Perjuangan Massa
Headlines News :
index

Label 4

>> << Your label here

index

Label 3

Latest Post

Pemuda dan Mahasiswa Bersatulah!!

Written By Unknown on Selasa, 29 Oktober 2013 | 07.14




”Bangun Persatuan dan Solidaritas perjuangan pemuda Internasional-Lawan kebijakan neoliberal dan skema globalisasi imperialisme”
Tegakkan hak asasi dan kedaulatan rakyat-Bubarkan WTO!!

Dokumen Organisasi
Diterbitkan oleh: Departemen Pendidikan dan Propaganda
Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional (FMN)


Arus globalisasi terus menyebar dan telah mempengaruhi perkembangan Sosial,

Ekonomi, Politik dan Kebudayaan di berbagai penjuru dunia. kapitalisme monopoli Internasional (Imperialisme) sebagai fase akhir dari system kapitalisme sekarang ini, terus menyebarkan pengaruh dan memperkuat dominasinya diberbagai belahan dunia. Dengan watak dasarnya yang “Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif” telah menciptakan kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat diseluruh dunia. Dalam perkembangan sekarang ini, watak tersebut telah manifes dan semakin nyata ditunjukkan dari berbagai skema yang dijalankannya diberbagai Negeri. Hal tersebut terutama dalam upaya penyelematan diri dari gelombang krisis yang dihadapinya.

Dalam usaha untuk menyelesaikan krisisnya sekarang ini, kapitalisme monopoli telah menggunakan berbagai cara yang tidak terlepas dari intensifnya penghisapan terhadap rakyat diseluruh dunia. Dalam perkembangan sekarang ini, seluruh instrumen dan mekanisme yang dimilikinya, kembali diintensifkan kian massif sebagai skema untuk terus melipatgandakan keuntungan diatas penderitaan rakyat. Salah satu dari seluruh skema tersebut yakni organisasi perdagangan dunia (WTO), yakni skema kerjasama perdagangan yang paling besar dan bahkan telah menjadi satu-satunya lembaga perdagangan internasional yang mengikat bagi negara-negara anggotanya.
 
Dengan kebijakan neoliberalisme yang dijalankan dibalik WTO, rakyat terus dijerat dengan berbagai bentuk liberalisasi. Rakyat diberbagai negeri ditimpakan dengan beban pajak yang terus meningkat, dilain sisi pencabutan subsidi public kian intensif, sementara itu pendapatan rakyat terus menurun. Desember 2013 mendatang, WTO telah menyiapkan diri untuk kembali melakukan konsolidasi setelah mengalami kebuntuan demi kebuntuan (deadlocks) atas sejumlah kesepakatannya disetiap putaran, khususnya Putaran Hong Kong 2008 silam. Pertemuan yang telah ditetapkan akan diselenggarakan di Bali, Indonesia secara spesifik akan membahas tentang “Agriculture, Trade facilitation dan, liberalisasi Jasa”.

Dari berbagai kebijakan dan kesepakatan yang telah ditetapkan selama ini, WTO telah membawa berbagai dampak buruk bagi rakyat disetiap sector diseluruh dunia. Demikian pula halnya dengan golongan pemuda yang sedikitpun tak terhindarkan dari musibah yang ditempakan oleh kapitalisme melalui skema perdagangan tersebut. Selain dampak yang dirasakan secara umum bersama rakyat disektor lainnya, pemuda secara khusus juga dihadapkan terutama dengan persoalan atas akses pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Dalam catatan panjang sejarah perkembangan masyarakat dunia, sejatinya pemuda telah terbukti menjadi salah satu kekuatan ampuh untuk perubahan sosial. Dengan semangat dan kehausannya atas ilmu pengetahuan yang tak pernah ada kata puas, pemuda telah membawa berbagai penemuan-penemuan dan inovasi baru untuk kemajuan umat manusia. Namun dilain sisi, dalam setiap perkembangan jaman pula, masa depan pemuda selalu dalam posisi yang kekurangan menjanjikan bagi pemuda itu sendiri. Dalam skema neoliberalisasi yang semakin Intensif, subjeknya sebagai pemuda dengan seluruh potensinya justeru telah direndahkan dan disalah gunakan.

Di mana pun di dunia ini, pemuda telah menjadi korban dari ”kerjasama-kerjasama” dan kooptasi kapitalisme selama ini. Secara khusus disektor pendidikan, melalui GATS-WTO kapitalisme monopoli telah menjalankan kebijakan pencabutan subsidi pendidikan sebagai programnya secara internasional. Akibatnya biaya pendidikan dari tahun ketahun semakin naik dan tidak terjangkau oleh rakyat. Pemerintah seluruh negeri nggota WTO telah meninggalkan tanggung jawabnya untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses secara luas dan terbuka dengan melakukan deregulasi pendidikan yang diletakkan sebagai komoditas yang akan dijual oleh para pencatut (pemangkas), yakni intelektuil dan tenaga pendidik kaki tangan kapitalisme.

Perusahaan-perusahaan swasta juga memeras keuntungan berlipat dari sector dan pelayanan public yang seharusnya dibiayai oleh negara, seperti kesehatan, transportasi, dll. Sementara tenaga kerja diarena domestic untuk kebutuhan global masih terbatas, sehingga mandat sistem ekonomi dunia kemudian adalah memaksa migrasi dan ekspor tenaga kerja dengan komoditas utama yakni pemuda dan perempuan yang dapat dengan mudah disalahgunakan untuk perdagangan tenaga kerja dengan upah murah. Artinya bahwa, dibalik skema liberalisasi yang menjadi prinsip dasar dalam organisasi perdagangan global ini (WTO) adalah skema kebijakan neoliberalisme yang tidak berguna dan telah membawa dampak buruk yang menyakitkan bagi rakyat secara global, termasuk pemuda.

Dapat dibayangkan bahwa kebangkitan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melalui Konferensi Tingkat Menteri ke-9 nya di Bali, Indonesia pada bulan Desember mendatang, sebagai peringatan akan intensifikasi skema neoliberalnya bersama skema “perdagangan bebas” dan penindasan liberalisasi lainnya. Dengan demikian, ada tantangan besar bagi para pemuda dan mahasiswa untuk bersatu dengan sektor lain dan rakyat dari berbagai negara untuk melawan seluruh skema dan mekanisme-mekanisme baru imperialis untuk menindas seluruh bangsa di dunia.

Sejatinya kebangkitan WTO saat ini berbicara tentang keputusasaan imperialism AS untuk menjaga kepalanya yang tengah ter-apung akibat depresi besar dan krisis mematikan yang telah diciptakannya sendiri. Kebangkitan WTO kali ini adalah komitmen baru dari sistem ekonomi dunia untuk meng-kooptasi negara-negara berkembang guna mengembangkan pasar dan sekaligus menciptakan persamaan kerjasama antar kapitalis dan di antara Negara-negara pesaing kapitalis.

Namun demikian, pemuda dan seluruh rakyat tertindas didunia, bagaimanapun jua bukanlah sapi perah yang takut atas setiap penindasannya. Gerakan pemuda dalam beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan bukti kekuatan dan kemampuannya menarik kekuatan dari kemenangan-kemenangan dan keberhasilan perjuangan berbagai sektor dan bangsa didunia. Para pemuda diberbagai negeri diseluruh dunia telah melakukan pengorganisasian, diskusi-diskusi, pendidikan, konferensi-knferensi dan, serangkaian forum untuk memperdalam analisis mereka, belajar dari setiap pengalaman perjuangan masing-masing dan bersatu dalam meluncurkan kampanye untuk hak-hak demokratis mereka. Pemuda terus berduyun-duyun ke jalan untuk menuntut hak dasar mereka atas pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Di Kanada dan Chile misalnya, mahasiswa melancarkan serangan besar-besaran yang memobilisasi massa publik dalam skala luas, untuk melawan kenaikan biaya kuliah. Di Meksiko, pemuda mengorganisir aksi protes besar-besaran untuk menuntut pemenuhan atas hak-hak demokratis. Di Amerika serikat (AS), gerakan Occupy “wall street” yang didominasi oleh gerakan pemuda dan dikenal sangat fenomenal pada tahun 2011 lalu, telah dengan cepat segera menjalar menjadi Inpirasi gerakan rakyat diberbagai negeri. Pengalaman gemilang tersebut terus memicu aksi-aksi protes nasional menentang ketimpangan ekonomi, khususnya di AS sendiri.

Di seluruh Eropa, pemuda bersatu melawan langkah-langkah penghematan yang menyebabkan pengangguran besar-besaran. Di Timur Tengah, pemuda memobilisasi massa di jalan-jalan untuk menggulingkan pemerintahan diktator-nya. Di Filipina, pemuda melawan penggusuran masyarakat miskin perkotaan, pemotongan anggaran dan bahkan mengambil bentuk yang lebih tinggi dari perjuangan untuk pembebasan nasional. Di Indonesian dengan beragam konsolidasi, gerakan pemuda dan mahasiswa juga kian meluas melawan kebijakan privatisasi dan komersialisasi pendidikan, melawan repreifitas didalam lingkungan pendidikan serta ambil bagian dalam perjuangan rakyat melawan perampasan upah, tanah dan pekerjaan serta berbagai persolan sosial dan ekonomi rakyat lainnya.

Dengan demikian, kini dihadapan kita waktu tengah menantang kita untuk memperkuat persatuan dan memajukan perjuangan kita bersama, untuk membuka jalan bagi masa depan dimana terpenuhinya hak seluruh Rakyat. Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 di Bali Bulan Desmeber mendatang, berfungsi sebagai momentum yang tepat bagi para pemuda untuk menegaskan kembali komitmennya untuk memblejeti dan melawan setiap bentuk serangan neoliberal melalui gerakan protes massa dan aksi kolektif lainnya secara bergelombang demi gelombang.

Bangkitlah Kaum muda, bersatu dan berjuang Bersama!
Hidup pemuda mahasiswa!
Hidup Rakyat tertindas seluru dunia!
Jayalah Perjuangan Rakyat!
Jayalah Solidaritas Perjuangan Internasional!

Jakarta, 29 Oktober 2013
Pimpinan Pusat
Front Mahasiswa Nasional (FMN)


L. Muh. Hasan Harry Sandy Ame
Sekretaris Jenderal

Kampanye hari ketiadaan pangan

Written By Unknown on Senin, 21 Oktober 2013 | 12.44

“LAWAN MONOPOLI DAN HENTIKAN PERAMPASAN TANAH – WUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN DENGAN LAND REFORM SEJATI”

Kerawanan pangan dunia telah dalam titik yang sangat menghawatirkan, tahun 2012 PBB melaporkan sekitar lima belas persen (15%) penduduk negara-negara miskin atau sekitar 850 juta mengalami kelaparan dan 15 juta penduduk di negeri maju mengalami kekurangan gizi atau gizi buruk di ikuti dengan data sekitar 2,5 juta nakak-anak meninggal dalam setiap tahunnya akibat kelaparan dan gizi buruk.

Ironisnya, Fenomena kelaparan dan kerawanan pangan justeru di lihat sebagai peluang bisnis yang menggiurkan oleh para pembisnis yang monopoli pangan dunia untuk mengeruk keuntungan. Dalih menjaga keamanan pangan (food scurity) mereka membangun perkebunan pangan raksasa seperti proyek MEEFE (Merauke Entegraide Energi food estate) di Merauke, Papua. Sejak tuhun 2008 dimana krisis pangan mulai melanda dunia dan meningkatnya data statistik kelaparan tetapi disisi lain keuntungan perusahaan yang memonopoli pangan mengalami peningkatan margin keuntungan yang fantastis, tanpa malu-malu dan merasa berdosa mereka merilis peningkatan keuntungan bersih hingga 300%.

Pesticide Action Network (PAN), merilis saat ini ada enam perusahan pangan dunia - Monsanto, Bayer, Syngenta, Dow, DuPont, dan BASF - memonopoli benih dunia, pestisida dan industri bioteknologi, sehingga enam perusahan mengendalikan nasib makanan dan pertanian dunia. Akibatnya, petani kecil kehilangan kontrol mereka atas input pertanian, harga produk pertanian dan keuntungan dari perdagangan produk pertanian, hinga meengalami peningkatan perampasan tanah.

Untuk terus memastikan kontrol pangan dunia, melalui perusahaan raksasa miliknya, mereka semakan mengintensifkan melalui kebijakan neo-liberal dan dipaksakan keseluruh negeri, mereka memaksa negeri seperti Indonesia untuk menjalankan kebijakan liberalisasi perdagangan, investasi dan keuangan. Melalui bank dunia, mereka juga mempromosikan penyelsaian konflik akibat kebijakannya, dengan ilusi win-win solution dalam penyelesaian tanah secara global, mereka juga menyiapkan lembaga penyelesaian konflik lainnya seperti RSPO dimana lebaga ini merupakan ilusi bagi rakyat yang dibangun oleh mereka dan hanya ditujukan pencegahan atas semakin radikalnya perlawanan rakyat akibat kebijakan yang ditimbulkan.

Pertemuan APEC dibulan ini dan pertemuan WTO di bulan Desember mendatang, merupakan instrumen yang digunakan oleh kapital monopoli untuk memastikan dominasinya melalui berbagai perjanjian yang menguntungkan pihaknya.
                                                                                                
Harga Pangan Melonjak, Penghidupan Rakyat Makin Merosot
Belum lama ini harga pangan telah menembus angka yang sangat fantastis hingga mayoritas rakyat Indonesia harus mengurangi konsumsinya bahkan pada tingkat tidak sanggup untuk membeli beberapa jenis kebutuhan tertentu. Bagaimana tidak harga daging mencapai Rp.100.000-120.000/Kg, bahkan di bandung harga tembus Rp. 150.000/Kg pada tanggal 15 Juli 2013. Harga telor naik menjadi Rp. 25.000/Kg, daging ayam Rp. 34.000/Kg, harga bawang merah Rp. 63.000/Kg, cabe rawit Rp. 80.000 bahkan di daerah Sangat Kalimantan pernah mencapai Rp. 150.00/Kg, cabe kreting Rp. 70.000/Kg, harga beras juga mengalami kenaikan dari Rp. 9.100 menjadi Rp. 10.500/Kg kwalitas sedang atau medium10. Dan tentu harga dilapangan bisa melebihi data yang ada terlebih di pedesaan, tetapi tingginya harga pangan dipasaran sama sekali tidak memiliki hubungan dengan harga jual panen petani, petani tetap tidak menikmati kenaikan harga pangan, harga cabe rawit Rp. 20.000, cabe kriting Rp. 30.000.

Pernyataan pemerintah melalui menteri perdagangan Gita wiryawan, bahwa kenaikan harga pangan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, dampak kenaikan harga BBM dan naiknya biaya transportasi. Pernyataan ini bertolak belakang dengan pernyataan Hata Rajasa ketika mengumumkan kenaikan BBM bulan mei yang lalu, dimana pemerintah menjamin kenaikan harga BBM tidak akan mempengaruhi kenaikan harga-harga secara signifikan, pemerintah juga menjamin pasokan pangan mencukupi hingga akhir tahun ini.

Faktor kedua adalah karena adanya peningkatan permintaan pangan, ketiga pasokan pangan yang kurang, faktor lain adalah adanya espektasi/harapan pedagang yang ingin mendapatkan keuntungan lebih, selain itu pemerintah juga menyebutkan adanya kartel serta spekulan yang bermain di balik tingginya harga komoditas pangan. Untuk mengatasi problem kenaikan harga pangan tersebut pemerintah menetapkan beberapa kebijakan terutama : operasi pasar untuk menstabilkan harga, kebijakan fiskal untuk eksport dan import pangan serta mempercepat dan menambah kuota impor pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Melihat dari fenomena kenaikan harga pangan, terlihat jelas bagaimana lemahnya kemampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga pangan bagi rakyat. Hal ini seperti mengulang berbagai langkah pemerintah yang kemudian terbukti gagal, seperti saat kenaikan dan kelangkaan daging sapi sebelum kenaikan BBM yang kemudian di sikapi dengan cara menambah kuota dan mempercepat import daging sapi. Akan tetapi harga daging sapi tidak pernah kembali turun ke harga normal. Bahkan saat ini pedagang daging masih mengandalkan pasokan daging lokal di bandingkan import. Fakta ini menunjukan bagaimana langkah pemerintah untuk mengontrol harga pada hakikatnya tidak akan bisa menyelesaikan masalah tingginya harga pangan.

Penyebab tingginya harga pangan
Secara pokok penyebab utama dari kenaikan harga komoditas pangan adalah akibat terjadinya monopoli terhadap alat produksi pertanian, sarana produksi pertanian dan produk pertanian, serta pasar. Monopoli alat produksi (tanah) oleh para tuan tanah, baik secara langsung oleh imperialisme, Tuan tanah besaar komperador, maupuan negara telah menjadikan para tuan tanah ini menjadi pemegang kontrol atas pertanian hinga garha produk pertaniannya.

Monopoli produk pertanian dilakukan oleh perusahaan besar milik kapital monopoli dunia seperti mosanto, cargil, mulai dari bibit, pupuk, obat dll. Karena monopolinya misal mosanto dalam pertengahan tahun 2013 ini mengalami peningkatan keuntungan hinga 30% dari tahun 2012. Selain melakukan monopoli sarana produksi pertanian, para perusahaan besar dunia juga melakukan monopoli atas hasil produksi pertanian. komoditas pangan telah begitu menggiurkan kapitalis monopoli, sehingga mereka sangat bernapsu untuk terus mengembangkan modal dan investasinya di bidang komoditas pangan, mulai dari pengembangan pertanian skala besar hingga produksi bahan pangan dan pangan olahan (produk derivasi) yang mampu menghasilkan keuntungan berlipat ganda. Akibatnya tentu bisa dibayangkan, bagaimana jika kebutuhan sosial seperti pangan kemudian di kuasai oleh segelintir pihak, maka tentu mereka akan memiliki kemampuan untuk mengatur dan menetapkan harga dengan mudah sesuai dengan mekanisme yang diinginkan. Untuk terus memastikan keuntungannya maka mereka juga membutuhkan pasar. Untuk memastikan pasar dan untuk menguasai pasar mereka memaksa seluruh negara untuk membuka kran sebebas-bebasnya bagi produk yang dimonopolinya.

Liberalisasi perdagangan melalui WTO
WTO (World Trade Organization) adalah lembaga perdagangan dunia terbesar yang ada, WTO beranggotakan 124 negara termasuk Indonesia. WTO dibentuk pada tahun 1995 yang digunakan oleh imperialisme untuk memaksa negara-negara berkembang (jajahan-setengah jajahan) membuka pasarnya, menyediakan tenagakerja murah serta mendapatkan sumber daya alam untuk mengeruk keuntungan, perkembangan saat ini WTO digunakan sebagai salah satu skema penyelamatan dampak krisis dari sistem kapital monopoli.Dengan demikian WTO bukanlah satu-satunya alat bagi Imperialisme untuk mendominasi masalah perdagangan dunia, skema yang sama juga dibuat oleh AS dan negeri kapital monopoli lainnya melalui kerjasama bilateral seperti US Indo komperhenshif, multilateral seperti APEC, ASEAN, EAS comunity, WTO, G20, dll dan plulilateral seperti TPP (trans Pasific Partnership).

WTO akan mengelar pertemuan untuk menyepakati agenda-agenda perdagangan dunia pada bulan Desember mendatang di Bali. Sedangkan APEC akan digelar di bulan Oktober di tempat yang sama.Dalam agenada pembasan WTO di Bali nanti bulan Desember menunjukan betapa agresifnya AS dan negeri-negeri kapital monopoli/Imperialisme, setidaknya akan ada tiga pembahasan utama atau yang terkenal dengan agena “ Bali package” yang isinya pembahasan menganai Agricultur. Yang kedua LDC Issues (Least Developed Countries, dan ketiga Tentang Trade Fasilitation (fasilitas perdagangan).

Agenda pertemuan WTO di Bali memiliki kedudukan yang sangat pentng bagi Imperialisme, untuk melegitimasi seluruh perjanjian perdagangan dan membangun rezim perdagangan multirateral. dari tiga agenda pembahasan di Bali mendatang, yang dikenal dengan “Bali Package” Agrikultur merupakan bahasan yang tidak terlalu di kehendaki oleh negeri Imperialis seperti AS, proposal ini diajukan oleh negara berkembang yang dikenal dengan G33 dan Indonesia masuk didalamnya. Selin tidak menarik bagi AS karena tidak yang menjadi kepentingannya, dalam perjanjian WTO yang sudah ada bahwa subsidi telah ada peraturan pembatasan tidak boleh melebihi 10% dari seluruh biaya produksi pertanian, dan ini menghambat bagi pasar menurut AS, tetapi liciknya hingga saat negeri Imperialis tetap memberikan subsidi bagi pertaniannya sebesar eropa 110.3milyardolar dan di AS 48.3 milyar dolar.

Begitu juga proposal tentang LDC, proposal ini diajukan oleh negara-negara yang kategorinya sangat terbelakang, meraka mengajukan dihilangkanya batasan kuota dalam perdagangan, pembebasan biaya ekspor, adanya pengurangan subsidi petani kapas di amerika, mereka menuntut pelayanan yang lebih baik ketika melakukan ekspor.

Yang ketiga soal Trade Fasilitation merupakan agenda yang sangat penting bagi Imperialisme, mereka berkeinginan bahwa pasar tidak ada sama sekali hambatan dan distribusi barang biar lebih cepat, sederhana, efektif dan terkontrol, maka negara imperialis meminta agar seluruh negara malakukan perbaikan sistem dalam perbatasan, seperti pelabuhan, bandara dan lain sebagainya selain itu mereka juga menuntut adanya komputerisasi, dalam proses beacukai, hal ini ditujukan untuk mempercepat arus barang.

Dari seluruh agenda, yang akan dibahas bisa dipastikan agenda dari imperialisme yang akan tetap mendominasi, sebab negara berkembang dan terbelakang dibawah tekanan jika menolak dari kehendak impe maka, bantuan dan hutang menjadi ancaman untuk dihentikan, ini kedudukan WTO sebagai skema yang dimiki oleh Imperilaisme.

WTO dan kepentingan rakyat Indonesia
WTO merupakan skema negeri imperialis untuk mendominasi pasar dunia, dalam sektor pertanian AS berkepentingan untuk memonopoli seluruh sarana produksi pertanian, pasar dan termasuk alat produksi (tanah). Dengan demikian, skema dalam WTO sangat mengancam bagi kelangsungan dan masa depan kaum tani di Indonesia, skema ini akan semakin memassifkan perampasan tanah, semakin mahalnya biaya produksi dan semakin hancurnya harga produk pertanian di dalam negeri akibat dari liberalisasi produk pertanian. WTO juga akan mengancam tentang kedaulatan pangan di Indonesia. Karenanya skema imperialisme melalui WTO dan seluruh skema lainnya haruslah dihadang dan dilawan oleh rakyat Indonesia.

Sebab agenda Imperialisme hanya akan menguntungkan mereka dan juga menguntungkan kaki tangannya didalam negeri (para borjuasi besar komperador, para-tuan tanah dan juga para kapitalis birokrat), dan secara pokok agenda mereka hanya akan merugikan rakyat, dan menghambat perjuangan land reform di Indonesia.

“Lawan Monopoli dan Perampasan Tanah, Wujudkan Kedaulatan Pangan”
Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industri Nasional!
Lawan Liberalisasi-Bubarkan WTO!

Jayalah Perjuangan Rakyat Seluruh Negeri…!!!

KPOP AGRA – SULSEL

Hari Tani Nasional

Written By Unknown on Sabtu, 21 September 2013 | 06.51



Front Mahasiswa Nasional (FMN)

Pemuda Mahasiswa Berjuang Bersama rakyat
Lawan Perampasan dan Monopoli Tanah-Wujudkan Kedaulatan Pangan

Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industri Nasional!
Lawan Liberalisasi-Bubarkan WTO!

Sejarah Hari Tani Nasional (HTN)
Hari tai nasional (HTN) yang selama ini diperingati setiap tahun oleh seluruh Rakyat Indonesia khususnya oleh kaum tani, sejatinya adalah salah satu momentum bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia. Momentum tersebut, sejalan dengan lahirnya undang-undang pokok agraria (UU PA) No. 5, tanggal 24 September Tahun 1960, sebagai salah satu capaian politik kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia dalam perjuangannya mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan berdaulat.

Lahirnya momentum tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang perjuangan kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia untuk melanjutkan revolusi 1945 dan usaha-usaha untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Dalam setiap jengkal perjuangan tersebut, sejak pra kemerdekaan hingga paska proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari perjuangan kaum tani melawan perampasan dan monpoli atas tanah dalam skala luas yang saat itu sebagian besar dikuasai oleh tuan tanah lokal dan bangsa Asing, terutama oleh kolonial Belanda maupun oleh perusahaan swasta Asing lainnya melalui konsesi yang diberikan oleh pemerintah kerajaan Belanda.


Penguasaan tanah secara besar-besaran oleh colonial beserta perusahaan swasta asing ketika itu (Pra kemerdekaan 1945) tentu saja telah membawa penderitaan dan kesengsaraan yang dalam bagi kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia. Massifnya perampasan dan monopoli tanah skala luas saat itu, ialah akibat dari pelayanan tuan-tuan feudal yang juga telah lama menguasai tanah-tanah rakyat. Penguasaan tanah oleh tuan tanah lokal dan asing saat itu telah dilakukan dengan berbagai bentuk pemaksaan, bahkan dengan cara-cara yang sangat brutal.

Namun demikian, kaum tani tidak pernah gentar sedikitpun untuk menggencarkan perlawanannya, baik dalam mempertahankan maupun merebut kembali haknya atas tanah. Dengan usaha keras tersebut, telah terbukti Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan colonial hingga dideklarasikannya kemerdekaan Ri sebagai capaian perjuangannya yang paling gemilang.

Saat ini, meskipun telah 68 tahun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, namun rakyat Indonesia masih belum terbebaskan dari persoalan perampasan dan mopoli tanah, monopoli atas sarana produksi pertanian dan monopoli atas sumber-sumber agraria lainnya. Hal tersebut ialah akibat dari cengkaraman system masyarakat setengah jajahan dan setengah feudal yang dipimpin oleh rezim komprador dan tuan tanah yang hakekatnya sebagai kaki tangan Imperialisme. Kenyataannya, paska revolusi 1945, Rakyat terus berjuang keras untuk menuntaskan revolusi dan mempertahankan kemerdekaan dengan menghancurkan cengkraman tuan tanah dan imperialisme di Indonesia.  Namun tuntutan rakyat agar bebas sepenuhnya dari kekuasaan tuan tanah dan imperialis berlawanan dengan politik pemerintahan reaksi yang diwakili khususnya oleh Hatta dan Syahrir (Demokrasi liberal 1945-1950).

Secara politik, sekalipun pemerintahan Hatta dan Syharir nampak di permukaan liberaldan menerapkan sistem palementer, akan tetapi sistem kekuasaan negara lama yaitu feodalisme masih bercokol dalam kekuasaan negara, bahkan telah kembali kian tegak di bawah dominasi dan Intervensi imperialisme. Sehingga pemerintahan yang dibenci oleh rakyat di era jajahan dapat kembali menjalankan penghisapan feodal seperti sedia kala berdasarkan kedudukannya yang istimewa atas tanah. Negara baru ini jelas bukan milik rakyat, akan tetapi menjadi milik segelintir borjuasi komprador dan tuan tanah secara bersama-sama yang diabdikan kepada imperialis AS yang mendominasi dunia sejak Pasca Perang Dunia ke-2.

Negara Indonesia resmi menjadi negara setengah jajahan dan setengah feudal semenjak penandatanganan Konferensi Meja Bundar (KMB. Tahun 1949) dengan seluruh isinya yang sangat melukai hati dan merugikan rakyat Indonesia, khususnya kaum tani. Salah satunya yakni: Indonesia tidak boleh melakukan Nasionalisasi atas asset-aset Asing (selain milik Jepang dan Jerman) yang telah beroperasi di Indonesia. Artinya bahwa tanah-tanah yang sudah di nasionalisasi oleh rakyat harus dikembalikan kepada pihak musuh yakni Belanda, AS dan Inggris. Perjanjian anti rakyat tersebut, tentu saja telah mengundang resisten dan kian mendorong perlawanan rakyat khususnya kaum tani. Sejak itu pula, ketika pemerintah mulai menggunakan tentara dan polisi untuk megusir kaum tani, tidak terhidarkan terjadinya perlawanan yang berdarah-darah. Beberapa perlawanan keras yang dilakukan oleh Kaum tani, diantaranya terjadi di Tanjung Morawa-Sumatra Utara, peristiwa berdarah di Jengkol (karesiden Kediri, Jawa timur), peristiwa berdarah Ketahun (Boyolali, Jawa Tengah), peristiwa berdarah Bandar Betsy (Aceh) dan diberbagai daerah lainnya.

Dengan berbagai perdebatan konsep negara di jajaran pemerintah saat itu, dengan kenyataan berbagai bentuk pemberontakan rakyat yang berkecamuk tiada henti, Soekarno kemudian mengambil kekuasaan yang mencampakkan demokrasi liberal menjadi sistem Presidensil utuh. Sikap tegas Soekarno ketika itu, tentu saja karena desakan rakyar Indonesia untuk segera menuntaskan revolusi agustus yang hakekatya adalah revolusi Agraria untuk menjalankan reforma agraria sejati, melalui Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 yang selanjutnya telah menjadai salah satu dasar untuk membentuk UUPA No. 5 Tahun 1960 di Indonesia.

Selanjutnya, pemerintah diawah kuasa rezim Nasionalis Soekarno, terus didesak oleh Rakyat untuk merumuskan suatu undang-undang yang megatur tentang kepemilikan dan tatakelola Agraria, sebagai antithesis untuk menghapuskan segala hukum agraria milik Belanda yang berlaku saat itu yang tersusun berdasarkan tujuan dan kepentingan pemerintah jajahan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara.

Setelah melalui berbagai proses, perdebatan dan berbagai pertentangan, tepat pada tanggal 24 September 1960 kemudian ditetapkan sebuah UU yang yang secara khusus mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber Agraria, yakni undang-udang pokok Agraria (UU PA No. 5). Dalam UU tersebut, pada intinya menjelaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum tani dan masyarakat adat berhak untuk menguasai dan mengelola tanah untuk kesejahteraan rakyat. Artinya bahwa, roh sesungguhnya dari UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah Landreform(Tanah Untuk Rakyat).

Disahkannya UUPA No. 5 Tahun 1960 di Indonesia, sebenarnya merupakan bagian kemenangan perjuangan kaum tani Indonesia sejak abad 17 sampai  20 untuk menolak hukum agraria kolonial yang melanggengkan penghisapan atas buruh tani, tani miskin, masyarakat adat oleh kolonial dan tuan tanah lokal. Dengan berlakunya UUPA No.5 Tahun 1960, maka telah dihapuskan pula hukum agraria kolonial yang telah menindas rakyat, seperti[1]:
1."Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal tersebut; 
2. a). "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118); b). "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875. No. 119A; c). "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; d). "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; e). "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;  
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No.117) dan peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini.

Keempat peraturan yang dihapuskan tersebut diatas merupakan asas Undang-undang agraria colonial atau Agrarische wet de Waal. Secara historis UU tersebut dilahirkan pada tahun 1870 sebagai upaya mengejar ketertinggalan Belanda dari negeri-negeri kapitalis lainnya yang dalam transisi mencapai puncaknya (Imperialisme). Dengan demikian, Belanda harus lebih terbuka dalam iklim investasi dan finans terhadap dunia. Salah satu isi UU tersebut ialah aturan yang memberikan peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah di Bumi Nusantara, seperti dari InggrisBelgia,Amerika SerikatJepang untuk membuka pabrik, perkebunan dan pertanian dalam skala yang besar.

Dalam perkembangannya, UU tersebut pula yang telah mendorong lahirnya  kelas baru dalam Masyarakat Indonesia, yakni klas buru (Proletar). Agrarische wet de Waalmulai dijalankan sejak tahun 1870 dengan azas Domeinverklaring yang isi pokoknya: “Semua tanah yang tidak terbukti dimiliki dengan hak eigendom adalah kepunyaan Negara (Saat itu adalah kerajaan Hindia Belanda)”.

Azaz UU tersebut mengatur tentang pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum[2]. Asas Domeinverklaring inilah yang memberikan legitimasi untuk merampas tanah rakyat oleh negara dan pihak swasta atas nama Investasi (Investasi asing). Inilah yang menjadi dasar mengapa keempat pasal di atas dihapus untuk membangun azas agraria yang mengutamakan tanah untuk rakyat.

Dengan ditetapkannya UUPA No. 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September sebagai salah satu capaian politik dalam perjuanga rakyat Indonesia, Pemerintah sekaligus menetapkannnya sebagai Hari Tani Nasional sebagai bentuk Apresiasi atas perjuangan kaum tani dan seluruh Rakyat yang begitu gigih mempertahankan dan merebut haknya atas tanah. Bagi kaum tani dan seluruh Rakyat, penetapan momentum tersebut untuk diperingati setiap tahun, tiada lain ialah untuk tetap mengenang sejarah perjuangan keras kaum tani sepanjang masa dan mengambil inspirasi atas setiap bentuk perjuangan tersebut sebagai tempaan terus-menerus dalam perjuangan melawan perampasan dan monopoli tanah untuk mewujudkan reforma agraria sejati.

Dalam peringatan momentum HTN, 24 September mendatang yang bertepatan dengan 53 Tahun UU PA, maka kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia, harus dapat megambil semangat dan inspirasi perjuangan kaum tani dalam sejarahnya yang selalu gigih dan tidak pernah gentar menggencarkan perjuangannya. Secara khusus bagi rakyat disektor lainnya, melalui momentum HTN 2013 kali ini juga harus dapat mengambil pelajaran bahwa, perjuangan pembebasan Nasional di Indonesia tidak pernah terlepas dari perjuangan kaum tani.

Demikian pula kenyataannya sekarang ini, dibawah cengkrama system setengah jajahan dan setengah feudal (SJSF) dengan massifnya monopoli tanah sebagai problem pokok Rakyatnya, maka dalam usaha untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan kemerdekaan yang sejati, seluruh Rakyat Indonesia harus dapat menyadari bahwa hal tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya reforma agraria sejati (Genuine Land Reform). Artinya bahwa dengan dasar tersebut, maka seluruh Rakyat harus memastika diri untuk bisa ambil bagian dan terintegrasi lansung dalam berbagai bentuk perjuangan melawan perampasan dan monopoli tanah untuk mewujudkan Reforma Agraria sejati.

Risalah Kaum Tani Atas Perampasan dan Monopoli Tanah di Bawah Kuasa SBY
Pertanian di Indonesia seharusnya dikuasai oleh rakyat khususnya kaum tani sebagai syarat utama menjalankan cita-cita revolusi agustus ’45 yakni kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil perjuangan rakyat yang pada hakekatnya membebaskan dari musuh-musuh rakyat yakni tuan tanah dan kolonial. UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai bagian kemenangan kaum tani yang ternyata bertolak belakang dari praktek penyerahan tanah pada kaum tani.  Akan tetapi, tanah yang seharusnya menjadi basis pertanian, kini lebih didominasi oleh perkebunan besar milik negara dan swasta yang kedua-duanya berhubungan langsung dengan imperialisme. Praktek tersebut telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan seperti, perampasan tanah, sewa tanah tinggi (utamanya sistem bagi hasil), peribaan, serta sarana dan hasil produksi yang dikontrol penuh oleh komprador dan tuan tanah besar. Di sisi lain masifnya perampasan dan monopoli tanah, sebagian besar dilakukan dengan cara kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum tani. 

Saat ini perkebunan besar paling dominan dengan komoditas dan luas lahan masng-masing adalah perkebunan besar kelapa sawit (9.074.621 Ha), perkebunan besarkaret (3.484.073 Ha), perkebunan besar kelapa (3.787.724 Ha), Perkebunan besar Kakao (1.732.954 Ha), Perkebunan Kopi (1.233.982 Ha) atau pangan lainnya[3], Semuanya berorientasi ekspor dan mengabdi pada kepentingan industri imperialismekhususnya AS.  Penguasaan tanah untuk perkebunan, bahkan tambang besar dan taman nasional yang sangat luas tersebut, kenyatannya telah menghilangkan sandaran hidup bagi kaum tani, mempersempit lapangan kerja bagi sebagian besar rakyat Indonesia.

Monopoli tanah skala besar tersebut yang digadang-gadang sebagai salah satu skema untuk menekan agnka pengangguran, kenyataannya daya serap (perekrutan) tenaga kerja didalam perkebunan maupun pertambangan besar, berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerja (penganggguran) yang terus menumpuk. Setiap perkebunan besar hanya mampu  menampung rata-rata 200 orang pekerja per 10.000 hektar tanah konsesinya yang berasal dari tani miskin dan buruh tani yang terampas tanahnya. Dalam hitungan 200 Orang per 10.000 hk tersebut bahkan termasuk tani plasma yang “terpaksa” tunduk pada tuan tanah karena ketergantungannya pada kapital untuk mengolah lahan dan akses atas pasar. Di sisi lain, upah tenaga kerja(buruh tani) yang dibeli atau bagi hasil yang diterima oleh para petani “plasma”sangatlah rendah.

Pekerja-perkeja tersebut hidup dengan upah harian yang sangat rendah, bergantug pada sistem kerja musiman, keadaan kerja yang sangat buruk, serta dengan sistem bagi hasil yang sangat timpang bagi petani plasma. Kampanye perkebunan, pertambangan dalam skala besar untuk membuka lapangan pekerjaan hanyalah ilusi dan bohong semata rezim SBY. Berdasarkan data BPS Per Februari 2012 tentang Ketenagakerjaan, angka pengangguran mencapai 43,16 Juta  jiwa dari 120,41 juta angkatan kerja di Indonesia[4].  tentu hal ini akibat dari perampasan dan monopoli negara dalam skala luas baik negara dan swasta. Contohnya; Negara sebagai Tuan Tanah (Tipe Tuan Tanah Keempat) yakni dalam bentuk  Taman nasional seluruh Indonesia yang berjumlah 50, menguasai sekitar 16.209.393 Ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia[5].

Melalui PTPN, Negara juga melakukan monopoli tanah seluas ± 1,5 Juta Ha yang tersebar diseluruh Indonesia, mulai PTPN I-XIV. Sedangkan Inhutani (Negara) I-V melakukan monopoli tanah seluas ± 899.898[6] dan, masih banyak lagi bentuk-bentuk negara sebagai tuan tanah. Sementara borjuasi besar- tuan tanah besar swasta atau disebut sebagai tuan tanah tipe 3, Pertama di duduki PT. Salim Group (penguasaan areal kelapa sawit saja belum produksi lain), sekitar 1.155.745 Ha. Kedua Sinar Mas Group sekitar 320.463 Ha. Sedangkan urutan ketiga ditempati oleh Wilmar International Group, sekitar 210.000 Ha. Ketiga borjuasi besar dan tuan tanah besar swasta ini, juga bergerak di bidang perbankan dan jasa.[7]

Sementara itu komposisi mayoritas dari kaum tani Indonesia adalah tani miskin yang menguasai tanah sangat terbatas, bahkan buruh tani yang tidak menguasai tanah sama sekali, dan tani sedang, serta segelintir tani kaya yang selalu terancam kebangkrutan karena monopoli input dan out-put pertanian oleh imperialis dan tuan tanah besar. Kaum tani inilah yang berjuang memenuhi pangan nasional secara mandiri, utamanya makanan pokok seperti beras, sayur-mayur dan aneka protein tanpa dukungan berarti dari pemerintahan SBY.

Kebijakan dan regulasi pemerintahan SBY hanya mengabdi pada kepentingan imperialis dan para tuan tanah besarnya, termasuk kebijakan dan regulasi tanah dan kapital serta perdagangan input dan output pertanian. Karena itu, kepemilikan atastanah masih menjadi akar persoalan pokok kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia,sertbiaya yang tinggi dalam mengolah tanah pertaniannya. Sekalipun Indonesia memiliki potensi lahan pertanian yang sangat luas, kaum tani dan rakyat secara keseluruhan selalu kekurangan makanan pokok untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan corak produksi Indonesia sebagai Negara agraris.

Pada saat krisis pangan di dunia mengemuka seperti saat ini sebagai bagian yang integral dalam krisis umum imperialisme AS, pemerintah SBY malah dengan sigap menjanjikan tanah dengan berbagai kemudahan bagi para investor asing agar “bersedia” mengembangkan tanaman pangan di Indonesia dengan kedok “keamanan pangan dunia.” Padahal hampir setiap hari di seluruh pelosok negeri, kaum tani menuntut lahan pertanian yang cukup dengan bantuan kapital untuk dapat berproduksi. Akan tetapi tuntutan-tuntutan tersebut tak ubahnya bagai angin lalu bagi pemerintah lalim SBY-Boediono, tanah dan kapital yang tersedia justru terus dirampas dan diberikan pada perkebunan skala besar.

Di tahun 2013 ini pula, kerjasama-kerjasama Multilateral yang telah dibentuknya, baik ditingkat dunia secara umum maupun ditingkat regional dengan berbagai perjanjian yang mengikat bagi Negara-negara anggotanya melalui Pertemuan APEC dan WTO, tentu tujuannya untuk melahirkan skema liberalisasi baik di sektor perdagangan dan jasa. Namun juga yang tak luput menjadi salah-satu agenda besar WTO adalah liberalisasi di sektor pertanian.

Melalui Forum APEC dan khususnya WTO Desember 2013 nanti, akan mengikat negara-negara anggota (terutama bagi Negara-negara berkembang) seperti Indonesia untuk mencabut subsidi pertanian. Sementara di satu sisi, Imperialisme AS tidak konsisten menjalankannya. Sebab, di negara-negara maju justru subsidi di pertanian masih dijalankan.  Kita dapat menilai bagaimana Negara Maju melalui ingin memperlemah posisi petani di negara berkembang dan mengubah tanah petani menjadi perkebunan skala besar yang berorientasi terhadap kepentingan pasar.

Dalam aspek monopoli sarana dan hasil produksi akan menjadi bagian kebijakan dari liberalisasi perdagangan WTO untuk meraup keuntungan besar bagi Imperialisme AS. Kerjasama dibidang pertanian akan menjadi salah satu dari 3 Agenda pembahasan dalalm pertemuan APEC dan WTO (1). Tentang Kerjasama Agricultur, 2).  Tentang Fasilitasi perdagangan/ Trade Facilitation (termasuk didalamya Memaksimalkan kerjasama dibidang Jasa) dan, 3). Isu negara-negara miskin (LDC Issues: Least Development Countries). Dalalm hal tersebut, Pemerintah RI akan mengajukan 4 komoditas utama produk pertanian Indonesia untuk dimasukkan kedalam produk khusus di dalam WTO.

Dari ketiga agenda utama tersebut, fokus utama pembahasan akan diletakkan paling utama akan diletakkan pada pembahasan tentang jasa dan fasilitas perdagangan (Trade Facillitation), termasuk jasa dalam perdagangan produk pertanian. Dalam hal ini, Imperialis berusaha untuk menghindari pembahasan yang dalam dan serius terkait dengan isu Agraria, hal tersebut ialah upaya untuk mengabaikan dan menghindari program-program kerjasama perdagangan pertanian yang diajukan oleh Negara-negara Global South (Negara-negara G-33), karena ajuan-ajuan tersebut menyangkut soal kelansungan dominasi produk dan pasar pertanian yang sudah dikuasai oleh Imperialis selama ini.

Dalam konteks pertanian, Imperialisme justru akan lebih banyak menekankan tentang fasilitas perdagangan, termasuk penghapusan bea eksport-Import dengan “ilusi perdagangan bebas dan persaingan global”, sehingga  Imperialisme dapat semakin leluasa mendominasi pasar Internasional. Dampaknya, Kaum tani akan semakin kehilangan kemampuan bersaing atas produk pertanian yang diproduksi seperti Buah, Sayur-mayur dan kebutuhan pangan lainnya.

Sementara itu, kebijakan-kebijakan yang reaksioner oleh rezim komprador Imperialisme AS, SBY masih secara konsisten mengeluarkan berbagai paket kebijakan yang tujuannya menyediakan tanah dalam skala luas untuk ekspansi perkebunan dan pertambangan besar-besaran, baik ditujukan kepada borjuasi besar komprador, tuan tanah besar atau Imperialisme AS dalam bentuk investasi asing. UU Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum merupakan legitimasi bagi perkebunan besar baik negara ataupun swasta dalam melanggengkan praktek monopoli atas tanah.

Selain itu pemerintahan SBY melakukan Praktek perampasan dan monopoli tanah dengan berbagai dalih untuk meningkatkan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan pekerjaan seperti penerbitan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Atas Tanah, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai yang diatur yang diatur secara eksplisit dalam UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007[8]. Bayangkan saja, HGU dapat diterbitkan untuk menguasai SDA khususnya tanah, tambang oleh perusahaan besar baik negara atau swasta dengan kurun waktu 95 tahun. Sedangkan Hak Guna Bangunan (HGB) sampai 80 tahun dan Hak Pakai mencapai usia lamanya 70 Tahun, sungguh ironi.

Sementara itu, Kaum tani juga semakin terancam akibat kebijakan taman nasional dan perkebunan kayu yang disebut Hutan Tanaman Industri (HTI). Seperti suku minoritas di Kalimantan dan Sumatera utara (di kawasan taman nasional gunung leuser) yang tergusur akan kebijakan tersebut. Kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus No. 39 Tahun 2009, juga tak kala merampas segala hak demokratis kaum tani atas penguasaan atas tanah. Pada pasal 2 yang berbunyi “KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional[9].

Artinya atas nama zona ekonomi di suatu wilayah yang mempunyai batas tertentu, maka pemerintahan SBY berhak mengambil tanah rakyat dengan dalih KEK untuk diberikan pengelolahannya pada BUMN, BUMD dan pihak swasta. Manifestasi KEK yang mempunyai hubungan dengan kebijakan MP3EI, ini bisa kita lihat dari megaproyek tahun 2013 KEK Sei Mangke Sumut (Perkebunan, Industri, infrastuktur), KEK Koridor 3 Bali, Nusa tenggara (Pariwisata, Peternakan, Infrastuktur), Dalam proyek KEK pangan di Merauke, rencana investasinya diperkirakan akan mencapai hingga US$ 43 juta per 5 (lima) ribu hektar dari 1 juta Ha yang dikuasai dan masih banyak lagi di wilayah-wilayah Indonesia yang akan dijalankan dari megaproyek KEK.

Atas kenyataan-kenyatann tersebut dan perkembangan situasi umum Masyarakat Indonesia sekarag ini, maka yang menjadi perjuangan pokok dari kaum tani Indonesia adalah mewujudkan reforma agraria sejati (landreform) atau pembaruan tanah. Di Negeri setengah jajahan dan setengah feudal seperti Indonesia, perjuangan mewujudkan reforma agraria sejati tidak hanya menjadi kepentingan kaum tani semata, melainkan kepentingan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebab setiap persoalan rakyat yang mengemuka hari ini adalah akibat dari sistem terbelakang (setengah feudal) yang dipertahankan oleh pemerintah SBY atas dukungan tuannya Imperialisme AS.

Korelasi Perampasan Tanah dengan Pendidikan di Indonesia
Dalam mempertahankan sistem usang yang terbelakang, Imperialisme AS melalui kompradornya di dalam negeri, sangat berkepentingan untuk terus mempertahankan hegemoninya melalui berbagai aspek kebudayaan, terutama melalui lapangan pendidikan, dengan merawat pikiran-pikiran yang jauh dari keilmiahan ilmu pengetahuan dan penuh Ilusi yang ditambah dengan pikiran yang sesat dan mistis.Kenyataannya dilapangan pendidikan, berbicara rendahnya kemampuan rakyat dalam mengakses pendidikan disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan serta rendahnya anggaran yang disediakan oleh pemerintah.

Kenyataan-kenyataan tersebut, berbanding lurus dengan kondisi rakyat Indonesia yang sebagian besar berada di pedesaan yang tumpuan ekonomi atas akses penguasaan tanah kecil. Sekitar 65 % rakyat Indonesia berada di desa, 50 % nya tani miskin dan buruh tani yang berpendapatan per hari RP. 20.000-30.000,-. Tentu hal ini akan berdampak sistemik rendahnya akses masyarakat di desa mendapatkan pendidikan. Dari total 237 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, diantaranya terdapat 46,28 juta jiwa usia sekolah tingkat dasar (6-14 tahun),  12,6 juta jiwa sekolah tingkat menengah (15-17 tahun) dan 62 Juta jiwa tingkat pendidikan tinggi (18-30 tahun).

Dengan demikian penyelengaraan pendidikan haruslah dijamin oleh negara agar rakyat dapat mengakses dan menikmati setiap jenjang pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, Pendidikan tinggi dari 62 juta hanya mampu menampung 5,2 juta peserta didik/mahasiswa (Data BPS; 2012). Sementara, angka Pengangguran dan angka buta huruf pun terus meningkat berbanding lurus dengan angka kemiskinan di Indonesia yang mencapai  37.168.300 jiwa (16,58 dengan persebaran 13.559.000 jiwa (12,52%) diperkotaan dan 23.609.000 jiwa (20,37%) di pedesaan. Tentu angka-angka ini masih kecil jika dibandingkan dengan kenyataan rakyat Indonesia, apalagi ukuran kemiskinan Indonesia dengan standar pendapatan di bawah US$ 1 Dollar per hari. Maka dapat dipastikan sangat kecil anak petani dan pemuda desa yang bisa mengakses pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan tinggi.

Sementara itu, Pendidikan dikembangkan sama sekali tidak mencerminkan aspirasi dan kepentingan Rakyat. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kebijakan dari sistem penyelenggaraan pendidikan yang tidak pernah jauh dari penyelamatan krisis imperialisme AS. Orientasi pendidikan semacam ini, tercermin dalam berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah disektor pendidikan, seperti penerapan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), Undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknastahun 2003 dan, Undang-undang badan hukum pendidikan (UU BHP) yang ditetapkan pada tahun 2009 sebagai undang-undang yang memperkuat kedudukan dari PT BHMN yang mengatur secara khusus tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan tinggi.

Selanjutnya, tepatnya 13 Juni 2012, Pemerintah kembali menetapkan regulasi baru untuk pendidikan tinggi, yakni Undang-undang pendidikan tinggi (UU PT) sebagai pengganti dari UU BHP yang telah dicabut oleh Mahkamah konstitusi (MK) pada akhir Maret 2010. Pencabutan UU BHP oleh MK tentu saja setelah mengalami penolakan keras dalam berbagai bentuk protes dari berbagai kalangan, Undang tersebut (UU BHP) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia.Akan tetapi, UU PT merupakan baju baru dari UU BHP. Sebab roh UU PT secara esensi masih sama dengan UU BHP yakni liberalisasi di dunia pendidikan tinggi.

Hal ini tentu akan menghilangkan semangat untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum tani yang semakin terjerat atas perampasan dan monopoli atas tanah. Secara politik, pendidikan Indonesia mempunyai orientasi yang mempertahankan dominasi Imperialisme AS dan tuan tanah. Artinya kurikulum pendidikan Indonesia mempunyai muatan untuk menerima keunggulan Imperialisme AS yang patut dijadikan “Panutan” oleh seluruh rakyat. Dengan demikian ajaran-ajaran Imperialisme AS tentang Liberalisasi (perdagangan bebas), globalisasi, kerjasama dengan Negara maju, menjadi kemasan utama setiap pelajaran di Indonesia khususnya di Perguruan Tinggi.

Sementara pendidikan Indonesia yang mengabdi pada tuan tanah besar, dapat dilihat dari kurikulum yang dikemas menggambarkan keunggulan Negara berkembang (Indonesia) berasaskan perkebunan, pertambangan, pertanian skala besar yang dikelola negara dan swasta. Tentu ini menjadi legitimasi untuk menguatkan keberadaan borjuasi besar -tuan tanah besar di Indonesia. Tak ayal, pendidikan Indonesia hanya menjadi corong propaganda dari Imperialisme AS dan borjuasi besar-tuan tanah besar.  Oleh karena itu, jika kita ingin mengubah wajah Pendidikan Indonesia, maka menjadi keharusan untuk mengubah orientasi pendidikan. yakniPendidikan yang Ilmiah, artinya pendidikan yang berdasarkan kondisi objektif untuk memecahkan masalah rakyat. Kemudian pendidikan yang demokratis, artinya pendidikan yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk mendapatkan pendidikan dan ruang berekspresi di sektor kebudayaan. Dan terakhir pendidikan yang mengabdipada rakyat, artinya pendidikan yang orientasi untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Semangat HTN ke-53, Menyatukan Pemuda Mahasiswa Dengan Kaum Tani
Perjuangan kaum tani melawan perampasan dan monopoli atas tanah oleh negara dan swasta, juga menjadi bagian rakyat seluruh Indonesia khususnya pemuda mahasiswa yang fokus memperjuangkan pendidikan dan memajukan peradaban kebudayaan rakyat Indonesia. Disisi lain, Pemuda Mahasiswa harus mampu terlibat aktif dalam mendukung pengorganisiran kaum tani di desa-desa untuk menghancurkan hubungan produksi lama yang usang yakni setengah feudal. Itulah syarat-syarat agar rakyat bebas dari belenggu Imperialisme AS serta Feodal. Dengan jalan itu kita mampu membangun Indonesia yang berdaulat dan mandiri, yang mempunyai identitas nasional untuk membangun sektor pertanian dan industri nasional yang maju.

Selamat Hari Tani Nasional (HTN) 2013. Pemuda Mahasiswa bersama kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia Menuntut:


  1. Hentikan Perampasan dan Monopoli atas tanah!
  2. Jalankan Reforma Agraria sejati dan Bangun Industri Nasional!
  3. Hentikan seluruh skema perdagangan tenaga kerja!
  4. Hentikan kenaikan harga kebutuhan Pokok!
  5. Wujudkan Kedaultan Pangan Indonesia!
  6. Realisasikan Pendidikan dan Kesehatan Gratis bagi rakyat!
  7. Hentikan Liberalisasi dan wujudkan pembangunan yang mengabdi pada Rakyat!
  8. Bubarkan WTO!

Hidup Kaum Tani Indonesia!
Jayalah Perjuangan Rakyat!








[1] Presiden RI. UUPA No.5 Tahun 1960. Tentang: Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. LN 1960/104; TLN NO. 2043. Jakarta 1960
[2] Sejarah perkembangan Masyarakat Indonesia dan problem pokok kaum tani. FMN, 2003
[3] Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2012
[4] Badan Pusat Statistik. Perkembangan beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Katalog BPS: 3101015, Jakarta 2012
[5] http://alamendah.org/2010/04/11/daftar-taman-nasional-di-indonesia/, diunduh pada tanggal 15-09-2013, pukul 17.54 WIB
[6]www.inhutani1.co.id/‎, www.bumn.go.id/inhutani2/en/‎, www.inhutani3.com/‎, www.inhutani4.co.id/‎,www.inhutani5.co.id/‎, diunduh pada tanggal 15-09-2013, pukul 19.00-20.00 WIB
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perusahaan_kelapa_sawit_Indonesia, diunduh pada tanggal 15-09-2013, pukul 20.34 WIB
[8] Presiden RI.  UU RI No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Jakarta, 2007
[9] Presiden RI. UU RI No.39 Tahun Tentang Kawasan Ekonomi Khusus.Jakarta, 2009


12 Next Page

Selasa, 29 Oktober 2013

Pemuda dan Mahasiswa Bersatulah!!




”Bangun Persatuan dan Solidaritas perjuangan pemuda Internasional-Lawan kebijakan neoliberal dan skema globalisasi imperialisme”
Tegakkan hak asasi dan kedaulatan rakyat-Bubarkan WTO!!

Dokumen Organisasi
Diterbitkan oleh: Departemen Pendidikan dan Propaganda
Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional (FMN)


Arus globalisasi terus menyebar dan telah mempengaruhi perkembangan Sosial,

Ekonomi, Politik dan Kebudayaan di berbagai penjuru dunia. kapitalisme monopoli Internasional (Imperialisme) sebagai fase akhir dari system kapitalisme sekarang ini, terus menyebarkan pengaruh dan memperkuat dominasinya diberbagai belahan dunia. Dengan watak dasarnya yang “Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif” telah menciptakan kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat diseluruh dunia. Dalam perkembangan sekarang ini, watak tersebut telah manifes dan semakin nyata ditunjukkan dari berbagai skema yang dijalankannya diberbagai Negeri. Hal tersebut terutama dalam upaya penyelematan diri dari gelombang krisis yang dihadapinya.

Dalam usaha untuk menyelesaikan krisisnya sekarang ini, kapitalisme monopoli telah menggunakan berbagai cara yang tidak terlepas dari intensifnya penghisapan terhadap rakyat diseluruh dunia. Dalam perkembangan sekarang ini, seluruh instrumen dan mekanisme yang dimilikinya, kembali diintensifkan kian massif sebagai skema untuk terus melipatgandakan keuntungan diatas penderitaan rakyat. Salah satu dari seluruh skema tersebut yakni organisasi perdagangan dunia (WTO), yakni skema kerjasama perdagangan yang paling besar dan bahkan telah menjadi satu-satunya lembaga perdagangan internasional yang mengikat bagi negara-negara anggotanya.
 
Dengan kebijakan neoliberalisme yang dijalankan dibalik WTO, rakyat terus dijerat dengan berbagai bentuk liberalisasi. Rakyat diberbagai negeri ditimpakan dengan beban pajak yang terus meningkat, dilain sisi pencabutan subsidi public kian intensif, sementara itu pendapatan rakyat terus menurun. Desember 2013 mendatang, WTO telah menyiapkan diri untuk kembali melakukan konsolidasi setelah mengalami kebuntuan demi kebuntuan (deadlocks) atas sejumlah kesepakatannya disetiap putaran, khususnya Putaran Hong Kong 2008 silam. Pertemuan yang telah ditetapkan akan diselenggarakan di Bali, Indonesia secara spesifik akan membahas tentang “Agriculture, Trade facilitation dan, liberalisasi Jasa”.

Dari berbagai kebijakan dan kesepakatan yang telah ditetapkan selama ini, WTO telah membawa berbagai dampak buruk bagi rakyat disetiap sector diseluruh dunia. Demikian pula halnya dengan golongan pemuda yang sedikitpun tak terhindarkan dari musibah yang ditempakan oleh kapitalisme melalui skema perdagangan tersebut. Selain dampak yang dirasakan secara umum bersama rakyat disektor lainnya, pemuda secara khusus juga dihadapkan terutama dengan persoalan atas akses pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Dalam catatan panjang sejarah perkembangan masyarakat dunia, sejatinya pemuda telah terbukti menjadi salah satu kekuatan ampuh untuk perubahan sosial. Dengan semangat dan kehausannya atas ilmu pengetahuan yang tak pernah ada kata puas, pemuda telah membawa berbagai penemuan-penemuan dan inovasi baru untuk kemajuan umat manusia. Namun dilain sisi, dalam setiap perkembangan jaman pula, masa depan pemuda selalu dalam posisi yang kekurangan menjanjikan bagi pemuda itu sendiri. Dalam skema neoliberalisasi yang semakin Intensif, subjeknya sebagai pemuda dengan seluruh potensinya justeru telah direndahkan dan disalah gunakan.

Di mana pun di dunia ini, pemuda telah menjadi korban dari ”kerjasama-kerjasama” dan kooptasi kapitalisme selama ini. Secara khusus disektor pendidikan, melalui GATS-WTO kapitalisme monopoli telah menjalankan kebijakan pencabutan subsidi pendidikan sebagai programnya secara internasional. Akibatnya biaya pendidikan dari tahun ketahun semakin naik dan tidak terjangkau oleh rakyat. Pemerintah seluruh negeri nggota WTO telah meninggalkan tanggung jawabnya untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses secara luas dan terbuka dengan melakukan deregulasi pendidikan yang diletakkan sebagai komoditas yang akan dijual oleh para pencatut (pemangkas), yakni intelektuil dan tenaga pendidik kaki tangan kapitalisme.

Perusahaan-perusahaan swasta juga memeras keuntungan berlipat dari sector dan pelayanan public yang seharusnya dibiayai oleh negara, seperti kesehatan, transportasi, dll. Sementara tenaga kerja diarena domestic untuk kebutuhan global masih terbatas, sehingga mandat sistem ekonomi dunia kemudian adalah memaksa migrasi dan ekspor tenaga kerja dengan komoditas utama yakni pemuda dan perempuan yang dapat dengan mudah disalahgunakan untuk perdagangan tenaga kerja dengan upah murah. Artinya bahwa, dibalik skema liberalisasi yang menjadi prinsip dasar dalam organisasi perdagangan global ini (WTO) adalah skema kebijakan neoliberalisme yang tidak berguna dan telah membawa dampak buruk yang menyakitkan bagi rakyat secara global, termasuk pemuda.

Dapat dibayangkan bahwa kebangkitan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melalui Konferensi Tingkat Menteri ke-9 nya di Bali, Indonesia pada bulan Desember mendatang, sebagai peringatan akan intensifikasi skema neoliberalnya bersama skema “perdagangan bebas” dan penindasan liberalisasi lainnya. Dengan demikian, ada tantangan besar bagi para pemuda dan mahasiswa untuk bersatu dengan sektor lain dan rakyat dari berbagai negara untuk melawan seluruh skema dan mekanisme-mekanisme baru imperialis untuk menindas seluruh bangsa di dunia.

Sejatinya kebangkitan WTO saat ini berbicara tentang keputusasaan imperialism AS untuk menjaga kepalanya yang tengah ter-apung akibat depresi besar dan krisis mematikan yang telah diciptakannya sendiri. Kebangkitan WTO kali ini adalah komitmen baru dari sistem ekonomi dunia untuk meng-kooptasi negara-negara berkembang guna mengembangkan pasar dan sekaligus menciptakan persamaan kerjasama antar kapitalis dan di antara Negara-negara pesaing kapitalis.

Namun demikian, pemuda dan seluruh rakyat tertindas didunia, bagaimanapun jua bukanlah sapi perah yang takut atas setiap penindasannya. Gerakan pemuda dalam beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan bukti kekuatan dan kemampuannya menarik kekuatan dari kemenangan-kemenangan dan keberhasilan perjuangan berbagai sektor dan bangsa didunia. Para pemuda diberbagai negeri diseluruh dunia telah melakukan pengorganisasian, diskusi-diskusi, pendidikan, konferensi-knferensi dan, serangkaian forum untuk memperdalam analisis mereka, belajar dari setiap pengalaman perjuangan masing-masing dan bersatu dalam meluncurkan kampanye untuk hak-hak demokratis mereka. Pemuda terus berduyun-duyun ke jalan untuk menuntut hak dasar mereka atas pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Di Kanada dan Chile misalnya, mahasiswa melancarkan serangan besar-besaran yang memobilisasi massa publik dalam skala luas, untuk melawan kenaikan biaya kuliah. Di Meksiko, pemuda mengorganisir aksi protes besar-besaran untuk menuntut pemenuhan atas hak-hak demokratis. Di Amerika serikat (AS), gerakan Occupy “wall street” yang didominasi oleh gerakan pemuda dan dikenal sangat fenomenal pada tahun 2011 lalu, telah dengan cepat segera menjalar menjadi Inpirasi gerakan rakyat diberbagai negeri. Pengalaman gemilang tersebut terus memicu aksi-aksi protes nasional menentang ketimpangan ekonomi, khususnya di AS sendiri.

Di seluruh Eropa, pemuda bersatu melawan langkah-langkah penghematan yang menyebabkan pengangguran besar-besaran. Di Timur Tengah, pemuda memobilisasi massa di jalan-jalan untuk menggulingkan pemerintahan diktator-nya. Di Filipina, pemuda melawan penggusuran masyarakat miskin perkotaan, pemotongan anggaran dan bahkan mengambil bentuk yang lebih tinggi dari perjuangan untuk pembebasan nasional. Di Indonesian dengan beragam konsolidasi, gerakan pemuda dan mahasiswa juga kian meluas melawan kebijakan privatisasi dan komersialisasi pendidikan, melawan repreifitas didalam lingkungan pendidikan serta ambil bagian dalam perjuangan rakyat melawan perampasan upah, tanah dan pekerjaan serta berbagai persolan sosial dan ekonomi rakyat lainnya.

Dengan demikian, kini dihadapan kita waktu tengah menantang kita untuk memperkuat persatuan dan memajukan perjuangan kita bersama, untuk membuka jalan bagi masa depan dimana terpenuhinya hak seluruh Rakyat. Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 di Bali Bulan Desmeber mendatang, berfungsi sebagai momentum yang tepat bagi para pemuda untuk menegaskan kembali komitmennya untuk memblejeti dan melawan setiap bentuk serangan neoliberal melalui gerakan protes massa dan aksi kolektif lainnya secara bergelombang demi gelombang.

Bangkitlah Kaum muda, bersatu dan berjuang Bersama!
Hidup pemuda mahasiswa!
Hidup Rakyat tertindas seluru dunia!
Jayalah Perjuangan Rakyat!
Jayalah Solidaritas Perjuangan Internasional!

Jakarta, 29 Oktober 2013
Pimpinan Pusat
Front Mahasiswa Nasional (FMN)


L. Muh. Hasan Harry Sandy Ame
Sekretaris Jenderal

Senin, 21 Oktober 2013

Kampanye hari ketiadaan pangan

“LAWAN MONOPOLI DAN HENTIKAN PERAMPASAN TANAH – WUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN DENGAN LAND REFORM SEJATI”

Kerawanan pangan dunia telah dalam titik yang sangat menghawatirkan, tahun 2012 PBB melaporkan sekitar lima belas persen (15%) penduduk negara-negara miskin atau sekitar 850 juta mengalami kelaparan dan 15 juta penduduk di negeri maju mengalami kekurangan gizi atau gizi buruk di ikuti dengan data sekitar 2,5 juta nakak-anak meninggal dalam setiap tahunnya akibat kelaparan dan gizi buruk.

Ironisnya, Fenomena kelaparan dan kerawanan pangan justeru di lihat sebagai peluang bisnis yang menggiurkan oleh para pembisnis yang monopoli pangan dunia untuk mengeruk keuntungan. Dalih menjaga keamanan pangan (food scurity) mereka membangun perkebunan pangan raksasa seperti proyek MEEFE (Merauke Entegraide Energi food estate) di Merauke, Papua. Sejak tuhun 2008 dimana krisis pangan mulai melanda dunia dan meningkatnya data statistik kelaparan tetapi disisi lain keuntungan perusahaan yang memonopoli pangan mengalami peningkatan margin keuntungan yang fantastis, tanpa malu-malu dan merasa berdosa mereka merilis peningkatan keuntungan bersih hingga 300%.

Pesticide Action Network (PAN), merilis saat ini ada enam perusahan pangan dunia - Monsanto, Bayer, Syngenta, Dow, DuPont, dan BASF - memonopoli benih dunia, pestisida dan industri bioteknologi, sehingga enam perusahan mengendalikan nasib makanan dan pertanian dunia. Akibatnya, petani kecil kehilangan kontrol mereka atas input pertanian, harga produk pertanian dan keuntungan dari perdagangan produk pertanian, hinga meengalami peningkatan perampasan tanah.

Untuk terus memastikan kontrol pangan dunia, melalui perusahaan raksasa miliknya, mereka semakan mengintensifkan melalui kebijakan neo-liberal dan dipaksakan keseluruh negeri, mereka memaksa negeri seperti Indonesia untuk menjalankan kebijakan liberalisasi perdagangan, investasi dan keuangan. Melalui bank dunia, mereka juga mempromosikan penyelsaian konflik akibat kebijakannya, dengan ilusi win-win solution dalam penyelesaian tanah secara global, mereka juga menyiapkan lembaga penyelesaian konflik lainnya seperti RSPO dimana lebaga ini merupakan ilusi bagi rakyat yang dibangun oleh mereka dan hanya ditujukan pencegahan atas semakin radikalnya perlawanan rakyat akibat kebijakan yang ditimbulkan.

Pertemuan APEC dibulan ini dan pertemuan WTO di bulan Desember mendatang, merupakan instrumen yang digunakan oleh kapital monopoli untuk memastikan dominasinya melalui berbagai perjanjian yang menguntungkan pihaknya.
                                                                                                
Harga Pangan Melonjak, Penghidupan Rakyat Makin Merosot
Belum lama ini harga pangan telah menembus angka yang sangat fantastis hingga mayoritas rakyat Indonesia harus mengurangi konsumsinya bahkan pada tingkat tidak sanggup untuk membeli beberapa jenis kebutuhan tertentu. Bagaimana tidak harga daging mencapai Rp.100.000-120.000/Kg, bahkan di bandung harga tembus Rp. 150.000/Kg pada tanggal 15 Juli 2013. Harga telor naik menjadi Rp. 25.000/Kg, daging ayam Rp. 34.000/Kg, harga bawang merah Rp. 63.000/Kg, cabe rawit Rp. 80.000 bahkan di daerah Sangat Kalimantan pernah mencapai Rp. 150.00/Kg, cabe kreting Rp. 70.000/Kg, harga beras juga mengalami kenaikan dari Rp. 9.100 menjadi Rp. 10.500/Kg kwalitas sedang atau medium10. Dan tentu harga dilapangan bisa melebihi data yang ada terlebih di pedesaan, tetapi tingginya harga pangan dipasaran sama sekali tidak memiliki hubungan dengan harga jual panen petani, petani tetap tidak menikmati kenaikan harga pangan, harga cabe rawit Rp. 20.000, cabe kriting Rp. 30.000.

Pernyataan pemerintah melalui menteri perdagangan Gita wiryawan, bahwa kenaikan harga pangan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, dampak kenaikan harga BBM dan naiknya biaya transportasi. Pernyataan ini bertolak belakang dengan pernyataan Hata Rajasa ketika mengumumkan kenaikan BBM bulan mei yang lalu, dimana pemerintah menjamin kenaikan harga BBM tidak akan mempengaruhi kenaikan harga-harga secara signifikan, pemerintah juga menjamin pasokan pangan mencukupi hingga akhir tahun ini.

Faktor kedua adalah karena adanya peningkatan permintaan pangan, ketiga pasokan pangan yang kurang, faktor lain adalah adanya espektasi/harapan pedagang yang ingin mendapatkan keuntungan lebih, selain itu pemerintah juga menyebutkan adanya kartel serta spekulan yang bermain di balik tingginya harga komoditas pangan. Untuk mengatasi problem kenaikan harga pangan tersebut pemerintah menetapkan beberapa kebijakan terutama : operasi pasar untuk menstabilkan harga, kebijakan fiskal untuk eksport dan import pangan serta mempercepat dan menambah kuota impor pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Melihat dari fenomena kenaikan harga pangan, terlihat jelas bagaimana lemahnya kemampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga pangan bagi rakyat. Hal ini seperti mengulang berbagai langkah pemerintah yang kemudian terbukti gagal, seperti saat kenaikan dan kelangkaan daging sapi sebelum kenaikan BBM yang kemudian di sikapi dengan cara menambah kuota dan mempercepat import daging sapi. Akan tetapi harga daging sapi tidak pernah kembali turun ke harga normal. Bahkan saat ini pedagang daging masih mengandalkan pasokan daging lokal di bandingkan import. Fakta ini menunjukan bagaimana langkah pemerintah untuk mengontrol harga pada hakikatnya tidak akan bisa menyelesaikan masalah tingginya harga pangan.

Penyebab tingginya harga pangan
Secara pokok penyebab utama dari kenaikan harga komoditas pangan adalah akibat terjadinya monopoli terhadap alat produksi pertanian, sarana produksi pertanian dan produk pertanian, serta pasar. Monopoli alat produksi (tanah) oleh para tuan tanah, baik secara langsung oleh imperialisme, Tuan tanah besaar komperador, maupuan negara telah menjadikan para tuan tanah ini menjadi pemegang kontrol atas pertanian hinga garha produk pertaniannya.

Monopoli produk pertanian dilakukan oleh perusahaan besar milik kapital monopoli dunia seperti mosanto, cargil, mulai dari bibit, pupuk, obat dll. Karena monopolinya misal mosanto dalam pertengahan tahun 2013 ini mengalami peningkatan keuntungan hinga 30% dari tahun 2012. Selain melakukan monopoli sarana produksi pertanian, para perusahaan besar dunia juga melakukan monopoli atas hasil produksi pertanian. komoditas pangan telah begitu menggiurkan kapitalis monopoli, sehingga mereka sangat bernapsu untuk terus mengembangkan modal dan investasinya di bidang komoditas pangan, mulai dari pengembangan pertanian skala besar hingga produksi bahan pangan dan pangan olahan (produk derivasi) yang mampu menghasilkan keuntungan berlipat ganda. Akibatnya tentu bisa dibayangkan, bagaimana jika kebutuhan sosial seperti pangan kemudian di kuasai oleh segelintir pihak, maka tentu mereka akan memiliki kemampuan untuk mengatur dan menetapkan harga dengan mudah sesuai dengan mekanisme yang diinginkan. Untuk terus memastikan keuntungannya maka mereka juga membutuhkan pasar. Untuk memastikan pasar dan untuk menguasai pasar mereka memaksa seluruh negara untuk membuka kran sebebas-bebasnya bagi produk yang dimonopolinya.

Liberalisasi perdagangan melalui WTO
WTO (World Trade Organization) adalah lembaga perdagangan dunia terbesar yang ada, WTO beranggotakan 124 negara termasuk Indonesia. WTO dibentuk pada tahun 1995 yang digunakan oleh imperialisme untuk memaksa negara-negara berkembang (jajahan-setengah jajahan) membuka pasarnya, menyediakan tenagakerja murah serta mendapatkan sumber daya alam untuk mengeruk keuntungan, perkembangan saat ini WTO digunakan sebagai salah satu skema penyelamatan dampak krisis dari sistem kapital monopoli.Dengan demikian WTO bukanlah satu-satunya alat bagi Imperialisme untuk mendominasi masalah perdagangan dunia, skema yang sama juga dibuat oleh AS dan negeri kapital monopoli lainnya melalui kerjasama bilateral seperti US Indo komperhenshif, multilateral seperti APEC, ASEAN, EAS comunity, WTO, G20, dll dan plulilateral seperti TPP (trans Pasific Partnership).

WTO akan mengelar pertemuan untuk menyepakati agenda-agenda perdagangan dunia pada bulan Desember mendatang di Bali. Sedangkan APEC akan digelar di bulan Oktober di tempat yang sama.Dalam agenada pembasan WTO di Bali nanti bulan Desember menunjukan betapa agresifnya AS dan negeri-negeri kapital monopoli/Imperialisme, setidaknya akan ada tiga pembahasan utama atau yang terkenal dengan agena “ Bali package” yang isinya pembahasan menganai Agricultur. Yang kedua LDC Issues (Least Developed Countries, dan ketiga Tentang Trade Fasilitation (fasilitas perdagangan).

Agenda pertemuan WTO di Bali memiliki kedudukan yang sangat pentng bagi Imperialisme, untuk melegitimasi seluruh perjanjian perdagangan dan membangun rezim perdagangan multirateral. dari tiga agenda pembahasan di Bali mendatang, yang dikenal dengan “Bali Package” Agrikultur merupakan bahasan yang tidak terlalu di kehendaki oleh negeri Imperialis seperti AS, proposal ini diajukan oleh negara berkembang yang dikenal dengan G33 dan Indonesia masuk didalamnya. Selin tidak menarik bagi AS karena tidak yang menjadi kepentingannya, dalam perjanjian WTO yang sudah ada bahwa subsidi telah ada peraturan pembatasan tidak boleh melebihi 10% dari seluruh biaya produksi pertanian, dan ini menghambat bagi pasar menurut AS, tetapi liciknya hingga saat negeri Imperialis tetap memberikan subsidi bagi pertaniannya sebesar eropa 110.3milyardolar dan di AS 48.3 milyar dolar.

Begitu juga proposal tentang LDC, proposal ini diajukan oleh negara-negara yang kategorinya sangat terbelakang, meraka mengajukan dihilangkanya batasan kuota dalam perdagangan, pembebasan biaya ekspor, adanya pengurangan subsidi petani kapas di amerika, mereka menuntut pelayanan yang lebih baik ketika melakukan ekspor.

Yang ketiga soal Trade Fasilitation merupakan agenda yang sangat penting bagi Imperialisme, mereka berkeinginan bahwa pasar tidak ada sama sekali hambatan dan distribusi barang biar lebih cepat, sederhana, efektif dan terkontrol, maka negara imperialis meminta agar seluruh negara malakukan perbaikan sistem dalam perbatasan, seperti pelabuhan, bandara dan lain sebagainya selain itu mereka juga menuntut adanya komputerisasi, dalam proses beacukai, hal ini ditujukan untuk mempercepat arus barang.

Dari seluruh agenda, yang akan dibahas bisa dipastikan agenda dari imperialisme yang akan tetap mendominasi, sebab negara berkembang dan terbelakang dibawah tekanan jika menolak dari kehendak impe maka, bantuan dan hutang menjadi ancaman untuk dihentikan, ini kedudukan WTO sebagai skema yang dimiki oleh Imperilaisme.

WTO dan kepentingan rakyat Indonesia
WTO merupakan skema negeri imperialis untuk mendominasi pasar dunia, dalam sektor pertanian AS berkepentingan untuk memonopoli seluruh sarana produksi pertanian, pasar dan termasuk alat produksi (tanah). Dengan demikian, skema dalam WTO sangat mengancam bagi kelangsungan dan masa depan kaum tani di Indonesia, skema ini akan semakin memassifkan perampasan tanah, semakin mahalnya biaya produksi dan semakin hancurnya harga produk pertanian di dalam negeri akibat dari liberalisasi produk pertanian. WTO juga akan mengancam tentang kedaulatan pangan di Indonesia. Karenanya skema imperialisme melalui WTO dan seluruh skema lainnya haruslah dihadang dan dilawan oleh rakyat Indonesia.

Sebab agenda Imperialisme hanya akan menguntungkan mereka dan juga menguntungkan kaki tangannya didalam negeri (para borjuasi besar komperador, para-tuan tanah dan juga para kapitalis birokrat), dan secara pokok agenda mereka hanya akan merugikan rakyat, dan menghambat perjuangan land reform di Indonesia.

“Lawan Monopoli dan Perampasan Tanah, Wujudkan Kedaulatan Pangan”
Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industri Nasional!
Lawan Liberalisasi-Bubarkan WTO!

Jayalah Perjuangan Rakyat Seluruh Negeri…!!!

KPOP AGRA – SULSEL

Sabtu, 21 September 2013

Hari Tani Nasional



Front Mahasiswa Nasional (FMN)

Pemuda Mahasiswa Berjuang Bersama rakyat
Lawan Perampasan dan Monopoli Tanah-Wujudkan Kedaulatan Pangan

Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industri Nasional!
Lawan Liberalisasi-Bubarkan WTO!

Sejarah Hari Tani Nasional (HTN)
Hari tai nasional (HTN) yang selama ini diperingati setiap tahun oleh seluruh Rakyat Indonesia khususnya oleh kaum tani, sejatinya adalah salah satu momentum bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia. Momentum tersebut, sejalan dengan lahirnya undang-undang pokok agraria (UU PA) No. 5, tanggal 24 September Tahun 1960, sebagai salah satu capaian politik kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia dalam perjuangannya mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan berdaulat.

Lahirnya momentum tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang perjuangan kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia untuk melanjutkan revolusi 1945 dan usaha-usaha untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Dalam setiap jengkal perjuangan tersebut, sejak pra kemerdekaan hingga paska proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari perjuangan kaum tani melawan perampasan dan monpoli atas tanah dalam skala luas yang saat itu sebagian besar dikuasai oleh tuan tanah lokal dan bangsa Asing, terutama oleh kolonial Belanda maupun oleh perusahaan swasta Asing lainnya melalui konsesi yang diberikan oleh pemerintah kerajaan Belanda.


Penguasaan tanah secara besar-besaran oleh colonial beserta perusahaan swasta asing ketika itu (Pra kemerdekaan 1945) tentu saja telah membawa penderitaan dan kesengsaraan yang dalam bagi kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia. Massifnya perampasan dan monopoli tanah skala luas saat itu, ialah akibat dari pelayanan tuan-tuan feudal yang juga telah lama menguasai tanah-tanah rakyat. Penguasaan tanah oleh tuan tanah lokal dan asing saat itu telah dilakukan dengan berbagai bentuk pemaksaan, bahkan dengan cara-cara yang sangat brutal.

Namun demikian, kaum tani tidak pernah gentar sedikitpun untuk menggencarkan perlawanannya, baik dalam mempertahankan maupun merebut kembali haknya atas tanah. Dengan usaha keras tersebut, telah terbukti Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan colonial hingga dideklarasikannya kemerdekaan Ri sebagai capaian perjuangannya yang paling gemilang.

Saat ini, meskipun telah 68 tahun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, namun rakyat Indonesia masih belum terbebaskan dari persoalan perampasan dan mopoli tanah, monopoli atas sarana produksi pertanian dan monopoli atas sumber-sumber agraria lainnya. Hal tersebut ialah akibat dari cengkaraman system masyarakat setengah jajahan dan setengah feudal yang dipimpin oleh rezim komprador dan tuan tanah yang hakekatnya sebagai kaki tangan Imperialisme. Kenyataannya, paska revolusi 1945, Rakyat terus berjuang keras untuk menuntaskan revolusi dan mempertahankan kemerdekaan dengan menghancurkan cengkraman tuan tanah dan imperialisme di Indonesia.  Namun tuntutan rakyat agar bebas sepenuhnya dari kekuasaan tuan tanah dan imperialis berlawanan dengan politik pemerintahan reaksi yang diwakili khususnya oleh Hatta dan Syahrir (Demokrasi liberal 1945-1950).

Secara politik, sekalipun pemerintahan Hatta dan Syharir nampak di permukaan liberaldan menerapkan sistem palementer, akan tetapi sistem kekuasaan negara lama yaitu feodalisme masih bercokol dalam kekuasaan negara, bahkan telah kembali kian tegak di bawah dominasi dan Intervensi imperialisme. Sehingga pemerintahan yang dibenci oleh rakyat di era jajahan dapat kembali menjalankan penghisapan feodal seperti sedia kala berdasarkan kedudukannya yang istimewa atas tanah. Negara baru ini jelas bukan milik rakyat, akan tetapi menjadi milik segelintir borjuasi komprador dan tuan tanah secara bersama-sama yang diabdikan kepada imperialis AS yang mendominasi dunia sejak Pasca Perang Dunia ke-2.

Negara Indonesia resmi menjadi negara setengah jajahan dan setengah feudal semenjak penandatanganan Konferensi Meja Bundar (KMB. Tahun 1949) dengan seluruh isinya yang sangat melukai hati dan merugikan rakyat Indonesia, khususnya kaum tani. Salah satunya yakni: Indonesia tidak boleh melakukan Nasionalisasi atas asset-aset Asing (selain milik Jepang dan Jerman) yang telah beroperasi di Indonesia. Artinya bahwa tanah-tanah yang sudah di nasionalisasi oleh rakyat harus dikembalikan kepada pihak musuh yakni Belanda, AS dan Inggris. Perjanjian anti rakyat tersebut, tentu saja telah mengundang resisten dan kian mendorong perlawanan rakyat khususnya kaum tani. Sejak itu pula, ketika pemerintah mulai menggunakan tentara dan polisi untuk megusir kaum tani, tidak terhidarkan terjadinya perlawanan yang berdarah-darah. Beberapa perlawanan keras yang dilakukan oleh Kaum tani, diantaranya terjadi di Tanjung Morawa-Sumatra Utara, peristiwa berdarah di Jengkol (karesiden Kediri, Jawa timur), peristiwa berdarah Ketahun (Boyolali, Jawa Tengah), peristiwa berdarah Bandar Betsy (Aceh) dan diberbagai daerah lainnya.

Dengan berbagai perdebatan konsep negara di jajaran pemerintah saat itu, dengan kenyataan berbagai bentuk pemberontakan rakyat yang berkecamuk tiada henti, Soekarno kemudian mengambil kekuasaan yang mencampakkan demokrasi liberal menjadi sistem Presidensil utuh. Sikap tegas Soekarno ketika itu, tentu saja karena desakan rakyar Indonesia untuk segera menuntaskan revolusi agustus yang hakekatya adalah revolusi Agraria untuk menjalankan reforma agraria sejati, melalui Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 yang selanjutnya telah menjadai salah satu dasar untuk membentuk UUPA No. 5 Tahun 1960 di Indonesia.

Selanjutnya, pemerintah diawah kuasa rezim Nasionalis Soekarno, terus didesak oleh Rakyat untuk merumuskan suatu undang-undang yang megatur tentang kepemilikan dan tatakelola Agraria, sebagai antithesis untuk menghapuskan segala hukum agraria milik Belanda yang berlaku saat itu yang tersusun berdasarkan tujuan dan kepentingan pemerintah jajahan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara.

Setelah melalui berbagai proses, perdebatan dan berbagai pertentangan, tepat pada tanggal 24 September 1960 kemudian ditetapkan sebuah UU yang yang secara khusus mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber Agraria, yakni undang-udang pokok Agraria (UU PA No. 5). Dalam UU tersebut, pada intinya menjelaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum tani dan masyarakat adat berhak untuk menguasai dan mengelola tanah untuk kesejahteraan rakyat. Artinya bahwa, roh sesungguhnya dari UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah Landreform(Tanah Untuk Rakyat).

Disahkannya UUPA No. 5 Tahun 1960 di Indonesia, sebenarnya merupakan bagian kemenangan perjuangan kaum tani Indonesia sejak abad 17 sampai  20 untuk menolak hukum agraria kolonial yang melanggengkan penghisapan atas buruh tani, tani miskin, masyarakat adat oleh kolonial dan tuan tanah lokal. Dengan berlakunya UUPA No.5 Tahun 1960, maka telah dihapuskan pula hukum agraria kolonial yang telah menindas rakyat, seperti[1]:
1."Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal tersebut; 
2. a). "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118); b). "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875. No. 119A; c). "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; d). "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; e). "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;  
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No.117) dan peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini.

Keempat peraturan yang dihapuskan tersebut diatas merupakan asas Undang-undang agraria colonial atau Agrarische wet de Waal. Secara historis UU tersebut dilahirkan pada tahun 1870 sebagai upaya mengejar ketertinggalan Belanda dari negeri-negeri kapitalis lainnya yang dalam transisi mencapai puncaknya (Imperialisme). Dengan demikian, Belanda harus lebih terbuka dalam iklim investasi dan finans terhadap dunia. Salah satu isi UU tersebut ialah aturan yang memberikan peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah di Bumi Nusantara, seperti dari InggrisBelgia,Amerika SerikatJepang untuk membuka pabrik, perkebunan dan pertanian dalam skala yang besar.

Dalam perkembangannya, UU tersebut pula yang telah mendorong lahirnya  kelas baru dalam Masyarakat Indonesia, yakni klas buru (Proletar). Agrarische wet de Waalmulai dijalankan sejak tahun 1870 dengan azas Domeinverklaring yang isi pokoknya: “Semua tanah yang tidak terbukti dimiliki dengan hak eigendom adalah kepunyaan Negara (Saat itu adalah kerajaan Hindia Belanda)”.

Azaz UU tersebut mengatur tentang pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum[2]. Asas Domeinverklaring inilah yang memberikan legitimasi untuk merampas tanah rakyat oleh negara dan pihak swasta atas nama Investasi (Investasi asing). Inilah yang menjadi dasar mengapa keempat pasal di atas dihapus untuk membangun azas agraria yang mengutamakan tanah untuk rakyat.

Dengan ditetapkannya UUPA No. 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September sebagai salah satu capaian politik dalam perjuanga rakyat Indonesia, Pemerintah sekaligus menetapkannnya sebagai Hari Tani Nasional sebagai bentuk Apresiasi atas perjuangan kaum tani dan seluruh Rakyat yang begitu gigih mempertahankan dan merebut haknya atas tanah. Bagi kaum tani dan seluruh Rakyat, penetapan momentum tersebut untuk diperingati setiap tahun, tiada lain ialah untuk tetap mengenang sejarah perjuangan keras kaum tani sepanjang masa dan mengambil inspirasi atas setiap bentuk perjuangan tersebut sebagai tempaan terus-menerus dalam perjuangan melawan perampasan dan monopoli tanah untuk mewujudkan reforma agraria sejati.

Dalam peringatan momentum HTN, 24 September mendatang yang bertepatan dengan 53 Tahun UU PA, maka kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia, harus dapat megambil semangat dan inspirasi perjuangan kaum tani dalam sejarahnya yang selalu gigih dan tidak pernah gentar menggencarkan perjuangannya. Secara khusus bagi rakyat disektor lainnya, melalui momentum HTN 2013 kali ini juga harus dapat mengambil pelajaran bahwa, perjuangan pembebasan Nasional di Indonesia tidak pernah terlepas dari perjuangan kaum tani.

Demikian pula kenyataannya sekarang ini, dibawah cengkrama system setengah jajahan dan setengah feudal (SJSF) dengan massifnya monopoli tanah sebagai problem pokok Rakyatnya, maka dalam usaha untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan kemerdekaan yang sejati, seluruh Rakyat Indonesia harus dapat menyadari bahwa hal tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya reforma agraria sejati (Genuine Land Reform). Artinya bahwa dengan dasar tersebut, maka seluruh Rakyat harus memastika diri untuk bisa ambil bagian dan terintegrasi lansung dalam berbagai bentuk perjuangan melawan perampasan dan monopoli tanah untuk mewujudkan Reforma Agraria sejati.

Risalah Kaum Tani Atas Perampasan dan Monopoli Tanah di Bawah Kuasa SBY
Pertanian di Indonesia seharusnya dikuasai oleh rakyat khususnya kaum tani sebagai syarat utama menjalankan cita-cita revolusi agustus ’45 yakni kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil perjuangan rakyat yang pada hakekatnya membebaskan dari musuh-musuh rakyat yakni tuan tanah dan kolonial. UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai bagian kemenangan kaum tani yang ternyata bertolak belakang dari praktek penyerahan tanah pada kaum tani.  Akan tetapi, tanah yang seharusnya menjadi basis pertanian, kini lebih didominasi oleh perkebunan besar milik negara dan swasta yang kedua-duanya berhubungan langsung dengan imperialisme. Praktek tersebut telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan seperti, perampasan tanah, sewa tanah tinggi (utamanya sistem bagi hasil), peribaan, serta sarana dan hasil produksi yang dikontrol penuh oleh komprador dan tuan tanah besar. Di sisi lain masifnya perampasan dan monopoli tanah, sebagian besar dilakukan dengan cara kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum tani. 

Saat ini perkebunan besar paling dominan dengan komoditas dan luas lahan masng-masing adalah perkebunan besar kelapa sawit (9.074.621 Ha), perkebunan besarkaret (3.484.073 Ha), perkebunan besar kelapa (3.787.724 Ha), Perkebunan besar Kakao (1.732.954 Ha), Perkebunan Kopi (1.233.982 Ha) atau pangan lainnya[3], Semuanya berorientasi ekspor dan mengabdi pada kepentingan industri imperialismekhususnya AS.  Penguasaan tanah untuk perkebunan, bahkan tambang besar dan taman nasional yang sangat luas tersebut, kenyatannya telah menghilangkan sandaran hidup bagi kaum tani, mempersempit lapangan kerja bagi sebagian besar rakyat Indonesia.

Monopoli tanah skala besar tersebut yang digadang-gadang sebagai salah satu skema untuk menekan agnka pengangguran, kenyataannya daya serap (perekrutan) tenaga kerja didalam perkebunan maupun pertambangan besar, berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerja (penganggguran) yang terus menumpuk. Setiap perkebunan besar hanya mampu  menampung rata-rata 200 orang pekerja per 10.000 hektar tanah konsesinya yang berasal dari tani miskin dan buruh tani yang terampas tanahnya. Dalam hitungan 200 Orang per 10.000 hk tersebut bahkan termasuk tani plasma yang “terpaksa” tunduk pada tuan tanah karena ketergantungannya pada kapital untuk mengolah lahan dan akses atas pasar. Di sisi lain, upah tenaga kerja(buruh tani) yang dibeli atau bagi hasil yang diterima oleh para petani “plasma”sangatlah rendah.

Pekerja-perkeja tersebut hidup dengan upah harian yang sangat rendah, bergantug pada sistem kerja musiman, keadaan kerja yang sangat buruk, serta dengan sistem bagi hasil yang sangat timpang bagi petani plasma. Kampanye perkebunan, pertambangan dalam skala besar untuk membuka lapangan pekerjaan hanyalah ilusi dan bohong semata rezim SBY. Berdasarkan data BPS Per Februari 2012 tentang Ketenagakerjaan, angka pengangguran mencapai 43,16 Juta  jiwa dari 120,41 juta angkatan kerja di Indonesia[4].  tentu hal ini akibat dari perampasan dan monopoli negara dalam skala luas baik negara dan swasta. Contohnya; Negara sebagai Tuan Tanah (Tipe Tuan Tanah Keempat) yakni dalam bentuk  Taman nasional seluruh Indonesia yang berjumlah 50, menguasai sekitar 16.209.393 Ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia[5].

Melalui PTPN, Negara juga melakukan monopoli tanah seluas ± 1,5 Juta Ha yang tersebar diseluruh Indonesia, mulai PTPN I-XIV. Sedangkan Inhutani (Negara) I-V melakukan monopoli tanah seluas ± 899.898[6] dan, masih banyak lagi bentuk-bentuk negara sebagai tuan tanah. Sementara borjuasi besar- tuan tanah besar swasta atau disebut sebagai tuan tanah tipe 3, Pertama di duduki PT. Salim Group (penguasaan areal kelapa sawit saja belum produksi lain), sekitar 1.155.745 Ha. Kedua Sinar Mas Group sekitar 320.463 Ha. Sedangkan urutan ketiga ditempati oleh Wilmar International Group, sekitar 210.000 Ha. Ketiga borjuasi besar dan tuan tanah besar swasta ini, juga bergerak di bidang perbankan dan jasa.[7]

Sementara itu komposisi mayoritas dari kaum tani Indonesia adalah tani miskin yang menguasai tanah sangat terbatas, bahkan buruh tani yang tidak menguasai tanah sama sekali, dan tani sedang, serta segelintir tani kaya yang selalu terancam kebangkrutan karena monopoli input dan out-put pertanian oleh imperialis dan tuan tanah besar. Kaum tani inilah yang berjuang memenuhi pangan nasional secara mandiri, utamanya makanan pokok seperti beras, sayur-mayur dan aneka protein tanpa dukungan berarti dari pemerintahan SBY.

Kebijakan dan regulasi pemerintahan SBY hanya mengabdi pada kepentingan imperialis dan para tuan tanah besarnya, termasuk kebijakan dan regulasi tanah dan kapital serta perdagangan input dan output pertanian. Karena itu, kepemilikan atastanah masih menjadi akar persoalan pokok kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia,sertbiaya yang tinggi dalam mengolah tanah pertaniannya. Sekalipun Indonesia memiliki potensi lahan pertanian yang sangat luas, kaum tani dan rakyat secara keseluruhan selalu kekurangan makanan pokok untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan corak produksi Indonesia sebagai Negara agraris.

Pada saat krisis pangan di dunia mengemuka seperti saat ini sebagai bagian yang integral dalam krisis umum imperialisme AS, pemerintah SBY malah dengan sigap menjanjikan tanah dengan berbagai kemudahan bagi para investor asing agar “bersedia” mengembangkan tanaman pangan di Indonesia dengan kedok “keamanan pangan dunia.” Padahal hampir setiap hari di seluruh pelosok negeri, kaum tani menuntut lahan pertanian yang cukup dengan bantuan kapital untuk dapat berproduksi. Akan tetapi tuntutan-tuntutan tersebut tak ubahnya bagai angin lalu bagi pemerintah lalim SBY-Boediono, tanah dan kapital yang tersedia justru terus dirampas dan diberikan pada perkebunan skala besar.

Di tahun 2013 ini pula, kerjasama-kerjasama Multilateral yang telah dibentuknya, baik ditingkat dunia secara umum maupun ditingkat regional dengan berbagai perjanjian yang mengikat bagi Negara-negara anggotanya melalui Pertemuan APEC dan WTO, tentu tujuannya untuk melahirkan skema liberalisasi baik di sektor perdagangan dan jasa. Namun juga yang tak luput menjadi salah-satu agenda besar WTO adalah liberalisasi di sektor pertanian.

Melalui Forum APEC dan khususnya WTO Desember 2013 nanti, akan mengikat negara-negara anggota (terutama bagi Negara-negara berkembang) seperti Indonesia untuk mencabut subsidi pertanian. Sementara di satu sisi, Imperialisme AS tidak konsisten menjalankannya. Sebab, di negara-negara maju justru subsidi di pertanian masih dijalankan.  Kita dapat menilai bagaimana Negara Maju melalui ingin memperlemah posisi petani di negara berkembang dan mengubah tanah petani menjadi perkebunan skala besar yang berorientasi terhadap kepentingan pasar.

Dalam aspek monopoli sarana dan hasil produksi akan menjadi bagian kebijakan dari liberalisasi perdagangan WTO untuk meraup keuntungan besar bagi Imperialisme AS. Kerjasama dibidang pertanian akan menjadi salah satu dari 3 Agenda pembahasan dalalm pertemuan APEC dan WTO (1). Tentang Kerjasama Agricultur, 2).  Tentang Fasilitasi perdagangan/ Trade Facilitation (termasuk didalamya Memaksimalkan kerjasama dibidang Jasa) dan, 3). Isu negara-negara miskin (LDC Issues: Least Development Countries). Dalalm hal tersebut, Pemerintah RI akan mengajukan 4 komoditas utama produk pertanian Indonesia untuk dimasukkan kedalam produk khusus di dalam WTO.

Dari ketiga agenda utama tersebut, fokus utama pembahasan akan diletakkan paling utama akan diletakkan pada pembahasan tentang jasa dan fasilitas perdagangan (Trade Facillitation), termasuk jasa dalam perdagangan produk pertanian. Dalam hal ini, Imperialis berusaha untuk menghindari pembahasan yang dalam dan serius terkait dengan isu Agraria, hal tersebut ialah upaya untuk mengabaikan dan menghindari program-program kerjasama perdagangan pertanian yang diajukan oleh Negara-negara Global South (Negara-negara G-33), karena ajuan-ajuan tersebut menyangkut soal kelansungan dominasi produk dan pasar pertanian yang sudah dikuasai oleh Imperialis selama ini.

Dalam konteks pertanian, Imperialisme justru akan lebih banyak menekankan tentang fasilitas perdagangan, termasuk penghapusan bea eksport-Import dengan “ilusi perdagangan bebas dan persaingan global”, sehingga  Imperialisme dapat semakin leluasa mendominasi pasar Internasional. Dampaknya, Kaum tani akan semakin kehilangan kemampuan bersaing atas produk pertanian yang diproduksi seperti Buah, Sayur-mayur dan kebutuhan pangan lainnya.

Sementara itu, kebijakan-kebijakan yang reaksioner oleh rezim komprador Imperialisme AS, SBY masih secara konsisten mengeluarkan berbagai paket kebijakan yang tujuannya menyediakan tanah dalam skala luas untuk ekspansi perkebunan dan pertambangan besar-besaran, baik ditujukan kepada borjuasi besar komprador, tuan tanah besar atau Imperialisme AS dalam bentuk investasi asing. UU Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum merupakan legitimasi bagi perkebunan besar baik negara ataupun swasta dalam melanggengkan praktek monopoli atas tanah.

Selain itu pemerintahan SBY melakukan Praktek perampasan dan monopoli tanah dengan berbagai dalih untuk meningkatkan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan pekerjaan seperti penerbitan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Atas Tanah, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai yang diatur yang diatur secara eksplisit dalam UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007[8]. Bayangkan saja, HGU dapat diterbitkan untuk menguasai SDA khususnya tanah, tambang oleh perusahaan besar baik negara atau swasta dengan kurun waktu 95 tahun. Sedangkan Hak Guna Bangunan (HGB) sampai 80 tahun dan Hak Pakai mencapai usia lamanya 70 Tahun, sungguh ironi.

Sementara itu, Kaum tani juga semakin terancam akibat kebijakan taman nasional dan perkebunan kayu yang disebut Hutan Tanaman Industri (HTI). Seperti suku minoritas di Kalimantan dan Sumatera utara (di kawasan taman nasional gunung leuser) yang tergusur akan kebijakan tersebut. Kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus No. 39 Tahun 2009, juga tak kala merampas segala hak demokratis kaum tani atas penguasaan atas tanah. Pada pasal 2 yang berbunyi “KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional[9].

Artinya atas nama zona ekonomi di suatu wilayah yang mempunyai batas tertentu, maka pemerintahan SBY berhak mengambil tanah rakyat dengan dalih KEK untuk diberikan pengelolahannya pada BUMN, BUMD dan pihak swasta. Manifestasi KEK yang mempunyai hubungan dengan kebijakan MP3EI, ini bisa kita lihat dari megaproyek tahun 2013 KEK Sei Mangke Sumut (Perkebunan, Industri, infrastuktur), KEK Koridor 3 Bali, Nusa tenggara (Pariwisata, Peternakan, Infrastuktur), Dalam proyek KEK pangan di Merauke, rencana investasinya diperkirakan akan mencapai hingga US$ 43 juta per 5 (lima) ribu hektar dari 1 juta Ha yang dikuasai dan masih banyak lagi di wilayah-wilayah Indonesia yang akan dijalankan dari megaproyek KEK.

Atas kenyataan-kenyatann tersebut dan perkembangan situasi umum Masyarakat Indonesia sekarag ini, maka yang menjadi perjuangan pokok dari kaum tani Indonesia adalah mewujudkan reforma agraria sejati (landreform) atau pembaruan tanah. Di Negeri setengah jajahan dan setengah feudal seperti Indonesia, perjuangan mewujudkan reforma agraria sejati tidak hanya menjadi kepentingan kaum tani semata, melainkan kepentingan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebab setiap persoalan rakyat yang mengemuka hari ini adalah akibat dari sistem terbelakang (setengah feudal) yang dipertahankan oleh pemerintah SBY atas dukungan tuannya Imperialisme AS.

Korelasi Perampasan Tanah dengan Pendidikan di Indonesia
Dalam mempertahankan sistem usang yang terbelakang, Imperialisme AS melalui kompradornya di dalam negeri, sangat berkepentingan untuk terus mempertahankan hegemoninya melalui berbagai aspek kebudayaan, terutama melalui lapangan pendidikan, dengan merawat pikiran-pikiran yang jauh dari keilmiahan ilmu pengetahuan dan penuh Ilusi yang ditambah dengan pikiran yang sesat dan mistis.Kenyataannya dilapangan pendidikan, berbicara rendahnya kemampuan rakyat dalam mengakses pendidikan disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan serta rendahnya anggaran yang disediakan oleh pemerintah.

Kenyataan-kenyataan tersebut, berbanding lurus dengan kondisi rakyat Indonesia yang sebagian besar berada di pedesaan yang tumpuan ekonomi atas akses penguasaan tanah kecil. Sekitar 65 % rakyat Indonesia berada di desa, 50 % nya tani miskin dan buruh tani yang berpendapatan per hari RP. 20.000-30.000,-. Tentu hal ini akan berdampak sistemik rendahnya akses masyarakat di desa mendapatkan pendidikan. Dari total 237 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, diantaranya terdapat 46,28 juta jiwa usia sekolah tingkat dasar (6-14 tahun),  12,6 juta jiwa sekolah tingkat menengah (15-17 tahun) dan 62 Juta jiwa tingkat pendidikan tinggi (18-30 tahun).

Dengan demikian penyelengaraan pendidikan haruslah dijamin oleh negara agar rakyat dapat mengakses dan menikmati setiap jenjang pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, Pendidikan tinggi dari 62 juta hanya mampu menampung 5,2 juta peserta didik/mahasiswa (Data BPS; 2012). Sementara, angka Pengangguran dan angka buta huruf pun terus meningkat berbanding lurus dengan angka kemiskinan di Indonesia yang mencapai  37.168.300 jiwa (16,58 dengan persebaran 13.559.000 jiwa (12,52%) diperkotaan dan 23.609.000 jiwa (20,37%) di pedesaan. Tentu angka-angka ini masih kecil jika dibandingkan dengan kenyataan rakyat Indonesia, apalagi ukuran kemiskinan Indonesia dengan standar pendapatan di bawah US$ 1 Dollar per hari. Maka dapat dipastikan sangat kecil anak petani dan pemuda desa yang bisa mengakses pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan tinggi.

Sementara itu, Pendidikan dikembangkan sama sekali tidak mencerminkan aspirasi dan kepentingan Rakyat. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kebijakan dari sistem penyelenggaraan pendidikan yang tidak pernah jauh dari penyelamatan krisis imperialisme AS. Orientasi pendidikan semacam ini, tercermin dalam berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah disektor pendidikan, seperti penerapan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), Undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknastahun 2003 dan, Undang-undang badan hukum pendidikan (UU BHP) yang ditetapkan pada tahun 2009 sebagai undang-undang yang memperkuat kedudukan dari PT BHMN yang mengatur secara khusus tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan tinggi.

Selanjutnya, tepatnya 13 Juni 2012, Pemerintah kembali menetapkan regulasi baru untuk pendidikan tinggi, yakni Undang-undang pendidikan tinggi (UU PT) sebagai pengganti dari UU BHP yang telah dicabut oleh Mahkamah konstitusi (MK) pada akhir Maret 2010. Pencabutan UU BHP oleh MK tentu saja setelah mengalami penolakan keras dalam berbagai bentuk protes dari berbagai kalangan, Undang tersebut (UU BHP) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia.Akan tetapi, UU PT merupakan baju baru dari UU BHP. Sebab roh UU PT secara esensi masih sama dengan UU BHP yakni liberalisasi di dunia pendidikan tinggi.

Hal ini tentu akan menghilangkan semangat untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum tani yang semakin terjerat atas perampasan dan monopoli atas tanah. Secara politik, pendidikan Indonesia mempunyai orientasi yang mempertahankan dominasi Imperialisme AS dan tuan tanah. Artinya kurikulum pendidikan Indonesia mempunyai muatan untuk menerima keunggulan Imperialisme AS yang patut dijadikan “Panutan” oleh seluruh rakyat. Dengan demikian ajaran-ajaran Imperialisme AS tentang Liberalisasi (perdagangan bebas), globalisasi, kerjasama dengan Negara maju, menjadi kemasan utama setiap pelajaran di Indonesia khususnya di Perguruan Tinggi.

Sementara pendidikan Indonesia yang mengabdi pada tuan tanah besar, dapat dilihat dari kurikulum yang dikemas menggambarkan keunggulan Negara berkembang (Indonesia) berasaskan perkebunan, pertambangan, pertanian skala besar yang dikelola negara dan swasta. Tentu ini menjadi legitimasi untuk menguatkan keberadaan borjuasi besar -tuan tanah besar di Indonesia. Tak ayal, pendidikan Indonesia hanya menjadi corong propaganda dari Imperialisme AS dan borjuasi besar-tuan tanah besar.  Oleh karena itu, jika kita ingin mengubah wajah Pendidikan Indonesia, maka menjadi keharusan untuk mengubah orientasi pendidikan. yakniPendidikan yang Ilmiah, artinya pendidikan yang berdasarkan kondisi objektif untuk memecahkan masalah rakyat. Kemudian pendidikan yang demokratis, artinya pendidikan yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk mendapatkan pendidikan dan ruang berekspresi di sektor kebudayaan. Dan terakhir pendidikan yang mengabdipada rakyat, artinya pendidikan yang orientasi untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Semangat HTN ke-53, Menyatukan Pemuda Mahasiswa Dengan Kaum Tani
Perjuangan kaum tani melawan perampasan dan monopoli atas tanah oleh negara dan swasta, juga menjadi bagian rakyat seluruh Indonesia khususnya pemuda mahasiswa yang fokus memperjuangkan pendidikan dan memajukan peradaban kebudayaan rakyat Indonesia. Disisi lain, Pemuda Mahasiswa harus mampu terlibat aktif dalam mendukung pengorganisiran kaum tani di desa-desa untuk menghancurkan hubungan produksi lama yang usang yakni setengah feudal. Itulah syarat-syarat agar rakyat bebas dari belenggu Imperialisme AS serta Feodal. Dengan jalan itu kita mampu membangun Indonesia yang berdaulat dan mandiri, yang mempunyai identitas nasional untuk membangun sektor pertanian dan industri nasional yang maju.

Selamat Hari Tani Nasional (HTN) 2013. Pemuda Mahasiswa bersama kaum tani dan seluruh Rakyat Indonesia Menuntut:


  1. Hentikan Perampasan dan Monopoli atas tanah!
  2. Jalankan Reforma Agraria sejati dan Bangun Industri Nasional!
  3. Hentikan seluruh skema perdagangan tenaga kerja!
  4. Hentikan kenaikan harga kebutuhan Pokok!
  5. Wujudkan Kedaultan Pangan Indonesia!
  6. Realisasikan Pendidikan dan Kesehatan Gratis bagi rakyat!
  7. Hentikan Liberalisasi dan wujudkan pembangunan yang mengabdi pada Rakyat!
  8. Bubarkan WTO!

Hidup Kaum Tani Indonesia!
Jayalah Perjuangan Rakyat!








[1] Presiden RI. UUPA No.5 Tahun 1960. Tentang: Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. LN 1960/104; TLN NO. 2043. Jakarta 1960
[2] Sejarah perkembangan Masyarakat Indonesia dan problem pokok kaum tani. FMN, 2003
[3] Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2012
[4] Badan Pusat Statistik. Perkembangan beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Katalog BPS: 3101015, Jakarta 2012
[5] http://alamendah.org/2010/04/11/daftar-taman-nasional-di-indonesia/, diunduh pada tanggal 15-09-2013, pukul 17.54 WIB
[6]www.inhutani1.co.id/‎, www.bumn.go.id/inhutani2/en/‎, www.inhutani3.com/‎, www.inhutani4.co.id/‎,www.inhutani5.co.id/‎, diunduh pada tanggal 15-09-2013, pukul 19.00-20.00 WIB
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perusahaan_kelapa_sawit_Indonesia, diunduh pada tanggal 15-09-2013, pukul 20.34 WIB
[8] Presiden RI.  UU RI No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Jakarta, 2007
[9] Presiden RI. UU RI No.39 Tahun Tentang Kawasan Ekonomi Khusus.Jakarta, 2009


Diberdayakan oleh Blogger.

Label 1

Label 2

See all post

Label 7

See all post

Label 8

Label 3

Label 5

Label 4

Label 6

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Perjuangan Massa - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger