan telah berkibar bendera FMN. Semangat ini dirasakan diseluruh Kota FMN. Hanya saja memang ada kelalaian dari kalangan pimpinan FMN saat itu dalam kerangka bagaimana langkah selanjutnya agar semangat yang mulai muncul ini segera diartikulasikan lewat aturan-aturan berorganisasi yang baik.

Rakernas I FMN pasca Founding Kongres 2003, lebih banyak ditekankan pada perbaikan-perbaikan organisasi paska Kongres. Ada memang beberapa mekanisme yang mulai diterapkan seperti penggunaan nama Konferensi, instruksi bahwasanya pengurus harus tinggal disekretariat organisasi, dll. Beberapa seruan nasional juga berjalan dengan mulus ini sebenarnya pertanda bahwasanya organisasi mulai mengarah pada kemajuan.

Setiap materi pasti akan mengalami kontradiksi. Begitu juga dengan FMN. Pasca Founding Kongress, ternyata masih banyak kontradiksi–kontradiksi internal yang mengarah pada hal yang antagonistik, yaitu perpecahan. Hal ini terjadi di beberapa kota. Di Bandung, 19 anggota FMN Komite Kampus IAIN SGD akhirnya keluar dari FMN setelah sebelumnya mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) Kampus. Dalam KLB tersebut dihasilkan sebuah keputusan pembubaran organisasi FMN di kampus IAIN, kembali kepada organisasi lama yaitu ALAM-IAIN, 19 orang anggota menyatakan mengundurkan diri, dan mengganti koordinator Kampus (saat ini, hanya tersisa dua orang anggota di IAIN). Suatu hal yang sangat mengejutkan dan menyesakkan dada untuk kehilangan kawan-kawan yang telah sama-sama berjuang membangun organisasi ini. Pada saat itu, ketidaksepakatan dengan mekanisme FMN yang dinilai terlalu sentralistik dan menegasikan segi demokratisnya menjadi faktor pemicu keluarnya mereka. Alasan tentang orientasi juga mengemuka, yaitu bahwa FMN diarahkan pada satu cara berpandang yang sama, pada satu ideologi yang sama, yaitu Marxisme-Leninisme. “Faktor eksternal” juga ternyata berperan dalam kasus ini.

Beberapa alumni kampus IAIN juga turut “bermain” dan memprovokasi anggota. Walaupun demikian harus dengan bijak kita akui, Ini adalah buah dari belum adanya mekanisme yang baku dan pasti di dalam FMN, serta pemahaman tentang ormas yang berbeda-beda, sehingga masih mengalami kesalahan yang sama. FMN Komite Kota Bandung juga belum secara tegas dan mengakar menancapkan kepemimpinannya terhadap anggota–anggotanya di kampus.

Permasalahan juga terjadi dalam internal Komite Pusat sendiri saat itu, seperti beberapa pengurus Komite Pusat yang sering tidak berada disekretariat sehingga praktis konsolidasi dan koordinasi organisasi menjadi tidak berjalan. Banyak program yang terbengkalai, Sekretaris Jenderal KP yang menyatakan mengundurkan diri serta berbagai masalah lainnya yang menyebabkan kepercayaan antara satu sama lain di internal pengurus menjadi memudar. Pekerjaan dilakukan sendiri-sendiri sesuai dengan bidang kerjanya. Prinsip kerja dan kontrol kolektif praktis tidak berjalan, kecurigaan satu sama lain tidak termediasi dalam ruang organisasi. Gunjang-ganjing perpecahan mulai terasa. Sampai terakhir menjelang rapat kerja nasional (rakernas) II FMN sempat terjadi konsolidasi akhir Komite Pusat yang tidak juga menemui titik temu. Semua bersikeras pada pendiriannya masing-masing. Persoalan ini muncul akibat tidak adanya mekanisme dan juga pimpinan yang mampu memberikan keteladanan bagi seluruh komponen organisasi imbasnya Kerja-kerja politik menjadi tidak sinergis dengan kerja organisasi.

Rakernas II FMN yang merupakan media (sementara dalam aturan organisasi yang lama) bertemunya pimpinan-pimpinan kota FMN dengan pimpinan pusat FMN untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan program di setiap level organisasi. Namun ternyata Rakernas II FMN menjadi klimaks dan berubah fungsinya. Beberapa keputusan penting dilahirkan dalam Rakernasi II FMN yaitu Pendemisioneran Komite Pusat FMN dan Membentuk Badan Persiapan Kongres (BPK) untuk mempersiapkan Kongres Nasional I. Beberapa akar persoalan yang melatarbelakangi munculnya keputusan penting itu adalah :
1.     Kepemimpinan KP FMN dianggap tidak mampu lagi memimpin keberlangsungan FMN secara kolektif Program-program yang dirumuskan organisasi pada Rakernas I banyak yang tidak berjalan. Disamping itu juga friksi muncul di kalangan pimpinan FMN. Friksi antara Ketua dan Sekjend (yang saat itu pernah menyatakan mundur dari organisasi secara sepihak, kemudian kembali lagi), juga antar departemen yang begitu jelas dilihat sangat tidak solid oleh pimpinan-pimpinan kota yang hadir saat itu. Sampai ada salah satu pimpinan kota berucap “ bagaimana bisa memimpin organisasi secara nasional memimpin kolektifnya (pengurus KP) saja tidak mampu”. Hal diatas mencerminkan kesemrawutan FMN yang didasari pada persoalan mekanisme/konstitusi yang harusnya segera dibentuk setelah Kongres Pendirian FMN.
2.     FMN secara organisasi memang belum memiliki mekanisme organisasi yang  komprehensif. Semua mekanisme dibangun atas dasar kesepakatan. Pendemisioneran KP FMN jika dilihat dari logika kebiasaan organisasi memang kontroversial. Secara logika organisasi ada beberapa kekeliruan tentang tafsir pendemisioneran KP FMN dalam Rakernas, karena bukan wewenang Rakernas melakukan hal tersebut. Jika pertanyaan itu muncul maka kami BPK menjawab, “ Ya, itu adalah benar sebuah kekeliruan, tapi sah kemudain jika hal tersebut diputuskan oleh mayoritas perwakilan kota yang hadir di Rakernas II”.Keliru jika dilihat dalam medianya (Rakernas dalam hal ini). Dikatakan Sah karena selama ini Mekanisme dalam FMN lebih banyak mengutamakan kesepakatan-kesepakatan (termasuk juga jika kita lihat jujur bagaimana mekanisme KP dibentuk dan dikukuhkan bukan melalui mekanisme atau forum yang demokratis) dibandingkan dengan penerapan mekanisme yang ajeg. Dua sisi tersebut harus menjadi refleksi bagi kita semua agar tidak terulang lagi dikemudian hari. Maka itulah letak signifikansi Kongres Nasional.
Fase Bertahan Menghadapi Terpaan Organisasi 
(Pasca Rakernas II FMN sampai dengan hari ini)

Persoalanya ternyata tidak selesai sampai disitu, Pasca Rakernas kembali terjadi ketegangan, kebingungan dari banyak anggota tentang beberapa putusan penting Rakernas. Di lain sisi organisasi-organisasi sekawan juga mulai mempertanyakan tentang beberapa persolan yang dialami FMN. BPK yang saat itu dipercaya menjadi pimpinan kolektif FMN (Komite tertinggi organisasi menuju Kongres Nasional) kemudian berinisiatif untuk menjawab berbagai keresahan anggota yang muncul (baik murni bingung ataupun penjelasan yang berbeda dari pihak lain). Karena faktanya memang beberapa Pengurus KP yang didemisioner terbukti melakukan provokasi terhadap sebagian pimpinan kota dan basis FMN lewat argumentasi yang menyesatkan tanpa bersedia melakukan Otokritik atas kepemimpinanya secaraObyektif dan Komprehensif atas dasar persatuan.

Tulisan yang diedarkan oleh Kawan Wily Aditya disatu sisi mengandung beberapa hal yang benar adanya, tapi yang dijadikan landasan melakukan kritik adalah berdasar pada subyektifisme (perasaan suka-tidak suka) dan tidak melibatkan seluruh pengurus KP yang lama. Ini berdasar ada pengakuan beberapa eks pengurus KP yang menyayangkan sikap tersebut. Ditambah lagi beberapa upaya yang dilakukan oleh Pengurus KP Demisioner mulai mengarah pada tindakan antagonistik yang mengarah pada perpecahan organisasi seperti :
1.     Penyebaran kritik dilakukan tidak lewat media resmi organisasi, dalam hal ini tidak disampaikan kepada BPK FMN ataupun milis organisasi sehingga kebingungan terjadi hampir diseluruh levelan organisasi.
2.     Beberapa pengurus KP demisioner tidak bersedia dikonsolidasikan dikota asalnya yang artinya melawan keputusan Rakernas ke II FMN yang menyatakan bahwasanya Pengurus KP Demisioner kembali dikonsolidasikan oleh Pimpinan Kota asalnya.
3.     Menolak undangan-undangan resmi dari BPK FMN untuk mencoba mengklarifikasikan beberapa hal dalam forum/media resmi organisasi untuk mencegah meluasnya persoalan yang sesungguhnya berbeda dari persoalan asalnya.
4.     Menyebarkan berbagai intrik, fitnah yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya kepada anggota-anggota FMN untuk melahirkan perasaan saling curiga, ketidak percayaan, sikap bermusuhan satu sama lain dikalangan FMN. Hal ini mengakibatkan berbagi kerusakan dalam organisasi akibat ketegangan dan sikap saling curiga dikalangan internal organisasi. Di beberapa kota nuansa ini amat terlihat dan dirasakan dan mengganggu jalannya kerja-kerja organisasi.
5.     Meluaskan pengaruh ketidakpuasannya, pesimisme dan tendensi untuk bertentangan dengan BPK dikalangan basis-basis organisasi dengan membangun sikap ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan BPK FMN
Imbas dari praktek yang dilakukan oleh beberapa mantan KP FMN demisioner, telah membuat FMN harus kehilangan satu komite kampus. FMN Komite Kampus UGM Yogyakarta, pada tanggal 3 Mei 2004 secara organisasi menyatakan keluar FMN. Kenyataan yang sebenarnya sangat disayangkan. Untuk semua mantan anggota FMN di UGM sana, berusahalah untuk terus berada di garis perjuangan massa. Suatu saat, jika garis perjuangan, garis organisasi dan program organisasi kita sama, pastilah kita akan bertemu kembali.

BPK berusaha sebijaksana mungkin atas dasar kapasitasnya mempersiapkan kongres Nasional FMN melakukan berbagai upaya konsolidasi organisasi. Karena BPK memandang sepanjang persoalan-persoalan yang dimunculkan tidak bersifat bertentangan dan antagonistik dengan kelangsungan FMN, kita akan menyerahkanya pada anggota untuk menilainya. Beberapa upaya dilakukan untuk mengkonsolidasikan kota-kota sekaligus berbagi informasi dengan pimpinan-pimpinan kota FMN, yaitu dengan :
1.     Menerbitkan Sebar Perlawanan sebanyak 2 edisi (didistribusikan ke semua Kota) yang berisi tentang sosialisasi keberadaan BPK dan persiapan-persiapan menuju Kongres serta panduan organisasi dalam merespons beberapa momentum penting.
2.     Mengisi pelatihan-pelatihan dan pendidikan di kota-kota (asistensi dan supervisi pendidikan) yang sebelumnya memang telah berencana untuk melaksanakan pendidikan. Sehingga beberapa masalah organisasi pasca Rakernas tidak menggangu agenda dari kota-kota yang telah direncanakan sebelumnya.
3.     Mendatangi langsung seluruh basis kota untuk memberi penjelasan secara komprehensif tentang beberapa hal yang menjadi persoalan organisasi atas dasar keterbukaan.
4.     Membangun komunikasi intens dengan kota-kota dengan segala keterbatasannya demi terus menjaga intensitas komunikasi dan kesatuan organisasi.
5.     Menyelenggarakan workshop organisasi di wilayah-wilayah sebagai media sharing BPK dengan para anggota.
6.     Memberikan panduan politik organisasi (walaupun seringkali terlambat dengan segala keterbatasanya atas respon-respon politik) sebagai jawaban tentang masalah kepemimpinan politik organisasi.
7.     Mempersiapkan pelaksanaan Kongres Nasional I FMN di Lampung
8.     Menyiapakan draft-draft materi bahasan Kongres untuk memudahkan pelaksanaan Kongres Nasional.
Demikian persiapan-persiapan Kongres yang dilakukan dengan segenap tenaga, pikiran demi ikhtiar membangun organisasi massa mahasiswa sejati yang nantinya diharapkan akan menjadi organisasinya massa mahasiswa. Walalupun harus diakui upaya mempersatukan tekad ini tidaklah mudah karena tidak hanya dikalangan pimpinan organisasi tapi juga pada seluruh anggota-anggota FMN.
Fase Ayo Maju, Membangun Organisasi Massa Mahasiswa 
sebagai Alat Perjuanganya Mahasiswa (Kongres Nasional I)

BPK FMN yang resmi mulai bertugas sejak tanggal 1 Januari 2004 berupaya semaksimal mungkin melakukan perbaikan-perbaikan dalam organisasi, dalam artian bagaimana kedepannya organisasi jauh lebih tertib secara mekanisme dan maju secara program maupun prakteknya. Tapi itu memang tidak sebanding dengan praktek kerja yang telah dilakukan oleh seluruh anggota FMN di nusantara. Besar harapan tidak hanya dari kalangan pimpinan-pimpinan organisasi tapi juga dari seluruh anggota FMN, bahwasanya Kongres Nasional I yang akan dilakukan akan menjadi tonggak sejarah bagi kemajuan organisasi dan perjuangan masa ke depannya. Menepis segala pesimisme, keragu-raguan yang sempat lahir menjadi satu tekad dalam bendera organisasi yang kita yakini akan mampu menjadi alat perjuangan seluruh massa mahasiswa Indonesia.

Kongres I FMN merupakan momentum bersejarah yang akan selalu dikenang oleh seluruh anggota. Momentum bersejarah ini dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2004 di Metro, Bandar Lampung. Lebih dari 200 orang utusan dari berbagai daerah ambil bagian untuk membantu mengelaborasikan pengalaman praktek di setiap kota cabang FMN. Beberapa agenda penting dibahas dalam Kongres, diantaranya : LPJ Komite Pusat, LPJ Badan Persiapan Kongres (BPK), pandangan umum cabang-cabang,  Perumusan program perjuangan dan AD/ART FMN, pemilihan Pimpinan Pusat beserta DPP FMN, yang kemudian diteruskan dengan melakukan rapat Pleno DPP FMN. Meskipun terdapat bebererapa pandangan yang berbeda di dalam forum Kongres, namun kesatuan menentukan garis perjuangan Demokratis Nasional menggema menginspirasi semangat didirikannya FMN sebagai alat perjuangan pemuda mahasiswa. Dalam Kongres ini dipilih komite pimpinan pusat baru yang akan memimpin organisasi secara nasional selama 2 tahun menuju Kongres selanjutnya, dimana Hersa Krisna Muslim ditunjuk sebagai Ketua FMN dan Seto Prawono ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal. Kepengurusan baru dengan formasi badan pimpinan baru yang membawa semangat baru FMN.

Periode 2004 – 2005 merupakan periode sosialisasi hasil-hasil dari Kongres I FMN. Garis Perjuangan Demokratis Nasional kesimpulan dari tesis masyarakat yang Setengah Kolonial dan Setengah Feodal telah memberikan spirit perjuangan yang lebih jelas bagi arah perjuangan organisasi, meskipun wacana soal garis ini teramat asing ditengah-tengah gerakan pada waktu itu. Tapi langkah untuk mengkonkritkan pandangan dan praktek Garis yang baru ini terus dilakukan. Upaya meletakkan garis ini menjadi bagian dari aktivitas anggota langkah – langkah progresif dilakukan, diantaranya yang paling menonjol pada periode ini dilaksanakannya Konferensi Pendidikan di Palembang. Pada Konferensi yang berlangsung selama 5 hari telah menghasilkan kurikulum baku pendidikan FMN dengan tahapan Pendidikan Penerimaan Anggota (PPA), Pendidikan Dasar Organisasi (PDO), dan Pendidikan Kepemimpinan Organisasi (PKO). Pendidikan sebagai pondasi tegakknya organisasi telah dilengkapi dengan kurikulumnya.

Pada periode ini pula FMN intensif untuk menjalin komunikasi dengan geakan rakyat di Internasional. Tahun 2005 FMN menghadiri pertemuan ILPS di Hongkong pada saat momentum kampanye anti WTO, dalam pertemuan ini juga FMN mengklarifikasi beberapa komunikasi yang tidak terjalin dengan baik yang sempat menyebabkan subjektivitas kawan-kawan gerakan Internasional terhadap FMN. Pada momentum yang penuh semarak perjuangan anti imperialisme, FMN resmi menjadi salah satu member ILPS di Indonesia, selain GRI, dan PERPENI. Selain itu komunikasi juga mulai terjalin baik dengan kawan-kawan Asiant Student Asociation (ASA).

Di Tahun 2006, FMN mengambil langkah maju dengan menyelenggarakan pendidikan pimpinan secara nasional. Untuk membangun pondasi organisasi dengan lahirnya pimpinan-pimpinan massa yang siap memimipin organisasi kedepan. Keberhasilan organisasi di peroleh pada periode ini, dimana berdirinya FMN di Cabang Medan dan Denpasar.

Kongres Nasional II

Kongres II FMN dilaksanakan pada bulan Agustus 2006, di Kota Lembang, Bandung – Jawa Barat. Di isi dengan Pandangan LPJ PP FMN periode sebelumnya mengambil tema “Pertahankan dan Kembangkan Keberhasilan yang Diraih, Perbaiki Kesalahan serta Kekurangan Untuk Memajukan Perjuangan Massa”, Front Mahasiswa Nasional sebagai Organisasi Massa Pemuda Mahasiswa. Gerakan Pembetulan sekali lagi di deklarasikan untuk memperbaiki langgam kerja organisasi, dimana semangat memajukan teori dan praktek, Bertalian erat dengan massa, serta Menjalankan Kritik Oto Kritik  bisa menjadi bagian dari keseharian anggota FMM di seluruh nasional. Pada akhirnya Kongres II ini menghasilkan resolusi-resolusi tentang pekerjaan politik dan Organisasi, program perjuangan, konstitusi, dan kepengurusan DPP FMN. Pada Kongres II ini, bendera FMN dengan dasar merah dengan bintang warna emas 5 buah yang salah satunya bintang besar ditengah-tengah diganti dengan bendera warna dasar putih dengan tulisan FMN warna merah miring menuju ke satu bintang emas. Komite pimpinan pusat dengan fomasi baru dimana sebagai Sekretaris Jenderal pada waktu itu Ridwan Lukman.

Ditengah kepengurusan komite pimpinan pusat yang baru ini beberapa kemajuan diperoleh. Diantaranya berdirinya FMN di Pontianak, Makasar, Bojonegoro, Manado dan Bangka Belitung. Pada peiode ini beberapa kolektif DPP dan CA DPP FMN mengambil pilihan berani dengan menerjunkan dirinya di gerakan rakyat, dari 27 Anggota sebanyak 12 orang terjun membangun organisasi rakyat. Sebuah keberanian yang patut menjadi suri tauladan bagi kemajuan perjuangan demokratis nasional di Indonesia. Pada pleno V Jogjakarta Sekretaris Jenderal FMN digantikan oleh Nurshohib Anshary dengan formasi komite pimpinan pusat yang berubah juga. Dibawah kepemimpinan komite baru ini roda perjalanan organisasi sampai pada terlaksananya Kongres III FMN di Mataram.


Kongres Nasional III

Kongres yang ke 3 FMN dilaksanakan di Mataram – NTB. Semangat baru dengan tema umum “Tegakkan Perjuangan Pemuda Mahasiswa Untuk Menyokong Sepenuhnya Perjuangan Buruh dan Tani dengan Memperkuat, Memperbesar Organisasi serta Memperluas Pengaruh Politik di Tengah Massa”. Dihadiri oleh 20 Perwakilan cabang diseluruh Indonesia (Medan, Jambi, Palembang, Lampung, Bangka Belitung, Jakarta, Bandung, Purwokerto, Jogjakarta, Wonosobo, Surabaya, Jombang, Malang, Denpasar, Mataram, Lombok Timur, Makasar, Palu, Manado, dan Pontianak). Pada kesempatan ini dipilih formasi DPP baru yang selanjutnya memilih Nurshohib Anshary sebagai Koordinator DPP FMN dan juga Sekretaris Jenderal FMN. Dalam Kongres ini dibahas lebih konkrit tentang kedudukan FMN sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa perkotaan yang penting memperhatikan tindakan aksi reaksi cepat, intens, dan legal demokratik. Aspek Legal demokratis dan defensive aktif menjadi taktik organisasi. Legal demokratis artinya legalitas organisasi dan legalitas kampanye politiknya berdasarkan sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Sementara defensive aktif memiliki makna bahwa dalam menjalankan kampanye massa untuk menyuarakan soal-soal rakyat, kita tidak bisa terhindar dari tindakan represif kekuatan reaksioner, dan tentu saja kita tidak dibenarkan untuk melakukan opensif aktif melakukan serangan balasan, tapi bertahan dengan intensif melakukan kampanye yang menarik, atraktif, intensif, dan bersifat nasional. Kongres III yang membuat FMN jauh lebih dewasa untuk membuat dirinya sebagai organisasi massa.




Konfernas dan Pleno III FMN

Perjalanan organisasi ditnadai dengan momen bersejarah pelaksanaan konferensi nasional. Konferensi dijalankan pada tanggal 20 – 23 November 2009 di Banyumas yang dihadiri oleh 52 delegasi dari berbagai kota. Konfernas diadakan untuk melakukan pemeriksaan kurikulum pendidikan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Selain itu dalam konfernas juga dibahas tentang praktek kerja massa FMN. Perubahan kurikulum sebenarnya sudah dinanti oleh anggota-anggota di berbagai daerah karena ada kebutuhan mendasar untuk meletakkan kebutuhan ide-ide yang lebih baru menjawab upaya konsolidasi dan perluasan organisasi.  Rekomendasi dari konfernas mendorong dilaksanakannya Training Of Trainer (Pendidikan Untuk mencipakan tenaga edukator) dan panduan tentang Kerja Massa. Pasca pelaksanaan konferensi kegiatan dilanjutkan dengan diselenggarakannya rapat Pleno DPP FMN III, ditempat yang sama. Selanjutnya menghasilkan program 6 bulan organisasi.


Karakter Pemuda Mahasiswa Dalam Masyarakat Indonesia yang SJSF


Pemuda adalah salah satu golongan atau sektor yang berjumlah besar dari masyarakat Indonesia. Mereka berusia muda antara 15-35 tahun, yakni laki-laki dan perempuan, dan memiliki ciri khusus yakni tingkat mobilitas yang tinggi, dinamis dan aktif. Sebagai unsur yang bertumbuh-kembang, mereka memiliki masa depan untuk bisa mengembangkan dirinya dan membangun  di segala bidang menuju kemajuan masyarakatnya.

Jika dilihat dari aspek usia, mereka berjumlah 82,2 juta lebih (2008) dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 228,5 juta lebih yang mengalami kenaikan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Dari jumlah tersebut, mayoritas tersebar sebagai pelajar dan mahasiswa, buruh, tani, borjuasi kecil perkotaan lainnya (seperti: pekerja merdeka, intelektual, dll). Ketersebaran di setiap sektor dan ciri-ciri khusus menjadikan kedudukan dan peranan pemuda sangat penting sebagai kekuatan produktif dan tulang punggung perjuangan Demokratis Nasional. Sejarah menunjukkan peran penting pemuda dalam gerakan pembebasan nasional, Revolusi Agustus 1945, dan Gerakan Mei 1998.

Akan tetapi, penghisapan dan penindasan imperialisme, feodalisme dan kapitalisme-birokrat membuat mereka terlempar ke jalan ketidakpastian masa depan, seperti: PHK massal, ketiadaan kesempatan kerja, penghidupan yang tidak layak, biaya pendidikan yang mahal, keterbelakangan sosial, dan diskriminasi.  Di bawah sistem penindasan Setengah Jajahan- Setengah Feodal (SJSF), masa depan mereka menjadi suram di lapangan  ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga tidak memberikan tempat bagi pengembangan diri untuk belajar  dan bekerja yang benar dan terjamin. Dengan demikian, perkembangan kekuatan produktif pemuda terhambat selama sistem penindasan berlangsung terus. Kepentingan sosial-ekonomi mereka sangat berkepentingan terhadap tersedianya lapangan pekerjaan dan pendidikan yang patriotis, ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.

Problem Umum dan Khusus Sektor Pemuda Indonesia 
di Bawah Penindasan Setengah Jajahan- Setengah Feodal

Secara umum, krisis umum imperialisme membuat keadaan rakyat di negeri-negeri terjajah/setengah jajahan-setengah feodal mengalami krisis kronis yang berkepanjangan. Krisis di negara-negara industri maju adalah akibat langsung dan tidak terhindarkan dari krisis umum akibat kesenjangan ekonomi dunia. Krisis tersebut berbentuk bertumpuk-tumpuknya kelebihan produksi barang-barang hasil industri, khususnya barang-barang teknologi tinggi dan persenjataan, yang tidak terjual seluruh di pasar dunia. Krisis ini disebut sebagai krisis overproduksi. Penyebabnya adalah kesenjangan ekonomi di mana daya beli masyarakat dunia tidaklah merata dan kemiskinan yang menjalar di mana-mana.

Besarnya kelebihan produksi di negara-negara industri yang tidak bisa diputar dalam perdagangan menyebabkan lahirnya pemecatan hubungan kerja yang dialami oleh kaum buruh di negeri-negeri maju demi penghematan. Akan tetapi, usaha penghematan tersebut berujung pada tumpukkan kelebihan barang hasil industri yang tidak terbendung. Keadaan tersebut menyebabkan negara-negara industri maju (imperialis) kerap memaksa rakyat di negeri-negeri terjajah dan bergantung untuk membeli kelebihan barang hasil industri negeri-negeri imperialis. Ada tiga kepentingan imperialis terhadap negeri Terjajah/SJSF, yaitu: 
1.     kepentingan untuk menguasai kekayaan alam; 
2.     kepentingan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah yang berlimpah; 
3.     kepentingan untuk memasarkan atau membuang kelebihan barang dagangannya. 

Usaha demikian yang dilakukan untuk  menyelamatkan diri dari krisis ekonomi yang terus-menerus dan usaha itu juga tidak bisa membuat imperialis lepas dari krisisnya.


Kaum kapitalis monopoli asing dan borjuasi besar komprador mengutak-atik teori dan metode untuk menyelamatkan diri. Untuk itu, mereka meningkatkan intensitas penghisapan terhadap klas buruh dan rakyat pekerja lainnya dan mengembangkan sikap agresi perang dengan kedok “demokrasi”, “tatanan ekonomi yang berkeadilan” dan “hak asasi manusia (HAM)”. Kekuatan produktif terbaik di dunia ini, klas buruh, di negeri-negeri imperialis dan Terjajah/SJ-SF mengalami kehancuran  melalui serangkaian PHK, pemotongan upah, dan penambahan jam kerja. Kaum tani semakin kehilangan tanahnya, tercekik riba dan hutang, dan meningkatnya biaya sewa tanah. Sementara itu, borjuasi kecil perkotaan semakin kehilangan uangnya akibat kenaikan harga barang dan pungutan kapitalis birokrat (kabir) setiap hari, sedangkan pelajar dan mahasiswa mengalami masa depan yang suram karena biaya pendidikan yang semakin mahal.

Di bawah dua sistem penghisapan dan penindasan, pemuda Indonesia memiliki masalah umum yang sama dengan rakyat selain masalah khusus utama, yaitu: Pendidikan dan pekerjaan. Masalah umum dan khusus tersebut hanya didapatkan oleh pemuda dari klas-klas tertindas—seperti: buruh, tani, klas menengah—pengusaha dan pedagang menengah—dan borjuasi kecil lainnya—yang bertentangan dengan kaum muda dari klas berkuasa, yakni: borjuasi besar (komprador) dan tuan tanah. Oleh karena itu, pengertian Pemuda Indonesia dalam zaman imperialisme saat ini adalah mereka yang tertindas oleh dua sistem penindasan: imperialisme dan feodalisme.

Bagaimana keadaan umum pemuda yang tersebar tersebut?

Diktator reaksioner ini tidak memberikan kesempatan bagi pemuda untuk mengembangkan dirinya dan berusaha menjadikan pemuda sebagai kekuatan cadangan yang dipergunakan tenaganya bagi keuntungan borjuasi besar dan tuan tanah. Pemuda Indonesia, secara umum, menjadi tenaga produktif yang tidak berkembang secara ekonomi, politik dan kebudayaan karena dihambat perkembangannya oleh dua sistem penindasan yang berlaku dan selalu menghadapi kesulitan untuk maju dan kepastian hidup yang sejahtera. Di bawah ini uraian singkat situasi pemuda yang tersebar di berbagai klas masyarakat;

PertamaPemuda buruh sebagai bagian kekuatan produktif termaju, kaum buruh, menghadapi perasan hidup yang berlipat melalui penghisapan nilai lebih dalam aktivitas produksi. Watak mereka dibentuk dalam serangkaian produksi yang bersifat massal dan kolektif dalam kesatuan disiplin kerja.  Mayoritas mereka bekerja pada industri bergantung seperti halnya negeri-negeri lain di bawah penindasan sistem SJSF yang bercirikan: industri manufaktur yang hanya dilengkapi teknologi rendah atau menengah yang diimpor dari kapitalis monopoli asing, tidak membutuhkan tenaga besar yang memiliki ketrampilan tinggi dan terdidik baik, tidak berbasiskan industri dasar, dan berorientasi eksport. Dengan keadaan ini, pemuda buruh yang memiliki potensi tinggi hanya dibatasi untuk menjadi pelayan kapitalis monopoli asing—melalui bonekanya borjuasi besar komprador—dan mengalami keterbelakangan dalam aspek kekuatan produktif dibandingkan di negeri-negeri industri.

Keadaan pemuda buruh ini menjadikan mereka sasaran empuk penghisapan imperialis dan borjuasi besar komprador yang mudah dipakai dengan harga murah dan dibuang tak berarti. Walaupun demikian, pemuda buruh (perempuan dan laki-laki) mendapatkan pelajaran banyak dari sistem kerja yang dilalui dan membentuk karakteristik khusus, yakni: kolektifitas yang tinggi, kebiasaan bekerja dalam keterhubungan kerja yang integral, tuntutan disiplin tinggi dan bersifat massal (sosial) dalam produksi menjadikan memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama buruh dan terbiasa dengan kehidupan kolektif. Ini yang membuat karakteristik sosialisme dalam kaum buruh. Hal demikian bukan berarti buruh akan mudah begitu saja memahami penindasan yang dialami, karakter yang terbentuk dan kesadarannya secara spontanitas. Akan tetapi, dari setiap jutaan buruh yang tersebar di pabrik-pabrik dan unit-unit kerja lainnya (sesuai sektor atau jenisnya)  pasti melahirkan beberapa pimpinan massa yang memiliki kesedaran relatif lebih tinggi dibandingkan massa buruh lainnya—secara inisiatif, pengetahuan, keberanian, kecakapan, keteladanan, dan lain-lain. Itu merupakan hukum obyektif yang tidak bisa dipungkiri.

KeduaBagaimana dengan pemuda tani? Mereka memiliki problem umum yang sama dengan kaum tani, yakni: penghisapan oleh sisa-sisa feodalisme.  Basis sosial dalam sistem penghisapan sisa-sisa feodalisme , yakni: Monopoli tanah, ekonomi komiditi dengan orientasi ekspor, produksi skala besar dalam perkebunan atau sektor agraria lainnya. Keadaan ini membuat pemuda tani tidak mampu mengembangkan kekuatan produktif karena sistem itu tidak membutuhkan tenaga yang trampil dan terdidik baik serta diupah secara murah.

Kaum tani, di seluruh lapisan klasnya, merupakan klas dari sistem lama (feodalisme) yang memiliki sejarah lama dalam cara bekerja dan kepemilikan alat produksi perseorangan. Dengan demikian, ia berbeda dengan proletariat yang bekerja dalam sistem kapitalis yang memiliki kesatuan sistem produksi, disiplin kerja tertentu, dan sistem pengupahan tertentu. Selain itu, sistem penghisapan proletariat melalui pencurian nilai lebih (surplus value)  berbeda dengan kaum tani yang melalui surplus product. Perbedaan itu juga membentuk karakteristik khusus pemuda tani yang terbelakang (kekuatan produktif) dibandingkan pemuda proletariat. Ini buah dari kerusakan sistem SJSF yang menempatkan penghisapan sisa-sisa feodalisme sebagai basis sosial imperialisme.

Ketiga, borjuasi kecil (BK) perkotaan, seperti: intelektual (pelajar, mahasiswa, dosen, guru), pekerja merdeka (wartawan, pengacara, dokter, seniman, dll), pengusaha dan pedagang kecil, dan PNS rendahan. Pemuda pada klas ini merupakan golongan bermilik kecil yang berlapis tingkatannya, yakni: bawah, menengah dan atas. Mereka memiliki peluang dan keinginan untuk meningkatkan kapitalnya dengan menggunakan kemampuan kapital kecil sebelumnya dan aspek kelebihan pada intelektual yang dimiliki. Setiap tingkatan dalam klas BK menunjuk sebuah kedudukannya dalam relasi produksi dan juga politiknya. Bagi pemuda yang menjadi guru rendahan di sebuah sekolah merupakan BK lapisan bawah yang tidak melebihi keadaan ekonomi seoorang pengusaha kecil yang menguasai alat produksi dan mempekerjakan beberapa pekerja.  Begitu juga, mahasiswa memiliki kelebihan yakni pada aspek intelejensia yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengakumulasi kapital—seperti halnya pekerja merdeka

Masalah kaum intelektual tidak lepas dari ranah BK ini. Kemampuan pada aspek pengetahuan dan ketrampilan menjadikan mereka menjadi golongan yang juga dipergunakan borjuasi besar dan menengah dalam di sektor-sektor khusus. Walaupun demikian, mereka juga adalah kelompok yang sering dihisap dan ditindas jika mengajukan tuntutan-tuntutan demokratis dan mengambil sikap politik yang progresif. Keadaan krisis kronis yang berkepanjangan mengakibatkan mereka kehilangan pendapatan, jaminan kerja dan hidup yang layak—khususnya BK seksi tengah dan bawah. Selain itu, mereka tidak mendapatkan kesempatan luas dalam berpatisipasi secara ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga mengalami kemacetan dalam mengembangkan diri mereka. Keterpurukan ini membuat rentan bagi pemuda dari klas ini jatuh dalam kebudayaan terbelakang imperialisme yang ditandai dengan sikap individualisme yang tinggi dan jatuh pada sikap: bimbang, sinis, dan sensasional.

Keempat, penganguran. Kelompok ini adalah cadangan proletariat yang tidak tertampung dalam industri. Pengangguran di Indonesia memiliki hubungan erat yang dengan orientasi ekonomi politik yang bergantung pada kapitalis monopoli asing dan berbasis pada penghisapan sisa-sisa feodalisme. Dampaknya, kekuatan produktif ini tidak mendapatkan tempat dalam sistem SJSF yang lebih membutuhkan tenaga-tenaga murah, ketrampilan dan pendidikan rendah, dan menerapkan fleksibilitas tenaga kerja.

Di Indonesia, pengangguran mencapai + 42 juta lebih yang terbagi atas pengangguran tetap dan pengangguran yang hanya bekerja serabutan bersifat jangka pendek. Mereka tersebar di pedesaan dan perkotaan. Beberapa pemuda pada lapisan ini, di perkotaan, jatuh ke dalam tindakan-tindakan anti sosial seperti: penggunaan narkoba, pencopet, perampok, penipu, pelacuran, geng-geng, dll. Sedangkan pemuda yang pernah mengecap pendidikan menengah atau tinggi hanya mampu melakukan kerja serabutan yang sifatnya sementara. Demikian halnya pemuda desa yang kehilangan tanahnya meninggalkan desa menuju kota menjadi pedagang kecil hanya dalam beberapa bulan saja karena tidak mendapatkan perbaikan hidup yang diharapkan.

Bagaimana kediktaturan ini menghancurkan 
kekuatan produktif dari kalangan pemuda ini?

Begitu besar cita-cita pemuda sehingga mereka berharap bisa mendapatkan pendidikan yang layak di sekolah atau universitas negeri. Alasan yang dominan atas pilihan tersebut adalah: biaya murah yang bisa dijangkau seluruh lapisan klas dan jaminan kualitas pendidikan yang bermutu. Akan tetapi, pemerintah reaksioner ini semakin melepaskan kewajibannya untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang terjangkau. Kediktaturan borjuasi besar komprador dan tuan tanah ini lebih memilih memangkas subsidi pada sektor-sektor publik untuk alokasi investasi   besar anti rakyat yang menguntungkan imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri. Keadaan demikian membuat angka partisipasi sekolah sangat rendah. Menurut data Pemerintah RI tahun 2006, angka partisipasi sekolah pada usia 16-18 tahun hanya 53,92 persen, sedangkan usia 19-24 hanya 11,32 persen.

Sementara itu, anak buruh dan kaum tani—di usia sekolah—yang mendapatkan pendidikan hanya sekitar 20 persen dari seluruh peserta pendidikan formal. Karena itu, banyak anak buruh dan kaum tani hanya mampu bersekolah pada level SD dan SMP saja, bahkan yang tidak tamat karena masalah biaya pendidikan yang mahal. Nasib yang sama dirasakan juga oleh pemuda yang berlatarbelakang borjuasi kecil perkotaan seksi bawah. Akibat dari biaya pendidikan yang tinggi, banyak dari pemuda-pemuda ini tidak sanggup mengenyam bangku sekolah dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan anti-sosial, seperti: menggunakan narkoba, terlibat dalam pencurian dan pelacuran, bergabung dengan gang-gang, dan lain-lain.


Pemerintah tuan tanah besar komprador ini berulangkali membuat usaha bagi rakyat agar mudah mendapatkan pendidikan tetapi sekian juta kegagalan tidak terpecahkan. Banyak program dan aturan yang dikeluarkan—seperti: Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Badan Hukum Pendidikan (BHP), dll—tetapi tidak bisa memecahkan problem secara integral sehingga tinggi  angka putus sekolah dan ketidakmampuan menjangkau pendidikan di perguruan tinggi. Kediktaturan ini semakin menunjukkan watak kapitalis birokratnya dengan intensif mencoleng uang subsidi rakyat untuk membiayai krisisnya dan mengeruk uang rakyat sebesar-besarnya melalui penyelenggaraan pendidikan yang mahal untuk meningkatkan kapitalnya. Selain itu, mereka membuat kelembagaan “demokratis” yang hakekatnya palsu—seperti Komite Sekolah, Wali Amanah, dll—dalam memecahkan masalah pendidikan setempat yang ditujukan melegitimasi ketidakmampuan pemerintah dan menyerahkan pemecahannya kepada masyarat—dengan label partisipasi publik, transparansi dan akuntabilitas. Padahal komposisi lembaga itu dikuasai para kapitalis birokrat dan tuan tanah.

Pada lapangan kebudayaan ini, pelajar dan mahasiswa diajarkan dan menerima teori-teori lama yang telah sekarat sebagai hukum alamiah. Pengetahuan mereka hanya dibatasi untuk orientasi industri teknologi rendah serta rakitan dan mengabdi pada dominasi teknologi imperialis. Di ilmu sosial, pelajar dan mahasiswa diajarkan ilmu cara untuk menyesuaikan kebutuhan “globalisasi” melalui peningkatkan SDM yang berlimpah dengan slogan: keunggulan komparatif yakni sumber agraria dan tenaga kerja yang melimpah, kreatifitas dan kewirausahaan, keprofesionalan a la borjuasi. Selain itu, dipaksakan untuk menerima “demokrasi”  a la imperialis dan sarana-sarana demokrasi yang terinstitusionalkan sebagai bentuk masyarakat beradab tanpa mempersoalkan akar krisis yang menyebabkan kehancuran masyarakatnya. Menjawab persoalan kemiskinan hanya dibatasi pada aspek  solidaritas sosial yang semu; persoalan korupsi yang merajalela disempitkan sebagai masalah ahklak; krisis finansial dibatasi sebagai buah spekulasi yang berlebihan; masalah penyakit sosial disimpulkan sebagai kekeringan iman dan jauh dari ajaran agama.

Salah satu keburukan terbesar yang diajarkan oleh nilai-nilai kapitalis dan feodal adalah pemisahan di antara pengetahuan dan pengalaman praktis. Semua pengetahuan yang disebarluaskan oleh klas penindas mengandung kebohongan yang amat merusak dan munafik, kemudian membentuk gambaran palsu masyarakat kapitalis yang dibesar-besarkan sebagai masyarakat yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.  Dalam sistem pendidikan ini, generasi pemuda dari buruh dan tani tidak mendapatkan pendidikan yang baik dibandingkan mereka yang dididik dalam kepentingan kaum borjuasi besar dan tuan tanah. Pemuda tani dan buruh dilatih dalam cara tertentu untuk menjadi pelayan yang berguna bagi klas penindas sehingga mampu menciptakan keuntungan selama hal tersebut tidak menggangu kedamaian milik imperialis, komprador dan tuan tanah. Dengan demikian, pelajar dan mahasiswa diajarkan untuk menghianati tanah airnya, bersikap anti ilmiah, anti proletariat dan klas pekerja lainnya, serta tidak demokratis.

Pelajar dan mahasiswa tidak akan pernah mendapatkan kebebasan akademik dan hak demokratis lainnya. Situasi krisis yang berwatak kronis di negeri SJSF akan membatasi hak demokratis pelajar/mahasiswa dengan tindasan budaya dan politik. Kekuasaan fasisme akan semakin bertumbuh seiring dengan krisis kronis yang berkepanjangan sehingga hak-hak politik akan semakin dikekang dan ruang demokratis di lembaga pendidikan tidak akan pernah ada. Pihak kapitalis birokrat akan semakin banyak menciptakan aturan yang membatasi hak politik pelajar/mahasiswa dan tidak segan-segan berlaku keras, seperti: pemberian sanksi akademik, drop-out (DO), bahkan mengkriminalkan setiap tuntutan demokratis, kritik, dan aksi massa.

Kita bisa melihat buah dari sistem pendidikan telah banyak melahirkan pengangguran. Dari 110 juta lebih angkatan kerja (data tahun 2008), hanya 5,5 persen lulusan dari perguruan tinggi, SD ke bawah 58 persen, SMP/SMU 37 persen; yang bisa bekerja di segala sektor dengan status pekerja tetap dan serabutan. Sementara itu, pemuda calon pekerja yang berusia 15-24 tahun sebesar 56 persen adalah pengangguran. Angka demikian semakin menambah pengganguran di Indonesia yang sudah mencapai 42 juta orang, apalagi ditambah rencana PHK pekerja yang diperkirakan mencapai 3 juta orang pada 2009 akibat krisis finansial dunia pada akhir 2008 lalu.

Dari masalah diatas maka Pemuda Indonesia secara khusus mengalami penindasan dua hal, yaitu:
a.     Lapangan ekonomi; Tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan tetap sehingga banyak kekuatan produktif pemuda menjadi pengangguran dan sebagian hanya terserap di pekerjaan serabutan.
b.     Lapangan kebudayaan:
1.     Tidak bisa mendapatkan akses pendidikan di setiap level—terutama pemuda yang berlatar belakang klas keluarga buruh, buruh tani/tani miskin/tani sedang bawah, serta borjuasi kecil perkotaan seksi bawah—karena tingginya biaya pendidikan dan tidak menjangkau ke seluruh rakyat—terutama di perkampungan dan pedalaman desa.
2.     Pendidikan yang berorientasi untuk mengabdi penindasan imperialisme dan feodalisme sehingga berwatak pro imperialis dan tuan tanah, anti ilmiah, anti demokrasi, dan anti massa rakyat. Dengan keadaan demikian, lembaga pendidikan menjadi benteng reaksi yang keras terhadap tuntutan demokratis—seperti: kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi, dll.

Tugas FMN dalam Perjuangan Demokratis Nasional


Sebagai organisasi massa Mahasiswa Demokratis Nasional, FMN memiliki tanggung jawab perjuangannya untuk selalu setia mendukung perjuangan Demokratis Nasional dan perjuangan rakyat lainnya untuk membebaskan diri dari segala bentuk penindasan oleh klas reaksioner musuh rakyat. Tanggung jawab ini didasarkan atas kedudukan dia di dalam struktur masyarakat sebagai golongan pemuda yang  memiliki kesempatan belajar lebih tinggi dari golongan pemuda lainnya. Selain itu memiliki kedudukan di perkotaan yang dekat dengan pusat pemerintahan. Dengan kesempatan yang dimiliki tentu pemuda mahasiswa lebih punya keleluasaan untuk melakukan studi, mengakses informasi dan melakukan aksi di wilayah perkotaan. Sebagai organisasi pemuda mahasiswa FMN mengemban tugas mengorganisasikan kekuatan, menggerakkan barisannya dan melakukan perjuangan secara aktif untuk melakukan desakan politik kepada pemerintah. Untuk itu beberapa pekerjaan Politik dan Organisasi yang secara konkrit perlu dilakukan FMN adalah :
1.     Mendukung dan ambil bagian dalam Perjuangan Rakyat Tertindas di Indonesia untuk Membebaskan diri dari belenggu imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat menuju Indonesia yang merdeka dan demokratis sepenuhnya.
2.     Mendukung perjuangan buruh, tani, kaum miskin kota, kaum perempuan dan suku bangsa terasing dan seluruh rakyat tertindas di Indonesia untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan atas hak-hak demokratisnya.
3.     Memperjuangkan Sistem Pendidikan Nasional Yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat.
4.     Memperjuangkan nasib pemuda dan mahasiswa untuk mendapatkan hak atas pendidikan dan lapangan pekerjaan yang meliputi :
  • Biaya pendidikan murah.
  • Penyediaan sarana-pra sarana pendidikan yang layak.
  • Penghentian segala bentuk penyelewengan biaya pendidikan, baik berupa pungli dan korupsi dana pendidikan.
  • Kebebasan akademik bagi mahasiswa dan dosen.
  • Kebebasan berpendapat dan berorganisasi bagi pelajar, mahasiswa, guru dan dosen
  • Peningkatan kesejahteraan bagi guru, dosen dan karyawan
  • Penghentian segala bentuk diskriminasi dan pelecehan fisik atas nama gender, suku bangsa dan ras di dalam dunia pendidikan
  • Jaminan atas lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak
  • Pemberantasan buta huruf bagi seluruh rakyat Indonesia
  5.  Program Aksi  Front Mahasiswa Nasional
  • Membangun Front Mahasiswa Nasional sebagai ormas mahasiswa berskala nasional, besar, berpengaruh luas dan bertalian erat dengan rakyat.
  • Membangkitkan dan mendidik massa pemuda-mahasiswa menjadi kekuatan yang patriotis, demokratis dan militan.
  • Melakukan perjuangan massa bersama pemuda dan mahasiswa untuk meraih hak atas pendidikan dan pekerjaan
  • Menggorganisasikan massa mahasiswa di seluruh kampus di Indonesia
  • Membangun kemandirian ekonomi dan keuangan organisasi
  • Mengabdi dan setia melayani rakyat
  • Menggalang aliansi dengan berbagai kekuatan pemuda dan mahasiswa di Indonesia untuk memperjuangkan nasib pemuda dan mahasiswa, serta bersama terlibat dalam perjuangan rakyat tertindas di Indonesia.
  • Mempererat persatuan dan kerjasama politik dengan kekuatan rakyat tertindas, terutama dengan gerakan buruh dan tani
  • Membangun solidaritas internasional anti imperialisme dengan mempererat persatuan dan kerjasama politik dengan kekuatan rakyat, pemuda dan mahasiswa dari belahan dunia.
Selamat Memajukan Teori dan Praktek
Pemuda Mahasiswa Bangkit Melawan Penindasan !!!
Berjuang Bersama Rakyat !!!


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Sabtu, 21 September 2013

History of FMN


History of Front Mahasiswa Nasional
(Part 1 - 4)



Front Mahasiswa Nasional, organisasi yang sedang kita bangun, yang kini sedang mengepakkan sayapnya dan bercita-cita menjadi organisasi alat perjuangan mahasiswa, dibangun oleh historis yang panjang. Dalam organisasi kita, hanya sedikit anggota yang mengetahui sejarah dialektika perjalanan FMN. Pengetahuan tentang dialektika panjang FMN yang belum diketahui secara merata di organisasi ini, menimbulkan tidak semua anggota mampu mencatat secara komprehensif kelemahan-kelemahan dan kemajuan-kemajuan apa saja yang telah didapatkan oleh FMN selama ini. Praktek yang selama ini sangat kaya dari FMN masih berserak-serak, belum terkumpul secara sistematis menjadi sebuah catatan yang komprehensif. Harapannya dengan sedikit paparan ini kita mampu berpikir kongkrit dari materi yang kongkrit dalam praktek organisasi ke depannya.

Atas dorongan itulah, Pimpinan Pusat FMN kembali mengumpulkan berbagai catatan sejarah dalam bentuk apa pun untuk disajikan menjadi sebuah catatan praktek berorganisasi dan berjuangnya para mahasiswa yang tergabung dalam FMN sejak dulu. Dengan segala keterbatasan data, memori dan praktek, dengan segala kerendahan hati, kami persembahkan untuk seluruh anggota FMN, tanpa bermaksud mendongeng atau menggurui, tapi untuk menjelaskan  apa saja catatan yang bisa diambil dari praktek perjuangan gerakan mahasiswa, khususnya FMN. Yang positif tentu akan kita ambil, pertahankan, bahkan kita kembangkan. Yang buruk kita buang jauh-jauh, dimengerti agar tidak terjadi untuk kedua kalinya. Berusaha mengenalkan kepada anggota tentang materi yang sedang bergerak menuju cita-citanya.

FMN, dalam jejak langkahnya, pernah mengalami surut, stagnasi, sampai pasang. Bagaimana FMN bergerak dalam fase demi fase, dan catatan apa saja yang bisa kita ambil, marilah kita simak.

Fase Membangun Embrio Pergerakan Nasional (1995 -1997)

Akhir tahun 80-an, setelah kelompok studi tidak mampu lagi menjadi wadah yang efektif untuk memperjuangkan kepentingan mahasiswa dan melawan tirani rezim, para mahasiswa yang berpikir patriotis dan demokratis kemudian mentransformasikan bentuk organisasinya dan berhimpun dalam wadah serikat-serikat mahasiswa. Akhir tahun 80-an hingga awal tahun 90-an adalah masa dimana serikat-serikat mahasiswa muncul sebagai alternatif bentuk organisasi yang maju pada waktu itu.
Dalam skala nasional tercatat, beberapa organisasi mahasiswa pernah terbentuk waktu itu, diantaranya adalah Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang muncul dengan identitas nasionalnya. Namun, umur kedua organsiasi ini tidak bertahan lama seiring dengan dialektikanya. Di luar konsolidasi organisasi nasional tersebut, masih banyak berserakan organisasi gerakan mahasiswa tingkat lokal ataupun kampus. Organisasi yang berserakan dan di luar konsolidasi FAMI dan SMID inilah, beberapa diantaranya kemudian membentuk jaringan nasional pada tahun 1995. Jaringan nasional inilah yang merupakan embrio dari terbentuknya pokja Forum Mahasiswa Nasional.

Di masa rezim otoriter Soeharto, serikat-serikat tersebut semuanya menggunakan langgam kerja semi-legal, yaitu menggabungkan antara kerja bawah tanah atau tertutup dengan kerja legal. Langgam ini dipandang cocok dengan situasi obyektif rezim yang represif. Bekerja tidak hanya mengorganisir mahasiswa, tapi juga sekaligus rakyat. Untuk perjuangan dan kampanye terbukanya, dibentuklah komite-komite aksi. Komite-komite aksi mahasiswa inilah, harus diakui, merekalah yang mengambil peranan memperjuangkan kepentingan mahasiswa di kampus dan rakyat secara luas, bahkan menggulingkan rezim otoriter Soeharto. Dapat kita lihat dengan letupan–letupan perjuangan yang terjadi di beberapa daerah, seperti aksi anti kenaikan biaya angkot yang berujung pada tewasnya 2 mahasiswa di Makassar tahun 1996, di Bandung dan Jakarta aksi Golput pada pemilu 1997, aksi anti SDSB, aksi anti Suharto di Jerman, dan berbagai aksi rakyat lainnya seperti pemogokkan buruh, anti penggusuran, aksi solidaritas petani Kedung Ombo, dan lain sebagainya.

Di bawah bayang-bayang rezim militeristik Soeharto, kemudian terbangun kesadaran akan pentingnya alat perjuangan mahasiswa berskala nansional. Serikat–serikat mahasiswa di berbagai kota kemudian menjalin kontak dan meningkatkan pembicaraan untuk membangun organisasi mahasiswa nasional. Dimulai dari pertemuan–pertemuan informal, diskusi antara pimpinan serikat, aksi bersama, dan serangkaian kegiataan bersama. Hingga pada akhirnya tahun 1997 lahirlah nama Forum Mahasiswa Nasional (FMN) sebagai identitas dari pokja yang dibangun.


Fase Menghimpun Kekuatan untuk Berjaringan (1997-1998)

Tahun 1997 merupakan tahun bersejarah bagi FMN. Pada tahun ini, di Bandung berkumpul perwakilan komite aksi mahasiswa dari lima kota, yaitu dari Bandung, Yogyakarta, Malang, Jombang dan Surabaya. Dari lima kota inilah, kemudian lahir kesepakatan untuk membentuk sebuah jaringan nasional gerakan mahasiswa yang kemudian disebut dengan Forum Mahasiswa Nasional (FMN). Ditunjuk Zulkarnaen atau yang akrab dipanggil Ijul (dari Bandung) sebagai koordinator FMN. Program yang dibuat waktu itu masih sebatas bagaimana membuat kurikulum pendidikan bersama, komunikasi antar kota dalam hal pendidikan kader, serta mengajak komite aksi dari kota lain untuk bergabung dalam FMN.

Tidak jarang kita mendengar pertanyaan dari anggota di era sekarang, jaringan FMN sudah ada sejak tahun 1997 dengan berbasis komite-komite aksi mahasiswa yang ikut ambil peranan aktif dalam penggulingan rezim Otoriter Soeharto, namun mengapa FMN tidak muncul identitasnya atau terlihat kepemimpinannya terhadap gerakan massa mahasiswa ketika itu. Seperti dijelaskan diatas,  FMN ketika itu secara hakekat masih sebatas jaringan antar kota. Masih sebatas forum komunikasi. Belum mempunyai kesamaan platform politik. Selain itu kepemimpinan organisasi yang dibentuk (yang disebut Pokja FMN) belum secara efektif menjalankan kepemimpinannya kepada kota-kota.

Kota-kota masih menggunakan platformnya sendiri-sendiri. Masih menggunakan identitasnya sendiri-sendiri. Dengan demikian, meskipun komite-komite aksi yang tergabung dalam jaringan FMN berperan aktif dalam membuka keran demokratisasi di era Soeharto, namun harus diakui pula, FMN belum tampil untuk memimpin gerakan massa mahasiswa Indonesia pada waktu itu.

Tahun 1998 Koordinator FMN diganti oleh Adul, perwakilan dari Bandung. Usaha menarik kota-kota baru untuk bergabung dalam FMN terus dilakukan. Hasilnya Serikat Mahasiswa Bandar Lampung (SMBL) tahun 1998 bergabung dalam FMN kemudian disusul dengan Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM) kota Mataram pada tahun 1999, Dan Front Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (FMKR) Palembang tahun 2000 bergabung dalam FMN. Kita ucapkan salut untuk pokja nasional waktu itu yang berhasil mengembangkan basis jaringan FMN.

Fase Membagun Kesatuan Pandangan dan Kemudian Pecah lagi (1999-2000)

Kota demi kota bergabung dalam FMN, dari hari-ke hari semakin bertambah. Namun oleh karena mekanisme organisasi yang tidak memberikan saluran kritik secara terbuka atas praktek yang berbasis persatuan, maka tahun 1999 FMN mengalami perpecahan di beberapa basis. SMBL yang bergabung pada tahun 1998 mengundurkan diri pada tahun 1999. Di tahun yang sama Serikat Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR) yang merupakan basis pokja FMN di Yogyakarta mengalami perpecahan hingga berujung bubarnya SMKR. Perpecahan juga diikuti oleh Forum Studi Ekonomi politik (FORSTEP) Malang mengalami hal yang sama. Begitu juga dengan Komite Mahasiswa untuk Perjuangan Rakyat (KMPR) Jombang, satu basis kampus mengundurkan diri.  Dan beberapa kader Serikat Mahasiswa untuk Perjuangan Rakyat (SMPR)Surabaya mengundurkan diri.

Saluran mengkritik yang sangat kurang dan minimnya keterbukaan, telah memunculkan kecurigaan-kecurigaan antar kader, antar basis kampus, bahkan antar kota. Subyektifisme diutamakan dan persatuan organisasi yang dilandasi untuk kepentingan perjuangan bersama di nomorduakan. Komunikasi dan konsolidasi antar kota berjalan dengan lemah. Di masa inilah, FMN semakin tidak nampak dalam dinamika gerakan mahasiswa. Dibilang hidup namun tidak memperlihatkan gerakannya, dibilang mati pun tidak mau. Ini menjadi catatan penting untuk kita ke depan agar jangan terjadi lagi dikemudian hari.

Fase Membangun Kembali Semangat Berorganisasi untuk Maju (2000-2002)

Keadaan organisasi yang mengalami kemunduran di tahun 1999, melahirkan refleksi di banyak kader. Keinginan untuk membangun organisasi nasional tetap tertanam dalam diri kader di beberapa kota. Tanggal 31 Oktober 2001, di Bandung diadakan pertemuan pokja nasional FMN (Forum Mahasiswa Nasional) yang dihadiri oleh tujuh kota, yaitu : Lampung, Bandung, Yogyakarta, Solo, Jombang, Surabaya, dan Malang. Palembang dan Mataram tidak dapat hadir dalam pertemuan ini. Dari pertemuan ini ditunjuk Willy Aditya sebagai koordinator pokja FMN. Dari sinilah, sekali lagi ditekankan tentang perlunya membangun kembali organisasi skala nasional, setelah beberapa tahun mengalami stagnansi akibat perpecahan dalam organisasi. Dalam pertemuannya mulai digagas kembali prasyarat organisasi gerakan mahasiswa. Pertemuan ini selangkah lebih maju dari pertemuan-pertemuan sebelumnya karena sudah mulai dirancang prasyarat kuantitas dan kualitas FMN sebagai organisasi gerakan mahasiswa.

Tahun 2001, FMN mempunyai jaringan mahasiswa di Solo, Organisasinya bernama Merapi. Namun dalam perjalanannya Merapi ini tidak berkembang, bahkan mengalami banyak kemunduran. Aktifitas organisasinya tidak berjalan, hingga akhirnya Merapi bubar dengan sendirinya. Masalah utamanya adalah,pertama, di intern Merapi sendiri, yaitu para pemimpin organisasinya – karena ada problem subjektif —kurang mengkonsolidasikan pada kadernya. Kedua, problem arahan set-up organisasi yang lemah waktu itu. Di satu sisi FMN memberikan prasyarat kuantitas dan kualitas organisasi gerakan, namun disaat yang sama FMN waktu itu kurang memberikan panduan bagaimana mencapai prasyarat yang dimaksud, khususnya untuk basis baru yang belum punya tradisi membangun organisasi gerakan mahasiswa, seperti Merapi Solo.

Tahun 2001, di Yogyakarta dibuat modul pendidikan pertama nasional untuk menset-up organisasi. Modul pendidikan nasional dibuat secara bersama-sama untuk menyamakan pemahaman tentang peran posisi mahasiswa, garis perjuangan, hingga langgam pembangunan dan pengembangan organisasi di semua kota. Modul inilah yang kemudian digunakan secara nasional, menyatukan pemahaman tentang berorganisasi dan berjuang secara nasional.

Selanjutnya di kota yang sama, pada November 2002, diadakan Workshop Pembangunan Organisasi Nasional yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan kota FMN, yaitu Padang, Palembang, Lampung, Bandung, Yogyakarta, Purwokerto, Malang, Surabaya, Jombang, dan Mataram. Workshop diadakan di tengah keinginan yang semakin kuat untuk membangun organisasi massa berskala nasional yang memiliki kepemimpinan dan garis perjuangan yang tegas. Diadakan untuk menyampaikan kegelisahan dari kader-kader di semua kota atas praktek berorganisasi dan berjuang yang telah dijalankan. Di sinilah wacana mempersiapkan FMN menjadi sebuah organisasi massa (ormas) berskala nasional, yang menjadi alat perjuangan legalnya mahasiswa mengemuka. Selanjutnya, berpegang pada hasil workshop, sedikit demi sedikit dilakukan penyamaan langgam kerja dan standar pembangunan organisasi. Hasil workshop menjadi rujukan bagi pembangunan organisasi di kota-kota. Mulai tahun 2002 pula, pengenalan identitas Forum Mahasiswa Nasional di seluruh jaringan kota-kota dilakukan. Pengenalan simbol dan identitas ini memang tidak terjadi secara merata, namun secara bertahap dimulai dari organisasi tingkat Kota dengan nama Komite Kota.

Tetapi, ditengah semangat untuk merapatkan barisan dalam satu kepemimpinan, ternyata ide-ide maju tersebut masih mendapatkan ganjalan. Di Bandung, terjadi perpecahan organisasi tingkat kampus, yaitu KA-Unpad. Mereka yang memilih berada dalam barisan maju FMN menyatakan keluar dan menyatakan membubarkan KA-Unpad (walaupun tidak berhasil), dan sisanya adalah yang merasa bahwa KA-Unpad adalah organisasi yang harus tetap eksis. Kasus ini tidaklah terlepas dari campur tangan alumni yang merasa dengan adanya FMN maka kepentingannya akan terganggu. Berbagai macam alasan dikemukakan diantaranya bahwa FMN berideologi Marxisme-Leninisme, prinsip Sendem yang diterapkan adalah Sentralisme “Diem-diem”, dan hubungan dengan Pemuda. Perpecahan ini menyadarkan kita pada suatu teori, bahwa persatuan adalah relatif dan perjuangan adalah mutlak!

 Fase Bersatu dalam Satu Barisan (Mei-Desember 2003)

Kongres Pendirian atau yang sering kita sebut dengan Founding Kongres FMN tanggal 18 Mei 2003, di Balai Rakyat Utan Kayu Jakarta adalah satu tonggak kemajuan gagasan, dimana semangat perjuangan nasional mulai dipatri dalam diri anggota-anggota FMN. Tidak ada lagi perjuangan yang bersifat lokalistik dan terpecah-pecah. Seluruh komponen organisasi menyadari bahwasanya perjuangan nasional adalah kunci, dan bergabung dalam organisasi berskala nasional adalah jawaban dari kebuntuan pergerakan mahasiswa.

Inilah sumbangsih terbesar Pengurus Komite Pusat FMN saat itu yang harus dihargai.  Kita angkat topi untuk keberhasilan tersebut. Kolektif Komite Pusat FMN telah mengakhiri sekian banyak konsolidasi organisasi menjadi satu klimaks, yaitu dideklarasikanya FMN sebagai organisasi massa mahasiswa yang bersifat terbuka bagi seluruh massa mahasiswa Indonesia. Terlepas dari proses yang dilakukan memang belum secara demokratis, tapi kepeloporan ide dan kepemimpinan yang dibentuk waktu itu, mampu menangkap satu keresahan dikalangan anggota. Sebanyak 700 anggota FMN dari berbagai kota hadir dalam Kongres Pendirian organisasinya dan kemudian 740 orang anggota mengikuti aksi Nasional perdana FMN di Jakarta, di tempat pimpinan pusatnya berada. Seluruh tenaga, pikiran serta dana dicurahkan oleh seluruh anggota FMN. Bahu-membahu dari hampir semua kota, mereka datang langsung untuk mewujudkan satu keinginan membangun organisasi massa mahasiswa berskala nasional. Betapa progresif dan patriotiknya anggota dan kesadaran yang bergelora mendapatkan organisasi yang mereka tunggu.

Pada Founding Kongres itulah, semua level organisasi dilebur dalam satu identitas Front Mahasiswa Nasional, tidak ada lagi Forum Mahasiswa Nasional, tidak ada lagi FMKR Palembang, SMBL di Lampung, FIM Bandung, KIBLAT Yogya, KMPR Jombang, SMPR Surabaya, SAMUDRA Malang, maupun FKMM di Mataram. Semua menggunakan satu identitas organisasi dan berada di bawah kepemimpinan yang sama, yaitu Komite Pimpinan Pusat FMN.

Dideklarasikannya FMN sebagai ormas skala nasional, berarti pula merubah bentuk organisasi serta langgam organisasi. Tidak lagi menggunakan langgam semi legal seperti yang dulu pernah digunakan. Hubungan mahasiswa dengan pemuda dalam “satu kamar” yang dulu melekat pada langgam FMN mulai ditata dan dirapikan. Sudah tidak ada lagi langgam “satu kamar” pemuda dan mahasiswa. Sejak Founding Kongres FMN, yang ada adalah bertemunya program perjuangan FMN dengan organisasi yang lainnya, yaitu program FMN untuk menarik dukungan dari sebanyak-banyaknya organisasi ataupun individu dalam perjuangannya, serta program solidaritas atau dukungan terhadap perjuangan rakyat, dari mulai buruh, tani, kum miskin kota, perempuan, dan rakyat tertindas lainnya di Indonesia.

Pasca Founding Kongres semua anggota bersemangat, bergairah dan bangga terhadap organisasinya. Anggota FMN terus bertambah, basis semakin meluas, di Jakarta, Jambi dan  Lamongan telah berkibar bendera FMN. Semangat ini dirasakan diseluruh Kota FMN. Hanya saja memang ada kelalaian dari kalangan pimpinan FMN saat itu dalam kerangka bagaimana langkah selanjutnya agar semangat yang mulai muncul ini segera diartikulasikan lewat aturan-aturan berorganisasi yang baik.

Rakernas I FMN pasca Founding Kongres 2003, lebih banyak ditekankan pada perbaikan-perbaikan organisasi paska Kongres. Ada memang beberapa mekanisme yang mulai diterapkan seperti penggunaan nama Konferensi, instruksi bahwasanya pengurus harus tinggal disekretariat organisasi, dll. Beberapa seruan nasional juga berjalan dengan mulus ini sebenarnya pertanda bahwasanya organisasi mulai mengarah pada kemajuan.

Setiap materi pasti akan mengalami kontradiksi. Begitu juga dengan FMN. Pasca Founding Kongress, ternyata masih banyak kontradiksi–kontradiksi internal yang mengarah pada hal yang antagonistik, yaitu perpecahan. Hal ini terjadi di beberapa kota. Di Bandung, 19 anggota FMN Komite Kampus IAIN SGD akhirnya keluar dari FMN setelah sebelumnya mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) Kampus. Dalam KLB tersebut dihasilkan sebuah keputusan pembubaran organisasi FMN di kampus IAIN, kembali kepada organisasi lama yaitu ALAM-IAIN, 19 orang anggota menyatakan mengundurkan diri, dan mengganti koordinator Kampus (saat ini, hanya tersisa dua orang anggota di IAIN). Suatu hal yang sangat mengejutkan dan menyesakkan dada untuk kehilangan kawan-kawan yang telah sama-sama berjuang membangun organisasi ini. Pada saat itu, ketidaksepakatan dengan mekanisme FMN yang dinilai terlalu sentralistik dan menegasikan segi demokratisnya menjadi faktor pemicu keluarnya mereka. Alasan tentang orientasi juga mengemuka, yaitu bahwa FMN diarahkan pada satu cara berpandang yang sama, pada satu ideologi yang sama, yaitu Marxisme-Leninisme. “Faktor eksternal” juga ternyata berperan dalam kasus ini.

Beberapa alumni kampus IAIN juga turut “bermain” dan memprovokasi anggota. Walaupun demikian harus dengan bijak kita akui, Ini adalah buah dari belum adanya mekanisme yang baku dan pasti di dalam FMN, serta pemahaman tentang ormas yang berbeda-beda, sehingga masih mengalami kesalahan yang sama. FMN Komite Kota Bandung juga belum secara tegas dan mengakar menancapkan kepemimpinannya terhadap anggota–anggotanya di kampus.

Permasalahan juga terjadi dalam internal Komite Pusat sendiri saat itu, seperti beberapa pengurus Komite Pusat yang sering tidak berada disekretariat sehingga praktis konsolidasi dan koordinasi organisasi menjadi tidak berjalan. Banyak program yang terbengkalai, Sekretaris Jenderal KP yang menyatakan mengundurkan diri serta berbagai masalah lainnya yang menyebabkan kepercayaan antara satu sama lain di internal pengurus menjadi memudar. Pekerjaan dilakukan sendiri-sendiri sesuai dengan bidang kerjanya. Prinsip kerja dan kontrol kolektif praktis tidak berjalan, kecurigaan satu sama lain tidak termediasi dalam ruang organisasi. Gunjang-ganjing perpecahan mulai terasa. Sampai terakhir menjelang rapat kerja nasional (rakernas) II FMN sempat terjadi konsolidasi akhir Komite Pusat yang tidak juga menemui titik temu. Semua bersikeras pada pendiriannya masing-masing. Persoalan ini muncul akibat tidak adanya mekanisme dan juga pimpinan yang mampu memberikan keteladanan bagi seluruh komponen organisasi imbasnya Kerja-kerja politik menjadi tidak sinergis dengan kerja organisasi.

Rakernas II FMN yang merupakan media (sementara dalam aturan organisasi yang lama) bertemunya pimpinan-pimpinan kota FMN dengan pimpinan pusat FMN untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan program di setiap level organisasi. Namun ternyata Rakernas II FMN menjadi klimaks dan berubah fungsinya. Beberapa keputusan penting dilahirkan dalam Rakernasi II FMN yaitu Pendemisioneran Komite Pusat FMN dan Membentuk Badan Persiapan Kongres (BPK) untuk mempersiapkan Kongres Nasional I. Beberapa akar persoalan yang melatarbelakangi munculnya keputusan penting itu adalah :
1.     Kepemimpinan KP FMN dianggap tidak mampu lagi memimpin keberlangsungan FMN secara kolektif Program-program yang dirumuskan organisasi pada Rakernas I banyak yang tidak berjalan. Disamping itu juga friksi muncul di kalangan pimpinan FMN. Friksi antara Ketua dan Sekjend (yang saat itu pernah menyatakan mundur dari organisasi secara sepihak, kemudian kembali lagi), juga antar departemen yang begitu jelas dilihat sangat tidak solid oleh pimpinan-pimpinan kota yang hadir saat itu. Sampai ada salah satu pimpinan kota berucap “ bagaimana bisa memimpin organisasi secara nasional memimpin kolektifnya (pengurus KP) saja tidak mampu”. Hal diatas mencerminkan kesemrawutan FMN yang didasari pada persoalan mekanisme/konstitusi yang harusnya segera dibentuk setelah Kongres Pendirian FMN.
2.     FMN secara organisasi memang belum memiliki mekanisme organisasi yang  komprehensif. Semua mekanisme dibangun atas dasar kesepakatan. Pendemisioneran KP FMN jika dilihat dari logika kebiasaan organisasi memang kontroversial. Secara logika organisasi ada beberapa kekeliruan tentang tafsir pendemisioneran KP FMN dalam Rakernas, karena bukan wewenang Rakernas melakukan hal tersebut. Jika pertanyaan itu muncul maka kami BPK menjawab, “ Ya, itu adalah benar sebuah kekeliruan, tapi sah kemudain jika hal tersebut diputuskan oleh mayoritas perwakilan kota yang hadir di Rakernas II”.Keliru jika dilihat dalam medianya (Rakernas dalam hal ini). Dikatakan Sah karena selama ini Mekanisme dalam FMN lebih banyak mengutamakan kesepakatan-kesepakatan (termasuk juga jika kita lihat jujur bagaimana mekanisme KP dibentuk dan dikukuhkan bukan melalui mekanisme atau forum yang demokratis) dibandingkan dengan penerapan mekanisme yang ajeg. Dua sisi tersebut harus menjadi refleksi bagi kita semua agar tidak terulang lagi dikemudian hari. Maka itulah letak signifikansi Kongres Nasional.
Fase Bertahan Menghadapi Terpaan Organisasi 
(Pasca Rakernas II FMN sampai dengan hari ini)

Persoalanya ternyata tidak selesai sampai disitu, Pasca Rakernas kembali terjadi ketegangan, kebingungan dari banyak anggota tentang beberapa putusan penting Rakernas. Di lain sisi organisasi-organisasi sekawan juga mulai mempertanyakan tentang beberapa persolan yang dialami FMN. BPK yang saat itu dipercaya menjadi pimpinan kolektif FMN (Komite tertinggi organisasi menuju Kongres Nasional) kemudian berinisiatif untuk menjawab berbagai keresahan anggota yang muncul (baik murni bingung ataupun penjelasan yang berbeda dari pihak lain). Karena faktanya memang beberapa Pengurus KP yang didemisioner terbukti melakukan provokasi terhadap sebagian pimpinan kota dan basis FMN lewat argumentasi yang menyesatkan tanpa bersedia melakukan Otokritik atas kepemimpinanya secaraObyektif dan Komprehensif atas dasar persatuan.

Tulisan yang diedarkan oleh Kawan Wily Aditya disatu sisi mengandung beberapa hal yang benar adanya, tapi yang dijadikan landasan melakukan kritik adalah berdasar pada subyektifisme (perasaan suka-tidak suka) dan tidak melibatkan seluruh pengurus KP yang lama. Ini berdasar ada pengakuan beberapa eks pengurus KP yang menyayangkan sikap tersebut. Ditambah lagi beberapa upaya yang dilakukan oleh Pengurus KP Demisioner mulai mengarah pada tindakan antagonistik yang mengarah pada perpecahan organisasi seperti :
1.     Penyebaran kritik dilakukan tidak lewat media resmi organisasi, dalam hal ini tidak disampaikan kepada BPK FMN ataupun milis organisasi sehingga kebingungan terjadi hampir diseluruh levelan organisasi.
2.     Beberapa pengurus KP demisioner tidak bersedia dikonsolidasikan dikota asalnya yang artinya melawan keputusan Rakernas ke II FMN yang menyatakan bahwasanya Pengurus KP Demisioner kembali dikonsolidasikan oleh Pimpinan Kota asalnya.
3.     Menolak undangan-undangan resmi dari BPK FMN untuk mencoba mengklarifikasikan beberapa hal dalam forum/media resmi organisasi untuk mencegah meluasnya persoalan yang sesungguhnya berbeda dari persoalan asalnya.
4.     Menyebarkan berbagai intrik, fitnah yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya kepada anggota-anggota FMN untuk melahirkan perasaan saling curiga, ketidak percayaan, sikap bermusuhan satu sama lain dikalangan FMN. Hal ini mengakibatkan berbagi kerusakan dalam organisasi akibat ketegangan dan sikap saling curiga dikalangan internal organisasi. Di beberapa kota nuansa ini amat terlihat dan dirasakan dan mengganggu jalannya kerja-kerja organisasi.
5.     Meluaskan pengaruh ketidakpuasannya, pesimisme dan tendensi untuk bertentangan dengan BPK dikalangan basis-basis organisasi dengan membangun sikap ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan BPK FMN
Imbas dari praktek yang dilakukan oleh beberapa mantan KP FMN demisioner, telah membuat FMN harus kehilangan satu komite kampus. FMN Komite Kampus UGM Yogyakarta, pada tanggal 3 Mei 2004 secara organisasi menyatakan keluar FMN. Kenyataan yang sebenarnya sangat disayangkan. Untuk semua mantan anggota FMN di UGM sana, berusahalah untuk terus berada di garis perjuangan massa. Suatu saat, jika garis perjuangan, garis organisasi dan program organisasi kita sama, pastilah kita akan bertemu kembali.

BPK berusaha sebijaksana mungkin atas dasar kapasitasnya mempersiapkan kongres Nasional FMN melakukan berbagai upaya konsolidasi organisasi. Karena BPK memandang sepanjang persoalan-persoalan yang dimunculkan tidak bersifat bertentangan dan antagonistik dengan kelangsungan FMN, kita akan menyerahkanya pada anggota untuk menilainya. Beberapa upaya dilakukan untuk mengkonsolidasikan kota-kota sekaligus berbagi informasi dengan pimpinan-pimpinan kota FMN, yaitu dengan :
1.     Menerbitkan Sebar Perlawanan sebanyak 2 edisi (didistribusikan ke semua Kota) yang berisi tentang sosialisasi keberadaan BPK dan persiapan-persiapan menuju Kongres serta panduan organisasi dalam merespons beberapa momentum penting.
2.     Mengisi pelatihan-pelatihan dan pendidikan di kota-kota (asistensi dan supervisi pendidikan) yang sebelumnya memang telah berencana untuk melaksanakan pendidikan. Sehingga beberapa masalah organisasi pasca Rakernas tidak menggangu agenda dari kota-kota yang telah direncanakan sebelumnya.
3.     Mendatangi langsung seluruh basis kota untuk memberi penjelasan secara komprehensif tentang beberapa hal yang menjadi persoalan organisasi atas dasar keterbukaan.
4.     Membangun komunikasi intens dengan kota-kota dengan segala keterbatasannya demi terus menjaga intensitas komunikasi dan kesatuan organisasi.
5.     Menyelenggarakan workshop organisasi di wilayah-wilayah sebagai media sharing BPK dengan para anggota.
6.     Memberikan panduan politik organisasi (walaupun seringkali terlambat dengan segala keterbatasanya atas respon-respon politik) sebagai jawaban tentang masalah kepemimpinan politik organisasi.
7.     Mempersiapkan pelaksanaan Kongres Nasional I FMN di Lampung
8.     Menyiapakan draft-draft materi bahasan Kongres untuk memudahkan pelaksanaan Kongres Nasional.
Demikian persiapan-persiapan Kongres yang dilakukan dengan segenap tenaga, pikiran demi ikhtiar membangun organisasi massa mahasiswa sejati yang nantinya diharapkan akan menjadi organisasinya massa mahasiswa. Walalupun harus diakui upaya mempersatukan tekad ini tidaklah mudah karena tidak hanya dikalangan pimpinan organisasi tapi juga pada seluruh anggota-anggota FMN.
Fase Ayo Maju, Membangun Organisasi Massa Mahasiswa 
sebagai Alat Perjuanganya Mahasiswa (Kongres Nasional I)

BPK FMN yang resmi mulai bertugas sejak tanggal 1 Januari 2004 berupaya semaksimal mungkin melakukan perbaikan-perbaikan dalam organisasi, dalam artian bagaimana kedepannya organisasi jauh lebih tertib secara mekanisme dan maju secara program maupun prakteknya. Tapi itu memang tidak sebanding dengan praktek kerja yang telah dilakukan oleh seluruh anggota FMN di nusantara. Besar harapan tidak hanya dari kalangan pimpinan-pimpinan organisasi tapi juga dari seluruh anggota FMN, bahwasanya Kongres Nasional I yang akan dilakukan akan menjadi tonggak sejarah bagi kemajuan organisasi dan perjuangan masa ke depannya. Menepis segala pesimisme, keragu-raguan yang sempat lahir menjadi satu tekad dalam bendera organisasi yang kita yakini akan mampu menjadi alat perjuangan seluruh massa mahasiswa Indonesia.

Kongres I FMN merupakan momentum bersejarah yang akan selalu dikenang oleh seluruh anggota. Momentum bersejarah ini dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2004 di Metro, Bandar Lampung. Lebih dari 200 orang utusan dari berbagai daerah ambil bagian untuk membantu mengelaborasikan pengalaman praktek di setiap kota cabang FMN. Beberapa agenda penting dibahas dalam Kongres, diantaranya : LPJ Komite Pusat, LPJ Badan Persiapan Kongres (BPK), pandangan umum cabang-cabang,  Perumusan program perjuangan dan AD/ART FMN, pemilihan Pimpinan Pusat beserta DPP FMN, yang kemudian diteruskan dengan melakukan rapat Pleno DPP FMN. Meskipun terdapat bebererapa pandangan yang berbeda di dalam forum Kongres, namun kesatuan menentukan garis perjuangan Demokratis Nasional menggema menginspirasi semangat didirikannya FMN sebagai alat perjuangan pemuda mahasiswa. Dalam Kongres ini dipilih komite pimpinan pusat baru yang akan memimpin organisasi secara nasional selama 2 tahun menuju Kongres selanjutnya, dimana Hersa Krisna Muslim ditunjuk sebagai Ketua FMN dan Seto Prawono ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal. Kepengurusan baru dengan formasi badan pimpinan baru yang membawa semangat baru FMN.

Periode 2004 – 2005 merupakan periode sosialisasi hasil-hasil dari Kongres I FMN. Garis Perjuangan Demokratis Nasional kesimpulan dari tesis masyarakat yang Setengah Kolonial dan Setengah Feodal telah memberikan spirit perjuangan yang lebih jelas bagi arah perjuangan organisasi, meskipun wacana soal garis ini teramat asing ditengah-tengah gerakan pada waktu itu. Tapi langkah untuk mengkonkritkan pandangan dan praktek Garis yang baru ini terus dilakukan. Upaya meletakkan garis ini menjadi bagian dari aktivitas anggota langkah – langkah progresif dilakukan, diantaranya yang paling menonjol pada periode ini dilaksanakannya Konferensi Pendidikan di Palembang. Pada Konferensi yang berlangsung selama 5 hari telah menghasilkan kurikulum baku pendidikan FMN dengan tahapan Pendidikan Penerimaan Anggota (PPA), Pendidikan Dasar Organisasi (PDO), dan Pendidikan Kepemimpinan Organisasi (PKO). Pendidikan sebagai pondasi tegakknya organisasi telah dilengkapi dengan kurikulumnya.

Pada periode ini pula FMN intensif untuk menjalin komunikasi dengan geakan rakyat di Internasional. Tahun 2005 FMN menghadiri pertemuan ILPS di Hongkong pada saat momentum kampanye anti WTO, dalam pertemuan ini juga FMN mengklarifikasi beberapa komunikasi yang tidak terjalin dengan baik yang sempat menyebabkan subjektivitas kawan-kawan gerakan Internasional terhadap FMN. Pada momentum yang penuh semarak perjuangan anti imperialisme, FMN resmi menjadi salah satu member ILPS di Indonesia, selain GRI, dan PERPENI. Selain itu komunikasi juga mulai terjalin baik dengan kawan-kawan Asiant Student Asociation (ASA).

Di Tahun 2006, FMN mengambil langkah maju dengan menyelenggarakan pendidikan pimpinan secara nasional. Untuk membangun pondasi organisasi dengan lahirnya pimpinan-pimpinan massa yang siap memimipin organisasi kedepan. Keberhasilan organisasi di peroleh pada periode ini, dimana berdirinya FMN di Cabang Medan dan Denpasar.

Kongres Nasional II

Kongres II FMN dilaksanakan pada bulan Agustus 2006, di Kota Lembang, Bandung – Jawa Barat. Di isi dengan Pandangan LPJ PP FMN periode sebelumnya mengambil tema “Pertahankan dan Kembangkan Keberhasilan yang Diraih, Perbaiki Kesalahan serta Kekurangan Untuk Memajukan Perjuangan Massa”, Front Mahasiswa Nasional sebagai Organisasi Massa Pemuda Mahasiswa. Gerakan Pembetulan sekali lagi di deklarasikan untuk memperbaiki langgam kerja organisasi, dimana semangat memajukan teori dan praktek, Bertalian erat dengan massa, serta Menjalankan Kritik Oto Kritik  bisa menjadi bagian dari keseharian anggota FMM di seluruh nasional. Pada akhirnya Kongres II ini menghasilkan resolusi-resolusi tentang pekerjaan politik dan Organisasi, program perjuangan, konstitusi, dan kepengurusan DPP FMN. Pada Kongres II ini, bendera FMN dengan dasar merah dengan bintang warna emas 5 buah yang salah satunya bintang besar ditengah-tengah diganti dengan bendera warna dasar putih dengan tulisan FMN warna merah miring menuju ke satu bintang emas. Komite pimpinan pusat dengan fomasi baru dimana sebagai Sekretaris Jenderal pada waktu itu Ridwan Lukman.

Ditengah kepengurusan komite pimpinan pusat yang baru ini beberapa kemajuan diperoleh. Diantaranya berdirinya FMN di Pontianak, Makasar, Bojonegoro, Manado dan Bangka Belitung. Pada peiode ini beberapa kolektif DPP dan CA DPP FMN mengambil pilihan berani dengan menerjunkan dirinya di gerakan rakyat, dari 27 Anggota sebanyak 12 orang terjun membangun organisasi rakyat. Sebuah keberanian yang patut menjadi suri tauladan bagi kemajuan perjuangan demokratis nasional di Indonesia. Pada pleno V Jogjakarta Sekretaris Jenderal FMN digantikan oleh Nurshohib Anshary dengan formasi komite pimpinan pusat yang berubah juga. Dibawah kepemimpinan komite baru ini roda perjalanan organisasi sampai pada terlaksananya Kongres III FMN di Mataram.


Kongres Nasional III

Kongres yang ke 3 FMN dilaksanakan di Mataram – NTB. Semangat baru dengan tema umum “Tegakkan Perjuangan Pemuda Mahasiswa Untuk Menyokong Sepenuhnya Perjuangan Buruh dan Tani dengan Memperkuat, Memperbesar Organisasi serta Memperluas Pengaruh Politik di Tengah Massa”. Dihadiri oleh 20 Perwakilan cabang diseluruh Indonesia (Medan, Jambi, Palembang, Lampung, Bangka Belitung, Jakarta, Bandung, Purwokerto, Jogjakarta, Wonosobo, Surabaya, Jombang, Malang, Denpasar, Mataram, Lombok Timur, Makasar, Palu, Manado, dan Pontianak). Pada kesempatan ini dipilih formasi DPP baru yang selanjutnya memilih Nurshohib Anshary sebagai Koordinator DPP FMN dan juga Sekretaris Jenderal FMN. Dalam Kongres ini dibahas lebih konkrit tentang kedudukan FMN sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa perkotaan yang penting memperhatikan tindakan aksi reaksi cepat, intens, dan legal demokratik. Aspek Legal demokratis dan defensive aktif menjadi taktik organisasi. Legal demokratis artinya legalitas organisasi dan legalitas kampanye politiknya berdasarkan sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Sementara defensive aktif memiliki makna bahwa dalam menjalankan kampanye massa untuk menyuarakan soal-soal rakyat, kita tidak bisa terhindar dari tindakan represif kekuatan reaksioner, dan tentu saja kita tidak dibenarkan untuk melakukan opensif aktif melakukan serangan balasan, tapi bertahan dengan intensif melakukan kampanye yang menarik, atraktif, intensif, dan bersifat nasional. Kongres III yang membuat FMN jauh lebih dewasa untuk membuat dirinya sebagai organisasi massa.




Konfernas dan Pleno III FMN

Perjalanan organisasi ditnadai dengan momen bersejarah pelaksanaan konferensi nasional. Konferensi dijalankan pada tanggal 20 – 23 November 2009 di Banyumas yang dihadiri oleh 52 delegasi dari berbagai kota. Konfernas diadakan untuk melakukan pemeriksaan kurikulum pendidikan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Selain itu dalam konfernas juga dibahas tentang praktek kerja massa FMN. Perubahan kurikulum sebenarnya sudah dinanti oleh anggota-anggota di berbagai daerah karena ada kebutuhan mendasar untuk meletakkan kebutuhan ide-ide yang lebih baru menjawab upaya konsolidasi dan perluasan organisasi.  Rekomendasi dari konfernas mendorong dilaksanakannya Training Of Trainer (Pendidikan Untuk mencipakan tenaga edukator) dan panduan tentang Kerja Massa. Pasca pelaksanaan konferensi kegiatan dilanjutkan dengan diselenggarakannya rapat Pleno DPP FMN III, ditempat yang sama. Selanjutnya menghasilkan program 6 bulan organisasi.


Karakter Pemuda Mahasiswa Dalam Masyarakat Indonesia yang SJSF


Pemuda adalah salah satu golongan atau sektor yang berjumlah besar dari masyarakat Indonesia. Mereka berusia muda antara 15-35 tahun, yakni laki-laki dan perempuan, dan memiliki ciri khusus yakni tingkat mobilitas yang tinggi, dinamis dan aktif. Sebagai unsur yang bertumbuh-kembang, mereka memiliki masa depan untuk bisa mengembangkan dirinya dan membangun  di segala bidang menuju kemajuan masyarakatnya.

Jika dilihat dari aspek usia, mereka berjumlah 82,2 juta lebih (2008) dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 228,5 juta lebih yang mengalami kenaikan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Dari jumlah tersebut, mayoritas tersebar sebagai pelajar dan mahasiswa, buruh, tani, borjuasi kecil perkotaan lainnya (seperti: pekerja merdeka, intelektual, dll). Ketersebaran di setiap sektor dan ciri-ciri khusus menjadikan kedudukan dan peranan pemuda sangat penting sebagai kekuatan produktif dan tulang punggung perjuangan Demokratis Nasional. Sejarah menunjukkan peran penting pemuda dalam gerakan pembebasan nasional, Revolusi Agustus 1945, dan Gerakan Mei 1998.

Akan tetapi, penghisapan dan penindasan imperialisme, feodalisme dan kapitalisme-birokrat membuat mereka terlempar ke jalan ketidakpastian masa depan, seperti: PHK massal, ketiadaan kesempatan kerja, penghidupan yang tidak layak, biaya pendidikan yang mahal, keterbelakangan sosial, dan diskriminasi.  Di bawah sistem penindasan Setengah Jajahan- Setengah Feodal (SJSF), masa depan mereka menjadi suram di lapangan  ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga tidak memberikan tempat bagi pengembangan diri untuk belajar  dan bekerja yang benar dan terjamin. Dengan demikian, perkembangan kekuatan produktif pemuda terhambat selama sistem penindasan berlangsung terus. Kepentingan sosial-ekonomi mereka sangat berkepentingan terhadap tersedianya lapangan pekerjaan dan pendidikan yang patriotis, ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.

Problem Umum dan Khusus Sektor Pemuda Indonesia 
di Bawah Penindasan Setengah Jajahan- Setengah Feodal

Secara umum, krisis umum imperialisme membuat keadaan rakyat di negeri-negeri terjajah/setengah jajahan-setengah feodal mengalami krisis kronis yang berkepanjangan. Krisis di negara-negara industri maju adalah akibat langsung dan tidak terhindarkan dari krisis umum akibat kesenjangan ekonomi dunia. Krisis tersebut berbentuk bertumpuk-tumpuknya kelebihan produksi barang-barang hasil industri, khususnya barang-barang teknologi tinggi dan persenjataan, yang tidak terjual seluruh di pasar dunia. Krisis ini disebut sebagai krisis overproduksi. Penyebabnya adalah kesenjangan ekonomi di mana daya beli masyarakat dunia tidaklah merata dan kemiskinan yang menjalar di mana-mana.

Besarnya kelebihan produksi di negara-negara industri yang tidak bisa diputar dalam perdagangan menyebabkan lahirnya pemecatan hubungan kerja yang dialami oleh kaum buruh di negeri-negeri maju demi penghematan. Akan tetapi, usaha penghematan tersebut berujung pada tumpukkan kelebihan barang hasil industri yang tidak terbendung. Keadaan tersebut menyebabkan negara-negara industri maju (imperialis) kerap memaksa rakyat di negeri-negeri terjajah dan bergantung untuk membeli kelebihan barang hasil industri negeri-negeri imperialis. Ada tiga kepentingan imperialis terhadap negeri Terjajah/SJSF, yaitu: 
1.     kepentingan untuk menguasai kekayaan alam; 
2.     kepentingan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah yang berlimpah; 
3.     kepentingan untuk memasarkan atau membuang kelebihan barang dagangannya. 

Usaha demikian yang dilakukan untuk  menyelamatkan diri dari krisis ekonomi yang terus-menerus dan usaha itu juga tidak bisa membuat imperialis lepas dari krisisnya.


Kaum kapitalis monopoli asing dan borjuasi besar komprador mengutak-atik teori dan metode untuk menyelamatkan diri. Untuk itu, mereka meningkatkan intensitas penghisapan terhadap klas buruh dan rakyat pekerja lainnya dan mengembangkan sikap agresi perang dengan kedok “demokrasi”, “tatanan ekonomi yang berkeadilan” dan “hak asasi manusia (HAM)”. Kekuatan produktif terbaik di dunia ini, klas buruh, di negeri-negeri imperialis dan Terjajah/SJ-SF mengalami kehancuran  melalui serangkaian PHK, pemotongan upah, dan penambahan jam kerja. Kaum tani semakin kehilangan tanahnya, tercekik riba dan hutang, dan meningkatnya biaya sewa tanah. Sementara itu, borjuasi kecil perkotaan semakin kehilangan uangnya akibat kenaikan harga barang dan pungutan kapitalis birokrat (kabir) setiap hari, sedangkan pelajar dan mahasiswa mengalami masa depan yang suram karena biaya pendidikan yang semakin mahal.

Di bawah dua sistem penghisapan dan penindasan, pemuda Indonesia memiliki masalah umum yang sama dengan rakyat selain masalah khusus utama, yaitu: Pendidikan dan pekerjaan. Masalah umum dan khusus tersebut hanya didapatkan oleh pemuda dari klas-klas tertindas—seperti: buruh, tani, klas menengah—pengusaha dan pedagang menengah—dan borjuasi kecil lainnya—yang bertentangan dengan kaum muda dari klas berkuasa, yakni: borjuasi besar (komprador) dan tuan tanah. Oleh karena itu, pengertian Pemuda Indonesia dalam zaman imperialisme saat ini adalah mereka yang tertindas oleh dua sistem penindasan: imperialisme dan feodalisme.

Bagaimana keadaan umum pemuda yang tersebar tersebut?

Diktator reaksioner ini tidak memberikan kesempatan bagi pemuda untuk mengembangkan dirinya dan berusaha menjadikan pemuda sebagai kekuatan cadangan yang dipergunakan tenaganya bagi keuntungan borjuasi besar dan tuan tanah. Pemuda Indonesia, secara umum, menjadi tenaga produktif yang tidak berkembang secara ekonomi, politik dan kebudayaan karena dihambat perkembangannya oleh dua sistem penindasan yang berlaku dan selalu menghadapi kesulitan untuk maju dan kepastian hidup yang sejahtera. Di bawah ini uraian singkat situasi pemuda yang tersebar di berbagai klas masyarakat;

PertamaPemuda buruh sebagai bagian kekuatan produktif termaju, kaum buruh, menghadapi perasan hidup yang berlipat melalui penghisapan nilai lebih dalam aktivitas produksi. Watak mereka dibentuk dalam serangkaian produksi yang bersifat massal dan kolektif dalam kesatuan disiplin kerja.  Mayoritas mereka bekerja pada industri bergantung seperti halnya negeri-negeri lain di bawah penindasan sistem SJSF yang bercirikan: industri manufaktur yang hanya dilengkapi teknologi rendah atau menengah yang diimpor dari kapitalis monopoli asing, tidak membutuhkan tenaga besar yang memiliki ketrampilan tinggi dan terdidik baik, tidak berbasiskan industri dasar, dan berorientasi eksport. Dengan keadaan ini, pemuda buruh yang memiliki potensi tinggi hanya dibatasi untuk menjadi pelayan kapitalis monopoli asing—melalui bonekanya borjuasi besar komprador—dan mengalami keterbelakangan dalam aspek kekuatan produktif dibandingkan di negeri-negeri industri.

Keadaan pemuda buruh ini menjadikan mereka sasaran empuk penghisapan imperialis dan borjuasi besar komprador yang mudah dipakai dengan harga murah dan dibuang tak berarti. Walaupun demikian, pemuda buruh (perempuan dan laki-laki) mendapatkan pelajaran banyak dari sistem kerja yang dilalui dan membentuk karakteristik khusus, yakni: kolektifitas yang tinggi, kebiasaan bekerja dalam keterhubungan kerja yang integral, tuntutan disiplin tinggi dan bersifat massal (sosial) dalam produksi menjadikan memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama buruh dan terbiasa dengan kehidupan kolektif. Ini yang membuat karakteristik sosialisme dalam kaum buruh. Hal demikian bukan berarti buruh akan mudah begitu saja memahami penindasan yang dialami, karakter yang terbentuk dan kesadarannya secara spontanitas. Akan tetapi, dari setiap jutaan buruh yang tersebar di pabrik-pabrik dan unit-unit kerja lainnya (sesuai sektor atau jenisnya)  pasti melahirkan beberapa pimpinan massa yang memiliki kesedaran relatif lebih tinggi dibandingkan massa buruh lainnya—secara inisiatif, pengetahuan, keberanian, kecakapan, keteladanan, dan lain-lain. Itu merupakan hukum obyektif yang tidak bisa dipungkiri.

KeduaBagaimana dengan pemuda tani? Mereka memiliki problem umum yang sama dengan kaum tani, yakni: penghisapan oleh sisa-sisa feodalisme.  Basis sosial dalam sistem penghisapan sisa-sisa feodalisme , yakni: Monopoli tanah, ekonomi komiditi dengan orientasi ekspor, produksi skala besar dalam perkebunan atau sektor agraria lainnya. Keadaan ini membuat pemuda tani tidak mampu mengembangkan kekuatan produktif karena sistem itu tidak membutuhkan tenaga yang trampil dan terdidik baik serta diupah secara murah.

Kaum tani, di seluruh lapisan klasnya, merupakan klas dari sistem lama (feodalisme) yang memiliki sejarah lama dalam cara bekerja dan kepemilikan alat produksi perseorangan. Dengan demikian, ia berbeda dengan proletariat yang bekerja dalam sistem kapitalis yang memiliki kesatuan sistem produksi, disiplin kerja tertentu, dan sistem pengupahan tertentu. Selain itu, sistem penghisapan proletariat melalui pencurian nilai lebih (surplus value)  berbeda dengan kaum tani yang melalui surplus product. Perbedaan itu juga membentuk karakteristik khusus pemuda tani yang terbelakang (kekuatan produktif) dibandingkan pemuda proletariat. Ini buah dari kerusakan sistem SJSF yang menempatkan penghisapan sisa-sisa feodalisme sebagai basis sosial imperialisme.

Ketiga, borjuasi kecil (BK) perkotaan, seperti: intelektual (pelajar, mahasiswa, dosen, guru), pekerja merdeka (wartawan, pengacara, dokter, seniman, dll), pengusaha dan pedagang kecil, dan PNS rendahan. Pemuda pada klas ini merupakan golongan bermilik kecil yang berlapis tingkatannya, yakni: bawah, menengah dan atas. Mereka memiliki peluang dan keinginan untuk meningkatkan kapitalnya dengan menggunakan kemampuan kapital kecil sebelumnya dan aspek kelebihan pada intelektual yang dimiliki. Setiap tingkatan dalam klas BK menunjuk sebuah kedudukannya dalam relasi produksi dan juga politiknya. Bagi pemuda yang menjadi guru rendahan di sebuah sekolah merupakan BK lapisan bawah yang tidak melebihi keadaan ekonomi seoorang pengusaha kecil yang menguasai alat produksi dan mempekerjakan beberapa pekerja.  Begitu juga, mahasiswa memiliki kelebihan yakni pada aspek intelejensia yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengakumulasi kapital—seperti halnya pekerja merdeka

Masalah kaum intelektual tidak lepas dari ranah BK ini. Kemampuan pada aspek pengetahuan dan ketrampilan menjadikan mereka menjadi golongan yang juga dipergunakan borjuasi besar dan menengah dalam di sektor-sektor khusus. Walaupun demikian, mereka juga adalah kelompok yang sering dihisap dan ditindas jika mengajukan tuntutan-tuntutan demokratis dan mengambil sikap politik yang progresif. Keadaan krisis kronis yang berkepanjangan mengakibatkan mereka kehilangan pendapatan, jaminan kerja dan hidup yang layak—khususnya BK seksi tengah dan bawah. Selain itu, mereka tidak mendapatkan kesempatan luas dalam berpatisipasi secara ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga mengalami kemacetan dalam mengembangkan diri mereka. Keterpurukan ini membuat rentan bagi pemuda dari klas ini jatuh dalam kebudayaan terbelakang imperialisme yang ditandai dengan sikap individualisme yang tinggi dan jatuh pada sikap: bimbang, sinis, dan sensasional.

Keempat, penganguran. Kelompok ini adalah cadangan proletariat yang tidak tertampung dalam industri. Pengangguran di Indonesia memiliki hubungan erat yang dengan orientasi ekonomi politik yang bergantung pada kapitalis monopoli asing dan berbasis pada penghisapan sisa-sisa feodalisme. Dampaknya, kekuatan produktif ini tidak mendapatkan tempat dalam sistem SJSF yang lebih membutuhkan tenaga-tenaga murah, ketrampilan dan pendidikan rendah, dan menerapkan fleksibilitas tenaga kerja.

Di Indonesia, pengangguran mencapai + 42 juta lebih yang terbagi atas pengangguran tetap dan pengangguran yang hanya bekerja serabutan bersifat jangka pendek. Mereka tersebar di pedesaan dan perkotaan. Beberapa pemuda pada lapisan ini, di perkotaan, jatuh ke dalam tindakan-tindakan anti sosial seperti: penggunaan narkoba, pencopet, perampok, penipu, pelacuran, geng-geng, dll. Sedangkan pemuda yang pernah mengecap pendidikan menengah atau tinggi hanya mampu melakukan kerja serabutan yang sifatnya sementara. Demikian halnya pemuda desa yang kehilangan tanahnya meninggalkan desa menuju kota menjadi pedagang kecil hanya dalam beberapa bulan saja karena tidak mendapatkan perbaikan hidup yang diharapkan.

Bagaimana kediktaturan ini menghancurkan 
kekuatan produktif dari kalangan pemuda ini?

Begitu besar cita-cita pemuda sehingga mereka berharap bisa mendapatkan pendidikan yang layak di sekolah atau universitas negeri. Alasan yang dominan atas pilihan tersebut adalah: biaya murah yang bisa dijangkau seluruh lapisan klas dan jaminan kualitas pendidikan yang bermutu. Akan tetapi, pemerintah reaksioner ini semakin melepaskan kewajibannya untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang terjangkau. Kediktaturan borjuasi besar komprador dan tuan tanah ini lebih memilih memangkas subsidi pada sektor-sektor publik untuk alokasi investasi   besar anti rakyat yang menguntungkan imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri. Keadaan demikian membuat angka partisipasi sekolah sangat rendah. Menurut data Pemerintah RI tahun 2006, angka partisipasi sekolah pada usia 16-18 tahun hanya 53,92 persen, sedangkan usia 19-24 hanya 11,32 persen.

Sementara itu, anak buruh dan kaum tani—di usia sekolah—yang mendapatkan pendidikan hanya sekitar 20 persen dari seluruh peserta pendidikan formal. Karena itu, banyak anak buruh dan kaum tani hanya mampu bersekolah pada level SD dan SMP saja, bahkan yang tidak tamat karena masalah biaya pendidikan yang mahal. Nasib yang sama dirasakan juga oleh pemuda yang berlatarbelakang borjuasi kecil perkotaan seksi bawah. Akibat dari biaya pendidikan yang tinggi, banyak dari pemuda-pemuda ini tidak sanggup mengenyam bangku sekolah dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan anti-sosial, seperti: menggunakan narkoba, terlibat dalam pencurian dan pelacuran, bergabung dengan gang-gang, dan lain-lain.


Pemerintah tuan tanah besar komprador ini berulangkali membuat usaha bagi rakyat agar mudah mendapatkan pendidikan tetapi sekian juta kegagalan tidak terpecahkan. Banyak program dan aturan yang dikeluarkan—seperti: Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Badan Hukum Pendidikan (BHP), dll—tetapi tidak bisa memecahkan problem secara integral sehingga tinggi  angka putus sekolah dan ketidakmampuan menjangkau pendidikan di perguruan tinggi. Kediktaturan ini semakin menunjukkan watak kapitalis birokratnya dengan intensif mencoleng uang subsidi rakyat untuk membiayai krisisnya dan mengeruk uang rakyat sebesar-besarnya melalui penyelenggaraan pendidikan yang mahal untuk meningkatkan kapitalnya. Selain itu, mereka membuat kelembagaan “demokratis” yang hakekatnya palsu—seperti Komite Sekolah, Wali Amanah, dll—dalam memecahkan masalah pendidikan setempat yang ditujukan melegitimasi ketidakmampuan pemerintah dan menyerahkan pemecahannya kepada masyarat—dengan label partisipasi publik, transparansi dan akuntabilitas. Padahal komposisi lembaga itu dikuasai para kapitalis birokrat dan tuan tanah.

Pada lapangan kebudayaan ini, pelajar dan mahasiswa diajarkan dan menerima teori-teori lama yang telah sekarat sebagai hukum alamiah. Pengetahuan mereka hanya dibatasi untuk orientasi industri teknologi rendah serta rakitan dan mengabdi pada dominasi teknologi imperialis. Di ilmu sosial, pelajar dan mahasiswa diajarkan ilmu cara untuk menyesuaikan kebutuhan “globalisasi” melalui peningkatkan SDM yang berlimpah dengan slogan: keunggulan komparatif yakni sumber agraria dan tenaga kerja yang melimpah, kreatifitas dan kewirausahaan, keprofesionalan a la borjuasi. Selain itu, dipaksakan untuk menerima “demokrasi”  a la imperialis dan sarana-sarana demokrasi yang terinstitusionalkan sebagai bentuk masyarakat beradab tanpa mempersoalkan akar krisis yang menyebabkan kehancuran masyarakatnya. Menjawab persoalan kemiskinan hanya dibatasi pada aspek  solidaritas sosial yang semu; persoalan korupsi yang merajalela disempitkan sebagai masalah ahklak; krisis finansial dibatasi sebagai buah spekulasi yang berlebihan; masalah penyakit sosial disimpulkan sebagai kekeringan iman dan jauh dari ajaran agama.

Salah satu keburukan terbesar yang diajarkan oleh nilai-nilai kapitalis dan feodal adalah pemisahan di antara pengetahuan dan pengalaman praktis. Semua pengetahuan yang disebarluaskan oleh klas penindas mengandung kebohongan yang amat merusak dan munafik, kemudian membentuk gambaran palsu masyarakat kapitalis yang dibesar-besarkan sebagai masyarakat yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.  Dalam sistem pendidikan ini, generasi pemuda dari buruh dan tani tidak mendapatkan pendidikan yang baik dibandingkan mereka yang dididik dalam kepentingan kaum borjuasi besar dan tuan tanah. Pemuda tani dan buruh dilatih dalam cara tertentu untuk menjadi pelayan yang berguna bagi klas penindas sehingga mampu menciptakan keuntungan selama hal tersebut tidak menggangu kedamaian milik imperialis, komprador dan tuan tanah. Dengan demikian, pelajar dan mahasiswa diajarkan untuk menghianati tanah airnya, bersikap anti ilmiah, anti proletariat dan klas pekerja lainnya, serta tidak demokratis.

Pelajar dan mahasiswa tidak akan pernah mendapatkan kebebasan akademik dan hak demokratis lainnya. Situasi krisis yang berwatak kronis di negeri SJSF akan membatasi hak demokratis pelajar/mahasiswa dengan tindasan budaya dan politik. Kekuasaan fasisme akan semakin bertumbuh seiring dengan krisis kronis yang berkepanjangan sehingga hak-hak politik akan semakin dikekang dan ruang demokratis di lembaga pendidikan tidak akan pernah ada. Pihak kapitalis birokrat akan semakin banyak menciptakan aturan yang membatasi hak politik pelajar/mahasiswa dan tidak segan-segan berlaku keras, seperti: pemberian sanksi akademik, drop-out (DO), bahkan mengkriminalkan setiap tuntutan demokratis, kritik, dan aksi massa.

Kita bisa melihat buah dari sistem pendidikan telah banyak melahirkan pengangguran. Dari 110 juta lebih angkatan kerja (data tahun 2008), hanya 5,5 persen lulusan dari perguruan tinggi, SD ke bawah 58 persen, SMP/SMU 37 persen; yang bisa bekerja di segala sektor dengan status pekerja tetap dan serabutan. Sementara itu, pemuda calon pekerja yang berusia 15-24 tahun sebesar 56 persen adalah pengangguran. Angka demikian semakin menambah pengganguran di Indonesia yang sudah mencapai 42 juta orang, apalagi ditambah rencana PHK pekerja yang diperkirakan mencapai 3 juta orang pada 2009 akibat krisis finansial dunia pada akhir 2008 lalu.

Dari masalah diatas maka Pemuda Indonesia secara khusus mengalami penindasan dua hal, yaitu:
a.     Lapangan ekonomi; Tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan tetap sehingga banyak kekuatan produktif pemuda menjadi pengangguran dan sebagian hanya terserap di pekerjaan serabutan.
b.     Lapangan kebudayaan:
1.     Tidak bisa mendapatkan akses pendidikan di setiap level—terutama pemuda yang berlatar belakang klas keluarga buruh, buruh tani/tani miskin/tani sedang bawah, serta borjuasi kecil perkotaan seksi bawah—karena tingginya biaya pendidikan dan tidak menjangkau ke seluruh rakyat—terutama di perkampungan dan pedalaman desa.
2.     Pendidikan yang berorientasi untuk mengabdi penindasan imperialisme dan feodalisme sehingga berwatak pro imperialis dan tuan tanah, anti ilmiah, anti demokrasi, dan anti massa rakyat. Dengan keadaan demikian, lembaga pendidikan menjadi benteng reaksi yang keras terhadap tuntutan demokratis—seperti: kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi, dll.

Tugas FMN dalam Perjuangan Demokratis Nasional


Sebagai organisasi massa Mahasiswa Demokratis Nasional, FMN memiliki tanggung jawab perjuangannya untuk selalu setia mendukung perjuangan Demokratis Nasional dan perjuangan rakyat lainnya untuk membebaskan diri dari segala bentuk penindasan oleh klas reaksioner musuh rakyat. Tanggung jawab ini didasarkan atas kedudukan dia di dalam struktur masyarakat sebagai golongan pemuda yang  memiliki kesempatan belajar lebih tinggi dari golongan pemuda lainnya. Selain itu memiliki kedudukan di perkotaan yang dekat dengan pusat pemerintahan. Dengan kesempatan yang dimiliki tentu pemuda mahasiswa lebih punya keleluasaan untuk melakukan studi, mengakses informasi dan melakukan aksi di wilayah perkotaan. Sebagai organisasi pemuda mahasiswa FMN mengemban tugas mengorganisasikan kekuatan, menggerakkan barisannya dan melakukan perjuangan secara aktif untuk melakukan desakan politik kepada pemerintah. Untuk itu beberapa pekerjaan Politik dan Organisasi yang secara konkrit perlu dilakukan FMN adalah :
1.     Mendukung dan ambil bagian dalam Perjuangan Rakyat Tertindas di Indonesia untuk Membebaskan diri dari belenggu imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat menuju Indonesia yang merdeka dan demokratis sepenuhnya.
2.     Mendukung perjuangan buruh, tani, kaum miskin kota, kaum perempuan dan suku bangsa terasing dan seluruh rakyat tertindas di Indonesia untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan atas hak-hak demokratisnya.
3.     Memperjuangkan Sistem Pendidikan Nasional Yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat.
4.     Memperjuangkan nasib pemuda dan mahasiswa untuk mendapatkan hak atas pendidikan dan lapangan pekerjaan yang meliputi :
  • Biaya pendidikan murah.
  • Penyediaan sarana-pra sarana pendidikan yang layak.
  • Penghentian segala bentuk penyelewengan biaya pendidikan, baik berupa pungli dan korupsi dana pendidikan.
  • Kebebasan akademik bagi mahasiswa dan dosen.
  • Kebebasan berpendapat dan berorganisasi bagi pelajar, mahasiswa, guru dan dosen
  • Peningkatan kesejahteraan bagi guru, dosen dan karyawan
  • Penghentian segala bentuk diskriminasi dan pelecehan fisik atas nama gender, suku bangsa dan ras di dalam dunia pendidikan
  • Jaminan atas lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak
  • Pemberantasan buta huruf bagi seluruh rakyat Indonesia
  5.  Program Aksi  Front Mahasiswa Nasional
  • Membangun Front Mahasiswa Nasional sebagai ormas mahasiswa berskala nasional, besar, berpengaruh luas dan bertalian erat dengan rakyat.
  • Membangkitkan dan mendidik massa pemuda-mahasiswa menjadi kekuatan yang patriotis, demokratis dan militan.
  • Melakukan perjuangan massa bersama pemuda dan mahasiswa untuk meraih hak atas pendidikan dan pekerjaan
  • Menggorganisasikan massa mahasiswa di seluruh kampus di Indonesia
  • Membangun kemandirian ekonomi dan keuangan organisasi
  • Mengabdi dan setia melayani rakyat
  • Menggalang aliansi dengan berbagai kekuatan pemuda dan mahasiswa di Indonesia untuk memperjuangkan nasib pemuda dan mahasiswa, serta bersama terlibat dalam perjuangan rakyat tertindas di Indonesia.
  • Mempererat persatuan dan kerjasama politik dengan kekuatan rakyat tertindas, terutama dengan gerakan buruh dan tani
  • Membangun solidaritas internasional anti imperialisme dengan mempererat persatuan dan kerjasama politik dengan kekuatan rakyat, pemuda dan mahasiswa dari belahan dunia.
Selamat Memajukan Teori dan Praktek
Pemuda Mahasiswa Bangkit Melawan Penindasan !!!
Berjuang Bersama Rakyat !!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Perjuangan Massa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger